Intisari-Online.com - Max Stahl yang berusia 66 tahun meninggal dunia pada 28 Oktober 2021 di Brisbane, Australia.
Lahir pada 6 Desember 1954 di Inggris, jurnalis dan pembuat dokumenter Christopher Wenner, lebih dikenal sebagai Max Stahl, memulai hubungannya dengan Timor Leste pada tahun 1991 ketika ia berhasil memasuki Timor Timur untuk pertama kalinya.
Melansir BBC, Max Stahl memfilmkan pembantaian 271 pengunjuk rasa tahun 1991 terhadap pemerintahan Indonesia di Timor Timur.
Mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta menyebutnya sebagai "putra berharga".
"Kami menghormatinya sebagai salah satu pahlawan sejati perjuangan kami," tulis Ramos-Horta di Facebook sesaat sebelum kematian Max.
Indonesia telah memerintah bekas jajahan Portugis sejak invasi pada tahun 1975, dan Stahl telah melakukan perjalanan ke sana pada tahun 1991, setelah pelonggaran pembatasan bagi wisatawan tahun 1989.
Stahl mengatakan kepada BBC pada tahun 2016: "Saya baru saja menyiapkan kamera saya ketika setidaknya 10 detik tembakan tanpa henti."
"Para prajurit yang tiba menembakkan tembakan tepat ke kerumunan beberapa ribu anak muda."
Dia menambahkan: "Saya dapat dengan mudah melihat bahwa hanya masalah waktu sebelum mereka menargetkan saya, dan pada saat itu saya berpikir, saya harus pindah dari sini."
Dia mengubur film itu di kuburan, dan kemudian diselundupkan dan disiarkan ke seluruh dunia.
Ramos-Horta menulis: "Hanya ada beberapa poin kunci dalam sejarah Timor-Leste di mana arah bangsa kita menuju kebebasan. Ini adalah salah satu poinnya.
"Ini adalah pertama kalinya pesan kami menyebar ke dunia. Jaringan hak asasi manusia beraksi."
"Senator, anggota Kongres, dan anggota parlemen datang ke pihak kami."
"Dan ini terjadi ketika satu orang rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendokumentasikan dari dekat apa yang terjadi dan menyelundupkan pesan itu keluar dari negara kita."
Stahl kemudian mengungkapkan bagaimana orang-orang yang selamat dari pembantaian Santa Cruz dibunuh secara brutal di rumah sakit; serta mendokumentasikan penindasan saat Timor Timur mendeklarasikan kemerdekaan pada 1999.
Pada 12 November 1991 terjadi insiden Santa Cruz di Dili, Timor Leste
Akibat insiden tersebut, 19 orang dinyatakan tewas dan 91 lainnya mengalami luka.
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dibatalkannya kunjungan delegasi dari anggota parlemen Portugal dan 12 wartawan internasional oleh pemerintah Indonesia.
Pembatalan tersebut memantik kekecewaan dari mahasiswa pro-kemerdekaan dan membuat situasi memanas, sehingga menewaskan dua orang aktivis, yaitu Afonso dan Sebastio Gomes.
Harian Kompas, 28 November 1991 memberitakan, seusai misa untuk memperingati kematian Gomes di Gereja Motael yang dihadiri sekitar 1.500 orang, sebagian jemaat meloncat pagar, menggelar spanduk anti-integrasi serta meneriakkan yel-yel yang menghina ABRI dan pemerintah.
Sementara itu, di kuburan St Cruz sekitar 2 ribu massa telah berkumpul.
Untuk mencegah bergabungnya massa yang datang dari Gereja Motael dan massa di kuburan St Cruz, dikerahkan dua peleton dari Yonif 303 dan satu peleton dari Yonif 744, serta satu peleton Brimob anti huru-hara.
Namun kemudian terjadi proses penggabungan massa.
Sebagian dari massa yang ada di kuburan bergerak ke luar, bergabung dengan massa yang berada di luar serta melakukan gerakan agresif dan menyerang aparat.
Pada saat itu, terdengar letusan tembakan dari arah kuburan dan suara teriakan "serbu, rebut senjata."
Satuan pengamanan melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak memperdulikan tembakan peringatan tersebut, malahan menjadi lebih beringas.
Massa terus mendesak dengan senjata tajam di tangannya, dan melemparkan sebuah granat ke arah satuan pengamanan.
Melihat adanya lemparan granat dan massa masih tetap menyerbu, maka prajurit terdepan sebagai prajurit profesional, secara otomatis melepaskan tembakan terarah sebagai upaya untuk membela diri.
Akibatnya, 19 orang tewas dan 91 orang lainnya luka-luka akibat terkena tembakan pasukan, terjatuh, dan terinjak-injak massa.
Sekitar 200 orang pemuda yang lari dari St Cruz berusaha meminta perlindungan di kediaman uskup.
Meski menolak, masih ada sekitar 80 orang yang berhasil masuk.
Karenanya, uskup pun terpaksa mengantar sendiri ke rumah masing-masing selama dua jam dengan sebelas trip kendaraan.
Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno saat itu menegaskan, ABRI terpaksa melepaskan tembakan terhadap massa dalam insiden di Dili, Timor Leste 12 November, sebagai upaya membela diri.
(*)