Intisari-Online.com - Negara Timor Leste diberkati dengan pendapatan minyak dan gas sebesar US$23 miliar atau sekitar Rp 329 triliun selama 15 tahun terakhir.
Angka tersebut dilaporkan mampu membayar 86% kegiatan negara.
Tapi era ini hampir berakhir, dan mengekspor sisa minyak serta gas mungkin hanya bisa membiayai pemerintah satu atau dua tahun lagi.
Bahkan jika investasi dana kekayaan negara US$19 miliar (Dana Perminyakan) terus berjalan dengan baik, Timor Leste hanya punya waktu sedikit dengan masa depan tidak pasti dan menakutkan.
Sebagaimana dirinci dalam artikel Charles Scheiner,peneliti diLa'o Hamutuk, Institut Pemantauan dan Analisis Pembangunan Timor-Leste, yang berjudul 'Survei ekonomi Timor-Leste: Akhir dari pendapatan minyak bumi,' para pemimpin negaranya mengelola aliran masuk pendapatan minyak bumi dengan baik, menghindari korupsi, kekerasan, kriminalitas, dan inkonstitusionalitas yang signifikan.
Namun beberapa konsekuensi negatif dari ketergantungan minyak tidak dapat dihindari.
Ekonomi bergantung pada impor, produksi lokal minimal, lapangan kerja langka, dan hanya kelas menengah serta atas perkotaan yang dapat menikmati manfaatnya.
Sebagian besar uang minyak telah membayar perusahaan asing untuk membangun proyek infrastruktur besar, tetapi kehidupan pedesaan, mayoritas pertanian hampir tidak membaik.
Hanya sebagian kecil dari pendapatan minyak bumi yang telah digunakan untuk mendukung kehidupan masyarakat dan produktivitas masa depan.
Kondisi ini sedikit lebih baik daripada tahun 1990-an, tahun-tahun terakhir pendudukan militer Indonesia.
Kebanyakan orang terus bertahan hidup dengan pertanian subsisten, sementara pekerjaan sektor swasta telah menurun sejak tahun 2014. Diversifikasi ekonomi, meskipun sering dibahas, belum terjadi.
Pembuat kebijakan masih mengacu pada Rencana Pembangunan Strategis 2011 yang tidak realistis dan ketinggalan jaman.
Banyak orang, termasuk sebagian besar pejabat pemerintah, telah menginternalisasi ketergantungan pada minyak dan gas yang telah mendominasi Timor Leste.
Mereka merasa sulit untuk membayangkan ekonomi pasca-minyak, atau untuk memulai pekerjaan yang menantang guna memperkuat pangan lokal dan produksi lainnya.
Mereka menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengenakkan, seperti bagaimana orang akan makan ketika uang minyak untuk membayar makanan dari luar negeri habis.
Urgensi perubahan visi dan kebijakan tidak bisa dihindari.
Meskipun para pemimpin saat ini masih menyangkal dan tidak mengatasi tantangan yang sulit ini, generasi pemimpin politik yang baru akan datang.
Mereka tidak dikondisikan oleh pendudukan brutal dan perjuangan yang menantang dunia untuk kemerdekaan nasional, dan telah lebih terpapar pada tren serta pengetahuan global, yang dapat membantu mereka menggerakkan ekonomi ke arah yang lebih berkelanjutan dan adil.
(*)