Menggunakan Nama Samaran Bahasa Tetun yang Berarti 'Buaya' Ini, Beginilah Sepak Terjang Agusto Pinto yang Memperjuangkan Integrasi Timor Leste dengan Indonesia Saking Cintanya dengan NKRI

May N

Penulis

Ilustrasi. Referendum Timor Leste 1999.

Intisari - Online.com -Referendum Timor Leste tahun 1999 memang sebuah peristiwa yang disesalkan tapi tidak terhindarkan.

Meski begitu sebenarnya tidak semua rakyat Timor Leste menginginkan berpisah dari Indonesia.

Banyak kisah dari para prajurit TNI yang dulu bertugas di Timor Leste baik dalam operasi tempur dan teritorial yang membuktikan perpisahan lewat kemerdekaan Timor Leste sebagai hal yang disesali banyak pihak.

Seperti diceritakan oleh Purnawirawan TNI AD, Kiki Syahnakri dari pengalamannya bertugas di Timor Leste, yang ia sampaikan lewat bukunya 'Timor Timur The Untold Story'.

Baca Juga: Padahal Bak Hanya Tinggal 'Jentikkan Jari' untuk Seret Indonesia ke Pengadilan Internasional atas 'Dosanya' di Timor Leste, Pria Ini Justru Pilih Damai, Terungkap Alasannya!

Salah satu ceritanya adalah tentang sosok yang menyamar dengan nama samaran Lafaek.

Lafaek adalah nama samaran dalam bahasa Tetun yang artinya 'buaya', sosok Lafaek aslinya adalah Agusto Pinto.

Namun ia telah lama dikenal masyarakat Timor Timur sebagai Lafaek.

Lafaek dulunya adalah tokoh masyarakat Viqueque, anak dari Manuel da Costa Pinto, Raja Balarwain-Viqueque.

Baca Juga: Mati-matian Pilih Indonesia Saat Referendum, Begini Nasib Mengenaskan Warga Asli Timor Timur di Tanah Air, Ngaku Salah Pilih dan Ingin Kembali keTimor Leste

Lafaek merupakan tokoh pejuang integrasi dan sosok yang cinta dan setia dengan Indonesia, seperti diungkapkan oleh Kiki Syahnakri.

"Seperti banyak tokoh pejuang integrasi lainnya, ia berjuang benar-benar dengan prinsip-prinsip ideologis, bukan sekadar untuk mencari hidup," tulis Kiki dalam bukunya halaman 145.

Lafaek menorehkan prestasi karena menjunjung integrasi, ia memimpin kelompok masyarakat Viqueque yang memiliki semangat dan harapan yang sama.

Lafaek aktif membantu TNI terutama ketika operasi tempur, ia bahkan dipercaya memimpin Kompi Wanra di Viqueque segera setelah kompi tersebut dibentuk.

Baca Juga: Tragedi Santa Cruz 1991 Jadi Titik Balik Perjuangan Kemerdekaan Timor Leste, Ini Latar Belakang dan Dampaknya

Lafaek berhasil melakukan tugasnya menjaga keamanan lingkungan ataupun melakukan operasi tempur bersama TNI, prestasinya menonjol dan disegani oleh kawan maupun lawannya.

Prestasinya berhasil membuat Kompi Wanra Lafaek dinamai Kompi Makikit, yang diambil dari bahasa Tetun yang berarti 'elang'.

"Kendati saya baru mengenal Lafaek ketika bertugas di daerah Viqueque bersama Batalyon 514/Kostrad, nama beken dan sepak terjangnya telah saya dengar sejak saya menjadi Wadanyon 744 di Dili. Karena itu, ketika pertama kali saya bertemu Lafaek di rumahnya, kami langsung akrab. Cukup lama kami ngobrol dan bertukar pengalaman. Kemudian saya dibawa dan diperkenalkan kepada kakak sulungnya, Antonio Pinto, ahli waris Kerajaan Balarwain-Viqueque, yang tidak terlalu jauh dari rumah Lafaek."

Kiki segera mengajak Lafaek bersama Kompi Makikit untuk bergabung membantu Batalyon 514 yang kala itu beroperasi di daerah Pegunungan Bibiliu, yang masih termasuk wilayah Viqueque.

Baca Juga: Sesumbar Sebut Ingin Pisah Darah dari NKRI, Faktanya Timor Leste Sudah Merengek Minta Bantuan Militer Indonesia Hanya Sesaat Setelah Merdeka, Sampai Relakan Objek Vital Ini

Lafaek menerima ajakan ini dengan gembira karena selain hal itu menjadi bagian dari tugasnya, juga karena ia memiliki jiwa petualang.

Kiki mencatat Lafaek ternyata tidak menuruti semua ajakan Komandan Satuan TNI, sehingga ia merasa jika Lafaek senang dan cocok dengan dirinya.

Sebuah peristiwa mencengangkan terjadi ketika pasukan Kiki bersama Kompi Makikit menyisir lereng selatan Bibiliu mencari Lere Anan Timor, yaitu peristiwa perampokan sadis terhadap rumah adat di pinggir kampung Dilor dan dua anggota hansip terbunuh.

Perampokan itu mencatat perampok menjarah dan mengambil beberapa barang yang ada di rumah adat, antara lain kain Tais (kain tenun khas Timor), tombak, parang, dan barang-barang lainnya.

Baca Juga: Jadi Bahan 'Gorengan' yang Bikin Indonesia 'Dikutuk' Dunia saat Ngebet Merdeka, TPA Tibar di Timor Leste Ini Kini Malah Jadi Lokasi 'Tur Bersyukur' bagi Wisatawan Asing

500 meter dari rumah adat itu ditempatkan tim Yonif 725 yang bertugas sebagai satuan pengamanan permukiman, dan sayangnya mereka tidak bertindak apapun ketika terjadi perampokan, membuat mereka dicurigai masyarakat Dilor sebagai pelaku perampokan tersebut.

Isu perampokan dan pembunuhan ini segera menyebar ke seluruh kampung bahkan melebar ke desa tetangga yaitu Desa Luca yang letaknya tidak jauh dari Dilor.

Masyarakat disebut-sebut marah dan mengancam akan bergerak ke hutan, bergabung dengan Fretilin, menyebabkan komandan koramil serta Camat Dilor kewalahan menghadapi reaksi keras masyarakat, terutama ancaman mereka bergabung dengan Fretilin.

Laporan itu segera diproses Kiki yang saat itu menjabat sebagai Danyon 514/Kostrad di tahun 1987, segera ia mengirimkan Letda Muslimin Akip dan Serka Simanjuntak yang merupakan komandan Tim Khusus Batalyon 514 untuk bergerak bersama Kompi Makikit.

Baca Juga: Meski Sudah Merdeka dari Indonesia, Xanana Gusmao Masih Temui Indonesia untuk Membicarakan Hal Ini, Rupanya Tahun 2020 Ada urusan Indonesia-Timor Leste yang Belum Selesai

Dalang perampokan dan pembunuhan segera terkuak, mereka adalah GPK Fretilin yang ditemui Kompi Makikit menjelang fajar dan melibatkan kontak senjata tidak cukup jauh dari Dilor.

Baku tembak terdengar selama kira-kira 10 menit, dan karena terjadi pada kondisi masih cukup gelap maka Fretilin mendapat keuntungan lebih dan bisa meloloskan diri karena lebih mengenal medan.

Fretilin meninggalkan beberapa perlengkapan antara lain kain Tais, tombak, dan parang yang merupakan hasil rampokan dari rumah adat Dilor.

Kiki segera membagi pasukan dalam dua kelompok, salah satunya dipimpin Lafaek untuk melanjutkan perjalanan ke Dilor, menjelaskan kepada masyarakat jika pelaku perampokan itu adalah GPK Fretilin dengan membawa bukti-bukti yang ada.

Baca Juga: Xanana Gusmao Ungkap Timor Leste Punya Dana Abadi Ratusan Triliun Rupiah, Namun Tetap Tak Menolong Prediksi Timor Leste Bakal Jadi Negara Mati 10 Tahun Lagi

Berkat sosoknya yang sudah dipercaya masyarakat dan juga anak Raja Viqueque, maka Lafaek dipercaya banyak pihak dan nama Yonif 725 berhasil diselamatkan.

Lafaek berhasil mencegah banyak masyarakat Timor Timur saat itu masuk ke hutan untuk bergabung dengan Fretilin.

Sosok Lafaek sendiri setelah referendum ikut mengungsi dan kabarnya tinggal di Kupang dengan rakyatnya yang tetap setia kepada NKRI.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait