Penulis
Intisari-Online.com -Jet tempur F-22 digadang menjadi jet tempur paling unggulan di dunia.
Kemampuan silumannya yang mumpuni menjadi keunggulan yang membuat jet tempur buatan Lockheed Martin itu semakin menggiurkan.
Namun, Amerika Serikat tidak bertujuan membuat F-22 terlalu komersial.
Justru AS malah ingin mempromosikan F-35.
Hal ini karena F-22 termasuk teknologi lanjutan jet tempur yang tentunya akan merugikan AS jika terlalu dikomersialkan.
Militer AS memang tergolong militer terbaik di dunia.
Menurut situs peringkat militer dunia, Global Fire Power, hanya militer Rusia yang bisa mengalahkan militer AS.
Kini, kabarnya ternyata Rusia memiliki jet tempur yang bisa mengalahkan jet tempur F-22.
Ialah Sukhoi/Su-35 Flanker-E yang bisa mengalahkan F-22.
Apa keunggulan jet tempur dari negara pimpinan Vladimir Putin ini?
Mengutip The National Interest, ternyata Su-35 Flanker-E memiliki radar infra merah yang bisa mencari dan melacak.
F-22 Raptor adalah salah satu pesawat perang paling canggih di dunia, tapi ternyata ada beberapa kelemahan dari pesawat tersebut.
Pertama, F-22 buta di inframerah walaupun beberapa potensi saingannya memiliki sensor pelacak dan pencarian infra merah, secara efektif membuat mereka terlacak untuk alat pelacakan pesawat perang musuh yang menggunakan sensor panas.
Jet tempur AS terakhir yang memiliki sensor infra merah selama pengembangannya adalah F-14 Tomcat.
Jet tempur F/A-18 Super Hornet kini memiliki pilihan membawa droptank garis tengah dengan infra merah, yang membuatnya mahal untuk benar-benar turun dalam pertempuran.
F-22 juga tidak memiliki radar yang menghadap ke samping, yang memungkinkan pesawat untuk menembakkan rudal yang membutuhkan pembaruan di tengah jalan dari radar pesawat sambil terus memberikan data pelacakan setelah berbelok lebih dari 90 derajat dari jalur rudal.
Tanpa radar seperti itu, jet tempur harus terus menunjuk kepada pesawat musuh, dan semakin mendekat ke rudal yang bisa menembaki mereka.
Namun kekurangan F-22 ini ternyata berasal dari asal-usul Raptor.
F-22 dimulai dari program Jet Tempur Taktis Canggih yang dimulai 1981.
Angkatan Udara AS memberikan penghargaan General Dynamics dan kontrak kepada McDonnell Douglas atas desain kerja aslinya untuk jet tempur udara ke darat yang bisa terbang dengan ketinggian 2,5 Mach sampai ketinggian medium, dan bisa membawa senjata yang menghancurkan tank dan target di darat.
Program itu awalnya tidak menghasilkan apa-apa, karena F-16 Fighting Falcon yang aslinya dirancang sebagai pesawat tempur udara-ke-udara untuk siang hari tiba-tiba muncul dari belakang dan digunakan kembali untuk mengisi peran jet tempur udara-ke-darat.
Pada akhir 1985, Angkatan Udara AS membuat sejumlah perubahan yang diperlukan saat program berlanjut, termasuk penekanan lebih besar ke kemampuan siluman.
Mereka juga mengubah proses pemilihan sehingga alih-alih 4 perusahaan menerima kira-kira USD 100 juta masing-masing, dua akan mendapatkan kontrak USD 700 juta masing-masing untuk memproduksi purwarupa terbang.
Salah satu purwarupa akan ditenagai oleh mesin F119 Pratt & Whitney dan lainnya dengan mesin General Electric F120.
Saat yang sama, Angkatan Udara AS mengirimkan surat ke perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk mendorong kerjasama.
Ide di balik ini adalah karena Angkatan Udara AS menginginkan sebanyak mungkin bakat untuk program yang besar dan mahal.
Sebagai hasilnya, Boeing, Lockheed dan General Dynamics membentuk satu tim, dan Northrop dan McDonnell Douglas membentuk tim lain, tapi Rockwell dan Grumman tidak membentuk tim.
Pada 31 Oktober 1986, Angkatan Udara mengumumkan Lockheed dan Northrop sebagai pemenang di persaingan itu untuk program Jet Tempur Taktis yang Canggih.
Kesepakatan kerjasama di antara Boeing, General Dynamics dan Lockheed meminta perusahaan pemenang menjadi pemimpin tim, sehingga Lockheed jadi kepala tim program tersebut.
Tim pemenang diberi 4 tahun untuk memproduksi purwarupa terbang mereka.
Rancangan Lockheed di tahap ini memiliki ruang senjata putar besar yang mendorong mesin dan saluran masuk ke luar, yang pada gilirannya menghasilkan sejumlah hambatan gelombang yang berlebihan.
Ini juga yang terjadi pada F-35 Joint Strike Fighter dengan kipas angkat vertikal, membuat pesawat menjadi terlalu lebar dan draggy.
Awalnya, Angkatan Udara mengharuskan delapan rudal dibawa secara internal di dalam ruang senjata utama F-22, kemudian dikurangi jadi 6 ketika kedua tim desain menyimpulkan bahwa rancangan ini tidak dilakukan secara efektif.
Tantangan sebenarnya F-22 adalah untuk mengintegrasikan kemampuan siluman, supercruise, avionik yang sangat terintegrasi dan lincah ke dalam pesawat yang jangkauannya lebih jauh daripada pesawat yang digantikan, yaitu F-15 Eagle.
Rancangan F-22 kemudian dibatasi biayanya oleh Angkatan Udara AS menjadi sebesar USD 9 juta per pesawat dalam produksi, sampai pada saat ini, rancangan Lockheed memiliki lebih dari USD 16 juta avionik di setiap pesawat.
Hal ini akhirnya membuat rancangan inframerah dijatuhkan, juga termasuk radar yang dipasang di pipi pesawat, keputusan yang tidak dibuat oleh Angkatan Udara AS tapi dari Lockheed Martin yang memutuskan apa yang terbaik untuk uang.
Kini, keputusan Lockheed Martin ini segera disesali karena Su-35 Flanker-E Rusia memiliki radar pencarian dan pelacakan infaremerah serta dipasang di pipi pesawat.