Advertorial
Intisari - Online.com -Dampak kemanusiaan terhadap lingkungan menjadi agenda utama dalam pertemuan COP26 membahas perubahan iklim yang dikepalai Inggris di Glasgow.
Konferensi PBB 2 minggu tersebut melibatkan delegasi dari 200 negara, yang berusaha mengukuhkan perjanjian untuk menyelamatkan planet Bumi.
COP26 telah menciptakan perubahan besar, termasuk kemitraan antara AS dan Uni Eropa untuk menumbangkan emisi metan global.
Dalam perjanjian berikutnya, lebih dari 100 pemimpin dunia sepakat mengakhiri dan membalikkan deforestasi pada 2030.
Kesepakatan ini bertujuan melestarikan lebih banyak tumbuhan hijau di Bumi dan menyerap lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer.
Metan dan karbon dioksida yang diproduksi oleh aktivitas manusia adalah dua gas rumah kaca (GRK) dan berkontribusi pada pemanasan global.
Pemanasan global melelehkan gletser dan lapisan es kutub, yang menjadi faktor-faktor yang berkontribusi pada peningkatan permukaan air laut.
Beberapa wilayah yang paling terkena dampak peningkatan permukaan air laut adalah negara-negara dengan ketinggian rendah di Samudra Pasifik, antara lain Kiribati, Tuvalu dan Kepulauan Marshall.
Pelenise Alofa, koordinator nasional Jaringan Aksi Iklim di Kiribati, telah mengatakan jika COP26 akan penting untuk masa depan negaranya.
Ia mengatakan meningkatnya permukaan air laut dan badai tropis parah yang semakin sering terjadi adalah bahaya bagi kehidupan dan kemampuan menciptakan makanan di Kiribati, negara dengan ketinggian paling rendah di dunia.
Menjelang KTT, ia mengatakan kepada reporter: "Sebagai seseorang tinggal di pulau-pulau di Kiribati, kerusakan dan kehilangan dari perubahan iklim adalah masalah permanen dalam hidup kami sehari-harinya sekarang," ujarnya dikutip dari Express.
"Ini bukan mengenai bencana sekali waktu. Ini adalah tentang meningkatnya permukaan air laut yang mengancam bisa menelan semua rumah-rumah kami."
Namun, peringatan mengenai tenggelamnya Kiribati dan pulau-pulau Pasifik lainnya bukanlah hal baru.
Banyak pihak menunjukkan betapa rapuh situasi Kiribati telah dibahas dalam KTT iklim sebelumnya.
Tahun 2017, pada pertemuan COP23, media Guardian berbicara kepada Erietera Aram, tokoh kampanye lokal di Kiribati.
Berbicara mengenai situasi kehidupannya, ia mengatakan: "Tempatku sangat kecil. Jika Anda berdiri di tengah, Anda bisa melihat air di kedua sisi.
"Kami rentan. Satu tsunami dan seluruh negara kami akan hilang."
Ia juga berbicara mengenai isu kontroversial migrasi massal dari negaranya di tengah bahaya yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Ia mengatakan: "Kami tidak ingin meninggalkan negara kami. Kami mencintai tanah kami, dan tidak ada artinya untuk tinggal di tempat lain.
"Kami tidak ingin menjadi pengungsi iklim, tapi jika tidak ada perubahan negara kami akan hilang ke laut.
"Apa yang akan terjadi pada negara anak-anakku, itu yang aku khawatirkan. Apa yang aku tinggalkan? Kami adalah suara anak-anak dari negara-negara rentan."
Selama COP26, mantan Presiden Kiribati, Anote Tong, juga telah berbicara mengenai risiko terhadap negaranya, sembari menyebut kebijakan iklim Australia.
Australia telah berkomitmen terhadap target pengurangan karbon dioksida lebih rendah daripada negara besar lain dan tidak bergabung dalam perjanjian metan.
Tong mengirimkan sebuah surat yang termasuk dalam laporan Greenpeace, 'Australia: Perundung Pasifik dan Mengasingkan Internasional'.
Ia menulis: "Salah satu kelemahan kekuatan kampanye kami adalah kurangnya persatuan tujuan dengan anggota keluarga Pasifik yang lebih besar.
"Telah menjadi sumber kekecewaan terbesar bagi kami menyaksikan perubahan konstan terkait kebijakan politik dengan kedua kekuatan politik, baik Australia dan Selandia Baru."
Dalam bagian lain ia menambahkan: "Australia belum membuat perubahan apapun terkait target pengurangan emisi karbon 2030 dan tetap lebih rendah daripada komitmen yang dibuat anggota G20 lainnya."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini