Penulis
Intisari-Online.com -Ungkapan "jangan pernah sekali-kali meninggalkan sejarah" dari Presiden Soekarn nampaknya tepat dilontarkan kepadaPresiden Guinea, Alpha Conde.
Sebab, dirinya kini harus merana karena tidak pernah belajar pada sejarah yang terjadi di negaranya sendiri.
Selain itu, dirinya juga bak lupa dengan berbagai pengalaman yang dialaminya selama satu dekade memimpin negaranya.
Hingga kini, akhirnya dirinya harustampil secara menyedihkan dalam rekaman video yang menunjukkan dirinya lelah dan kusut dalam tahanan militer.
Ya, Conde kini berada dalam pengawasan ketat pasukan militer yang telah mendongkel dirinya dari kursi kekuasaan.
Setelah baku tembak yang berlangsung selama berjam-jam, di dekat istana presiden, Conde akhirnya takluk di tangan tentara pemberontak, Minggu (5/9/2021).
Bergejolak selama hampir 4 dekade
Guinea sendiri memang sudah lama berada dalam kondisi politik yang penuh gejolak.
Dimulai pada1984, atau hampir 4 dekade lalu, saat kekuasaan negara diambil alih oleh Lansana Conte, setelah pemimpin pertama Guinea pasca-kemerdekaan meninggal dunia.
Conte memang berhasil mempertahankan kekuasaannya selama 15 tahun, sampai dirinya wafat pada 2009.
Namun, pergantian kekuasaan dari dirinya tidak ditempuh secara damai, melainkan melalui sebuah kudeta yang dimenangkan oleh Kapten Moussa "Dadis" Camara sebagai penguasa baru.
Hanya saja, Camara hanya mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu singkat.
Dia menjadi buruan para pemberontak yang ingin membunuhnya, sebelum akhirnya berhasil selamat di pengasingan dan harus rela menanggalkan kursi presiden.
Kepergian Camara yang kemudian melahirkan pemilihan umum pertama pada 2012 inilah yang kemudian membawaAlpha Conde sebagai orang nomor satu di Guinea.
Apa yang selanjutnya terjadi tentu saja sudah bisa diduga oleh banyak pihak: upaya kudeta kembali bermunculan.
Conde memang berulang kali berhasil menggagalkan segala upaya para pemberontak untuk mendongkelnya dari kekuasaan.
Bahkan, beberapa kali dirinya hampir saja kehilangan nyawa seiring dengan bermunculannya upaya pembunuhan terhadap dirinya.
Terhitung sudah dua kali pintu kamar di rumahnya 'digedor' oleh para pemberontak menggunakan roket.
Conde memang berhasil selamat dalam dua serangan tersebut, namun tidak demikian dengan salah satu pengawalnya yang menjadi korban serangan granat berpeluncur roket.
Serangan-serangan terhadap Conde sendiri dipicu oleh kekecewaan masyarakat yang sebelumnya justru berharap banyak pada kepemimpinannya di Guinea.
Apalagi, selama beberapa dekade sebelumnya, negara ini terperosok sangat dalam pada jurang korupsi dan sikap otoriter para penguasa.
Sayangnya, Conde dianggap tak mampu mengangkat negara yang sebagian besar warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Kondisi yang sungguh miris mengingat negara ini kaya akan mineral, bahkan termasuk bauksit dan emas.
Pandemi, seperti juga terjadi di berbagai negara lain, semakin memperburuk kondisi ekonomi negara ini.
Demonstrasi jalanan yang diiringi dengan kekerasan pun akhirnya mulai kembali pecah pada tahun lalu.
Apalagi setelah Conde menyelenggarakan referendum untuk mengubah konstitusi yang menghilangkan batas masa jabatan presiden untuk dirinya.
Sebenarnya urusan demonstran sipil terhitung sudah berhasil dihadapi oleh Conde, meski harus menimbulkan korban jiwa.
Namun, Conde gagal merangkul pihak militer yang justru memiliki kekuatan besar untuk menggulingkannya.
Dengan sangat semberono, baru-baru ini Conde malah mengajukan proporal untuk memangkas gaji anggota militer.
'Dorr', tembakan keras pun akhirnya meletus di sekitar istana presiden, yang seperti kita ketahui, berakhir dengan ditahannya Conde olehKolonel Angkatan Darat Mamadi Doumbouya,komandan unit pasukan khusus tentara Guinea.