Intisari-online.com - Bagi Australia meredam amukan Indonesia di Timor Leste mungkin adalah pencapaian luar biasa yang mereka lakukan.
Ini diungkapkan oleh ABC News Australia dalam sebuah artikel yang membongkar bagaima peran Australia sebenarnya di balik invasi Indonesia atas Bumi Lorosae.
Selama bertahun-tahun setelah referendum, John Howard menyatakan bahwa "pembebasan" Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan sebagai perdana menteri, di samping skema pembelian kembali senjata.
Namun dokumen arsip menunjukkan pada kenyataannya AS-lah yang berhasil menekan Indonesia untuk "mundur dari ambang bencana".
Lalu mengizinkan pasukan penjaga perdamaian multinasional masuk ke negara itu, sementara geng-geng milisi terus membantai orang Timor tanpa mendapat hukuman.
Dokumen-dokumen AS menambahkan konteks baru pada kabel diplomatik dan intelijen Australia yang bocor pada akhir 1999.
Menunjukkan bahwa terlepas dari klaim Howard di kemudian hari, Australia secara konsisten melobi pengerahan pasukan penjaga perdamaian.
Satu laporan CIA dalam dokumen-dokumen AS yang baru diterbitkan menunjukkan bahwa militer Indonesia mendukung milisi pembunuhan di Timor Leste.
"Inisiatif Jakarta untuk mengendalikan situasi keamanan di Timor Timur berdampak kecil karena unsur militer Indonesia telah mendukung milisi pro-integrasi," menurut sebuah artikel di Tinjauan Terorisme CIA.
"Banyak laporan menunjukkan bahwa unsur-unsur militer Indonesia telah membantu atau bekerja dengan milisi pro-integrasi," katanya.
"Militer Indonesia pada tanggal 6 September 1999 bekerja secara terbuka dengan milisi untuk memaksa orang keluar dari Timor Timur," imbuhnya.
Laporan CIA secara langsung bertentangan dengan komentar menteri luar negeri Australia saat itu Alexander Downer.
Sepanjang tahun 1999 telah meremehkan peran angkatan bersenjata Indonesia (TNI) dan mengklaim hanya "elemen nakal" TNI yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
Ketika ABC News bertanya, apakah AS bukan Australia telah memaksa Indonesia untuk menerima pasukan penjaga perdamaian, Downer menolak klaim tersebut.
"Saya tidak punya waktu untuk membaca semua dokumen itu, tetapi asumsi Anda salah," katanya.
"Ada catatan panjang komentar Australia tentang peristiwa ini kami tidak pernah melobi melawan pasukan penjaga perdamaian dan Anda tampaknya sama sekali tidak menyadari upaya besar yang kami lakukan pada tahun 1999 untuk membendung kekerasan di Timor Timur, termasuk KTT Bali dengan presiden BJ Habibie," katanya.
Downer mengatakan kepada Radio ABC pada Februari 1999 bahwa pemerintah tidak dapat mengkonfirmasi laporan bahwa militer Indonesia mempersenjatai milisi di Timor Leste.
"Militer Indonesia menyangkal hal ini," katanya.
"Jelas sangat sulit bagi kami untuk memverifikasi satu atau lain cara," terangnya.
Pada konferensi pers akhir bulan itu dia mengatakan dia mendapat jaminan dari menteri luar negeri Indonesia saat itu Ali Alatas bahwa Indonesia tidak mendukung milisi.
"Dia menjelaskan kepada saya bahwa mereka tidak memberikan senjata kepada pro-integrasi. Tapi apa yang mereka lakukan adalah apa yang mereka lakukan di semua provinsi," imbuhnya.
"Itu adalah bahwa mereka memiliki beberapa orang sipil yang membantu dalam fungsi kepolisian," jelasnya.
Downer membuat komentar serupa beberapa minggu kemudian setelah pembantaian di Liquica, di mana puluhan orang tewas.
Profesor Clinton Fernandes di Universitas NSW pada tahun 1999 menjadi analis intelijen utama untuk TimorLestedi Pusat Intelijen Gabungan Teater Australia (ASTJIC) di Sydney.
Dia mengatakan sikap Australia pada saat itu memiliki efek "memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia".
"Howard dan Downer berusaha keras untuk membebaskan TNI," katanya.
"Kabel-kabel ini pada dasarnya menegaskan bahwa kebijakan pemerintah Howard adalah mempertahankan Timor di Indonesia. Dan pada akhirnya terpaksa mundur," katanya.
Kabel-kabel Australia pada saat itu menunjukkan bahwa para analis intelijen Australia memiliki banyak bukti pada awal April 1999.
Ini bertentangan dengan apa yang dikatakan Downer bahwa militer Indonesia mempersenjatai unit-unit milisi, dan bahwa hubungan ini mengarah ke puncak angkatan darat, yaitu Panglima TNI Jenderal Wiranto.
Pada Awalnya Australia menghendaki Timor Timur sebagi bagian dari Indonesia, karena mereka tidak mau ada negara kecil yang berdiri di dekat Australia.
Ini akan membebani Australia, sehingga meminta Indonesia untuk mencaplok wilayah itu.
Namun sejak PBB menekan Indonesia, Australia dipaksa menjadi salah satu pasukan perdamaian yang dikirim untuk mengamankan situasi di Timor Leste, bertentangan dengan keinginan awal mereka.