Penulis
Intisari - Online.com -Ketika pemimpin Australia, Inggris dan Amerika Serikat mengumumkan kemitraan keamanan tiga negara, AUKUS, pada 15 September lalu, perdana menteri Malaysia merilis sebuah pernyataan mengatakan kekhawatiran mengenai dampak AUKUS terhadap stabilitas di Asia Tenggara.
Menteri hubungan luar negeri Malaysia dan menteri pertahanan secara terpisah mengatakan pernyataan dalam mendukung posisi perdana menteri, menggarisbawahi risiko perlombaan senjata konvensional dan nuklir terutama di Laut China Selatan.
Pernyataan-pernyataan ini layak untuk diurai.
Namun, penting untuk mencatat walaupun pernyataan Malaysia mengenai AUKUS, pemerintah telah melanjutkan menerima hubungan lebih dalam dengan tiga negara di perjanjian tersebut secara bilateral dan melalui berbagai platform seperti Five Power Defense Arrangements (FPDA).
Lebih penting lagi, kapal selam bertenaga nuklir hanyalah sebagian kecil dari AUKUS.
Untuk urusan lebih besar bagi Malaysia dan Asia Tenggara lainnya, adalah kemampuan teknologi AUKUS seluruhnya yang akan membentuk ulang lanskap strategis regional.
Pelanggaran nuklir
Walaupun ketegangan mengenai AUKUS disebut sebagai gembar-gembor semata, posisi Putrajaya adalah kunci kebijakan luar negeri Malaysia.
Putrajaya adalah pemerintahan federal Malaysia, dan AUKUS disebut membuat posisi Malaysia dalam perjanjian non-proliferasi nuklir dan pelucutan senjata, tidak memihak serta juga dengan seluruh penanganan konflik Laut China Selatan.
Beberapa mungkin telah menginterpretasikan pernyataan Perdana Menteri Ismail Sabri jika AUKUS bisa memicu perlombaan senjata wilayah mengingat sifat perjanjian tersebut, mengutip Asia Times.
AUKUS tentu saja melibatkan kapal selam bertenaga nuklir, bukan kapal selam bersenjata nuklir.
Namun, AUKUS menandai pertama kalinya negara non-nuklir menerima kapal selam bertenaga nuklir dan hal tersebut meningkatkan ketidakpastian mengenai proliferasi dan jaminan hukum internasional.
Pertanyaan-pertanyaan ini, walaupun aneh untuk sekarang, tetap membuat khawatir bagi Malaysia mengingat posisi mereka sebagai penjaga rezim pelucutan senjata dan kesepakatan non-proliferasi nuklir internasional.
Contohnya, Malaysia telah mengajukan resolusi PBB setiap tahun sejak pendapat penasheat Mahkamah Internasional (ICJ) 1996 tentang Legalitas Ancaman atau Penggunaan Senjata Nuklir.
Resolusi tersebut menggarisbawahi panggilan ICJ untuk pelucutan senjata nuklir "dalam semua aspek di bawah kendali internasional yang ketat dan efektif."
Sejak AUKUS mengeksploitasi kekurangan dari rezim penjagaan nuklir yang sudah ada, Malaysia yakin jika ada risiko bahwa hal ini akan menggagalkan tujuan pelucutan senjata.
Namun bukan hanya Malaysia yang khawatir, Indonesia juga mengutarakan "kekhawatiran mendalam" atas perlombaan senjata yang terus berlanjut di wilayah Asia-Pasifik.
Bahkan Singapura dan Vietnam yang digambarkan media menerima AUKUS, memberikan respon yang berhati-hati yang menunjukkan mereka waspada, dan keduanya menekankan pentingnya perdamaian wilayah, stabilitas, kerjasama dan kesejahteraan.
Mitra dan masalah
Walaupun penolakan Malaysia terhadap AUKUS, Putrajaya tetap melanjukan menerima ikatan bilateral dan multilateral dengan Washington, London, dan Canberra, termasuk di area keamanan dan pertahanan.
Hanya sebulan setelah AUKUS diumumkan, Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein mengukuhkan komitmen negara itu dalam 50 tahun FPDA, tumpang tindih dalam FPDA dan mitra AUKUS yang sekarang berdiri.
Sebagai bagian dari FPDA, Malaysia berpartisipasi dalam latihan militer 10 hari, Bersama Gold 2021, melibatkan 25 jet tempur, 6 pesawat pendukung, 6 helikopter, 10 kapal maritim, satu kapal selam, dan lebih dari 2000 personil militer bersama Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Inggris di Laut China Selatan.
Malaysia juga menjadi tuan rumah untuk perayaan ulang tahun FPDA dan pertemuan para menteri pertahanan FPDA setelah latihan tersebut.
Kecenderungan untuk membagi hubungan berdasarkan isu dan kepentingan seperti halnya keinginan melestarikan jaringan hubungan yang luas dengan negara-negara besar adalah elemen kunci untuk pendekatan kebijakan luar negeri Malaysia.
Contohnya adalah dengan China, walaupun langkah China yang terus mempermalukan militer Malaysia, hubungan Malaysia-China tetap hangat dan ramah.
Putrajaya sendiri telah mencari cara menjauhkan masalah mereka dengan Beijing di Laut China Selatan jauh dari ekonomi, politik, dan sosial-budaya di hubungan bilateral mereka.
Meski cara Malaysia ini bagus, cara ini tidak selalu berjalan dengan sempurna.
Untuk menahan posisi mereka tidak berada di tengah AS dan sekutunya di satu sisi dan China di sisi lain, Putrajaya perlu menguatkan keterlibatan diplomasi dengan semua pihak secara proaktif daripada reaktif.
Hal ini akan memerlukan cara melihat tren yang kini tampak berhubungan dengan teknologi seperti halnya dengan kerangka aturan dan pemerintahan yang berada di atasnya.
AUKUS memahami poin ini.
Kapal selam nuklir bagi Australia tidak lain merupakan "inisiatif pertama" di bawah AUKUS.
Selanjutnya adalah kolaborasi tiga negara dalam kemampuan siber, kecerdasan buatan (AI), kuantum dan bawah laut.
Sementara rencana dari kerjasama ini adalah teknologi pertahanan dengan China, ada kesempatan kerjasama antara Malaysia dan tiga negara AUKUS yang dapat memperkuat Putrajaya membentuk lanskap teknologi wilayah.
Poin paling mudah adalah ekonomi digital.
Dengan ini, walaupun Malaysia menolak AUKUS yang membuat ketegangan di Laut China Selatan, tapi Malaysia masih akan mendukung untuk kerjasama yang menguntungkan mereka.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini