24 Tahun 'Dicengkeram' Rezim Otoriter Soeharto Membuat Prediksi Para Pemimpin Indonesia tentang Timor Leste Ini Jadi Meleset Jauh

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Timor Leste berada di bawah rezim otoriter Soeharto selama 24 tahun.

Intisari-Online.com -Soeharto merupakan Presiden Indonesia terlama yang menjabat 32 tahun, dari 1967 hingga 1998.

Masa kepemimpinannya disebut dengan Orde Baru atau Orba.

Awal mula terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia adalah saat ia berhasil menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang.

Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 12 Maret 1967, mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno.

Baca Juga: Dihantui Kengerian Trauma Mental Puluhan Tahun, Para Veteran Perang Ini Coba 'Memaafkan Sejarah' di Timor Leste

Sistem politik Soeharto yang represif merupakan salah satu alasan konflik Timur Timor (Timor Leste) sebelum kemerdekaannya dari Indonesia.

Jerry Indrawan, dalam penelitiannya Faktor penyebab konflik di Timor Timur sebelum kemerdekaannya dari Indonesia, menyebuthubungan antara sistem politik dengan perdamaian dimulai dari pengamatan bahwa negara-negara demokratis hampir tidak pernah berperang satu sama lain.

Negara yang sedang transisi menuju demokrasi adalah negara yang paling rawan konflik, seperti di Timtim ini.

Hal ini karena selama 24 tahun Timor Timur berada di bawah rezim otoriter Soeharto.

Baca Juga: Bak Jatuh Tertimpa Tangga, Ladang Minyak Timor Leste yang Jadi Satu-satunya Penyokong Ekonomi Akan Segera Mengering, Lebih Parah Lagi Ladang Tersebut Ternyata Menyimpan Malapetaka Ini

Di masa itu segala tindakan yang dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum karena segala tindakan tersebut langsung dicap sebagai tindakan maker, subversif, dan haram berkembang di wilayah NKRI.

Segala sesuatu dikontrol secara “overload”, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang langka dan sangat berharga.

Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung ditindak secara hukum dengan sangat tegas.

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi pemerintahan.

Baca Juga: Tak Kunjung Lepas dari Kemiskinan Meski Ladang Minyaknya Bakal Kering Total 2 Tahun Lagi, Timor Leste Pilih Jejali Bekas Tambangnya dengan Gas Berbahaya Ini, untuk Apa?

Pada masa itu, masyarakat berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah.

Sistem politik di Jakarta sangat bersikap represif terhadap situasi politik di Timor Timur, apalagi terkait kebijakan menghadapi pihak-pihak yang ingin merdeka di sana.

Akan tetapi, situasi berbalik ketika mundurnya Soeharto.

Angin segar demokrasi seperti berhembus dan memberikan badai bagi Habibie untuk bijak dalam meresponi aspirasi rakyat Timtim.

Baca Juga: Ibu Kota Timor Leste Berada di Dili, Inilah Wilayah Administrasi Negara Ini yang Terdiri dari Beberapa Distrik dengan Penyebaran Penduduknya

Akhirnya, referendum pun dijalankan dengan hasil masyarakat Timtim memutuskan untuk merdeka dari Indonesia.

Sebenarnya, sejumlah pemimpin Indonesia percaya bahwa pembangunan yang mereka lakukan di Timtim akan memenangkan hati penduduk sehingga mereka setuju untuk bergabung dengan Indonesia.

Namun, pemerintah Indonesia, di bawah rezim Orde Baru ketika itu, memerintah dengan kejam dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terhadap mereka yang menolak integrasi.

Akibatnya konflik tak bisa dihindari.

Pasca pengumuman referendum, terdapat sekurang-kurangnya enam peristiwa mengungsian besar-besaran di Dili, Baucau, dan Lautem.

Sekitar 250.000 warga sipil dipaksa atau terpaksa mengungsi ke wilayah NTT.

Pola pengungsian paksa dilakukan dengan adanya serangan milisi ke kampungkampung dan memaksa penduduk meninggalkan pemukimannya.

Sementara itu, di berbagai jalan utama sudah menunggu kendaraan yang disediakan aparat keamanan dan digunakan untuk membawa penduduk ke wilayah NTT.

Baca Juga: Australia Kekurangan Petani: PNS Ditawari Cuti Berbayar untuk Bantu Panen hingga Harus Berterima Kasih kepada Orang-orang Timor Leste

Pengungsian paksa ini didahului dengan intimidasi, ancaman, teror yang kejam, dan ganas oleh milisi bersama aparat keamanan, sehingga para penduduk sipil kehilangan keberanian untuk tinggal.

Pengungsian paksa ini dilakukan dengan berbagai modus operandi yang menegaskan adanya suatu perencanaan yang sistematis.

Dokumen yang diperoleh dan keterangan pengungsi memberikan indikasi bahwa pengungsian paksa ini sudah direncanakan sejak lama untuk mengantisipasi kekalahan dalam jajak pendapat.

Kondisi ini sangat war-prone, dan konflik di Timtim ternyata bereskalasi.

(*)

Artikel Terkait