Penulis
Intisari-Online.com - 'Battle of Timor', pertempuran antara pasukan Jepang dan sekutu di Pulau Timor dalam Perang Dunia II dimenangkan Jepang.
Pasukan Sekutu dipukul mundur, tetapi sebelum benar-benar habis oleh Jepang, para tentara sekutu berhasil dievakuasi dari Pulau Timor.
Kapal Belanda Hr. Ms. Tjerk Hiddes dikenal sebagai kapal yang sukses menjalankan misi penyelamatan tersebut.
Ia merupakan kapal yang dikirim dari Australia untuk melakukan evakuasi pasukan sekutu di Timor Leste.
Kesuksesan evakuasi oleh Hr. Ms. Tjerk Hiddes pun sangat dipuji oleh semua sekutu.
Itu adalah misi berbahaya, di mana kapal tersebut melakukan 3 kali perjalanan Australia-Timor Leste untuk ribuan orang, termasuk pribumi dan pasukan Portugis yang telah berperang di pihak sekutu.
Tetapi di balik kesuksesan evakuasi tersebut, ada yang harus dikorbankan.
Sebelum Hr. Ms. Tjerk Hiddes berlabuh dari port Darwin, terlebih dahulu dilakukan uji coba dengan mengirim sejumlah korvet atau kapal perang kecil Australia.
Sekitar 100 nyawa hilang pada 1 Desember 1942 di Laut Timor, ketika korvet HMAS Armidale berhasil ditenggelamkan oleh Jepang.
Korvet yang dikirim untuk misi itu diberondong serangan udara oleh pesawat Jepang.
Salah satu korban selamat dari serangan itu menuturkan kisah menegangkan ketika ia terombang-ambing di laut, menunggu bantuan yang tak pasti datangnya.
Dalam misi tersebut, HMAS Armidale tak sendirian, ia dikirim bersama dua korvet lainnya, yaitu HMAS Kuru dan Castlemaine.
Baca Juga: Cukup dengan Modal Koran Bekas untuk Atasi Bau Tak Sedap pada Kulkas, Begini Caranya
Melansir smh.com.au (1/7/2021), Ray Leonard (1923-2021) adalah orang terakhir yang selamat dari korvet HMAS Armidale.
Ia adalah salah satu dari 49 orang dari awak 149 yang berhasil bertahan hidup di laut selama delapan hari sebelum diselamatkan.
Leonard sendiri bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan Australia pada tahun 1941 saat usianya 18 tahun.
Setelah ditugaskan di Sydney pada 11 Juni 1942, kemudian pada bulan November HMAS Armidale diperintahkan bersama dengan HMAS Kuru dan Castlemaine, untuk memasok dan mengevakuasi pasukan dan warga sipil dari Teluk Betano, Timor.
Kapal-kapal itu terlihat oleh pesawat pengintai Jepang saat mereka meninggalkan Darwin.
Dikisahkan, awalnya Armidale dan Castlemaine selamat dari serangan udara berulang pesawat Jepang, tetapi terlambat mencapai Betano untuk bertemu dengan Kuru yang telah mengambil pengungsi Portugis dan menuju perairan terbuka.
Ketika kedua korvet tersebut menemukan Kuru, 110 kilometer dari Timor, para pengungsi dipindahkan ke Castlemaine, yang kembali ke Darwin.
Sementara itu, Kuru dan Armidale diperintahkan untuk melanjutkan operasi di siang hari, tetapi keduanya mendapatkans serangan lanjutan.
Dalam serangan itulah Armidale berhasil ditenggelamkan oleh pasukan Jepang.
Sebagai korban terakhir, Leonard mampu menggambarkan jam-jam terakhir kapal secara akurat dan jelas.
Dia baru-baru ini menceritakan bagaimana mereka terlihat oleh pesawat pengintai sehari sebelum serangan dan bagaimana perasaan ketakutan di antara para kru.
“Pesawat-pesawat tempur menembakkan senapan mesin dan pembom torpedo berbaris. Kemudian, yang tak terhindarkan, saat kapal terangkat sedikit keluar dari air," kata Leonard yang berusia 90-an.
Baca Juga: Cukup dengan Modal Koran Bekas untuk Atasi Bau Tak Sedap pada Kulkas, Begini Caranya
Tanpa tanda-tanda penyelamatan, para penyintas membangun rakit untuk berpegangan dan selama beberapa hari berikutnya menggunakannya sebagai dermaga untuk memperbaiki perahu yang penuh peluru dan setengah tenggelam.
Leonard adalah salah satu dari 29 pria yang dipilih untuk mendayung kapal berjuluk 'pemburu paus' itu menuju Darwin, sementara yang lain tetap berada di rakit.
Dia menceritakan kesunyian yang luar biasa dan kesedihan mendalam dari perpisahan mereka.
Hanya ada sedikit makanan dan air yang berbahaya bagi 'pemburu paus'. Setiap hari berlalu, orang-orang yang bertahan pun semakin menderita kelaparan dan kehausan, juga mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan fisik dan mental.
Korban selamat yang tersisa berpegangan pada rakit dan menunggu penyelamatan.
Akhirnya pada hari ketujuh, sebuah pesawat RAAF Catalina menemukan rombongan yang mendayung kapal.
Pada hari kedelapan, Leonard dan yang lainnya akhirnya diselamatkan oleh HMAS Kalgoorlie dan dibawa ke Darwin.
Tetapi, orang-orang yang berada di rakit tak seberuntung Leonard. Meskipun dilakukan pencarian udara dan laut ekstensif, mereka tidak pernah terlihat lagi.
Setelah perang berakhir, Leonard kembali ke studinya di Universitas Melbourne dan memenangkan beasiswa untuk belajar psikologi di Universitas Queens di Kingston, Kanada. Ia memperoleh gelar PhD di bidang psikologi sebagai dux of his year.
Sekembalinya ke Melbourne ia mengepalai dua departemen di universitas sebagai psikolog terkemuka.
Dalam praktik pribadi, ia membantu korban cedera mobil, kecanduan, dan perilaku disfungsional lainnya.
Ray Leonard meninggal pada Juli 2021 lalu meninggalkan istrinya Beryl, anak-anaknya Carol, Paul dan Mark serta empat cucu.
(*)