Penulis
Intisari-Online.com -Soeharto merupakan Presiden Indonesia terlama yang menjabat 32 tahun, dari 1967 hingga 1998.
Masa kepemimpinannya disebut dengan Orde Baru atau Orba.
Awal mula terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia adalah saat ia berhasil menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang.
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 12 Maret 1967, mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno.
Sistem politik Soeharto yang represif merupakan salah satu alasan konflik Timur Timor (Timor Leste) sebelum kemerdekaannya dari Indonesia.
Jerry Indrawan, dalam penelitiannya Faktor penyebab konflik di Timor Timur sebelum kemerdekaannya dari Indonesia, menyebuthubungan antara sistem politik dengan perdamaian dimulai dari pengamatan bahwa negara-negara demokratis hampir tidak pernah berperang satu sama lain.
Negara yang sedang transisi menuju demokrasi adalah negara yang paling rawan konflik, seperti di Timtim ini.
Hal ini karena selama 24 tahun Timor Timur berada di bawah rezim otoriter Soeharto.
Di masa itu segala tindakan yang dianggap membahayakan rezim yang berkuasa langsung ditindak tegas oleh hukum karena segala tindakan tersebut langsung dicap sebagai tindakan maker, subversif, dan haram berkembang di wilayah NKRI.
Segala sesuatu dikontrol secara “overload”, sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang langka dan sangat berharga.
Berbagai aktivis yang menentang pemerintah langsung ditindak secara hukum dengan sangat tegas.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental dalam setiap sendi pemerintahan.
Pada masa itu, masyarakat berada pada kesenjangan sosial yang sangat parah.
Sistem politik di Jakarta sangat bersikap represif terhadap situasi politik di Timor Timur, apalagi terkait kebijakan menghadapi pihak-pihak yang ingin merdeka di sana.
Akan tetapi, situasi berbalik ketika mundurnya Soeharto.
Angin segar demokrasi seperti berhembus dan memberikan badai bagi Habibie untuk bijak dalam meresponi aspirasi rakyat Timtim.
Akhirnya, referendum pun dijalankan dengan hasil masyarakat Timtim memutuskan untuk merdeka dari Indonesia.
Sebenarnya, sejumlah pemimpin Indonesia percaya bahwa pembangunan yang mereka lakukan di Timtim akan memenangkan hati penduduk sehingga mereka setuju untuk bergabung dengan Indonesia.
Namun, pemerintah Indonesia, di bawah rezim Orde Baru ketika itu, memerintah dengan kejam dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terhadap mereka yang menolak integrasi.
Akibatnya konflik tak bisa dihindari.
Pasca pengumuman referendum, terdapat sekurang-kurangnya enam peristiwa mengungsian besar-besaran di Dili, Baucau, dan Lautem.
Sekitar 250.000 warga sipil dipaksa atau terpaksa mengungsi ke wilayah NTT.
Pola pengungsian paksa dilakukan dengan adanya serangan milisi ke kampungkampung dan memaksa penduduk meninggalkan pemukimannya.
Sementara itu, di berbagai jalan utama sudah menunggu kendaraan yang disediakan aparat keamanan dan digunakan untuk membawa penduduk ke wilayah NTT.
Pengungsian paksa ini didahului dengan intimidasi, ancaman, teror yang kejam, dan ganas oleh milisi bersama aparat keamanan, sehingga para penduduk sipil kehilangan keberanian untuk tinggal.
Pengungsian paksa ini dilakukan dengan berbagai modus operandi yang menegaskan adanya suatu perencanaan yang sistematis.
Dokumen yang diperoleh dan keterangan pengungsi memberikan indikasi bahwa pengungsian paksa ini sudah direncanakan sejak lama untuk mengantisipasi kekalahan dalam jajak pendapat.
Kondisi ini sangat war-prone, dan konflik di Timtim ternyata bereskalasi.
(*)