Penulis
Intisari-online.com -Indonesia dikejutkan dengan dibebaskannya koruptor Samin Tan.
Koruptor Samin Tan adalah terdakwa korupsi kasus suap dan gratifikasi kepengurusan terminasi kontrak perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Hal itu diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang memandang bahwa Samin Tan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Seperti dalam dakwaan alternatif pertama dan kedua yang diajukan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ironisnya, penyidik KPK yang menangkap koruptor Samin Tan, Yudi Purnomo Harahap, malah justru dibebastugaskan.
Ia bahkan terancam dipecat November 2021.
Yudi menganggap putusan bebas koruptor Samin Tan adalah ironi bersejarah.
"Belum pernah ada kejadian bersejarah seperti ini ketika yang ditangkap divonis bebas, namun yang menangkap malah akan diberhentikan dari pekerjaan," kata Yudi, Rabu (1/9/2021) dikutip dari Kompas TV.
Yudi mengaku, pemberhentian dari pekerjaannya selama ini belum pernah muncul di pikirannya sejak awal bertugas di KPK.
Dia menuturkan, para pegawai KPK terutama penyidik, hanya memiliki pikiran bahwa risiko yang akan dihadapi adalah teror, bukan malah dibebastugaskan setelah optimal bekerja.
"Pada bertanya bagaimana perasaanku, jujur saja pikiran paling liar risiko ketika dulu jadi penyidik KPK paling teror," ujar dia.
Tidak hanya Yudi, penyidik KPK lainnya yang akan dipecat adalah Ambarita Damanik.
Ambarita Damanik ternyata juga merupakan penyidik KPK yang menangkap koruptor Samin Tan.
Ia termasuk penyidik senior di KPK, dan sering bertugas dalam kasus-kasus besar.
Ia disingkirkan lewat jerat tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK.
Padahal Ambarita disebut Yudi pernah mendapatkan penghargaan dari FBI terkait pemberantasan korupsi.
Penghargaan tersebut diberikan secara langsung oleh Duta Besar AS di Indonesia.
Ada juga Rizka Anungnata, penyidik lulusan Akademi Kepolisian tahun 1999 yang disingkirkan KPK juga lewat TWK.
Rizka ikut dalam penangkapan koruptor Samin Tan, dan juga pernah menyidik kasus korupsi e-KTP menjerat Setya Novanto, sampai kasus korupsi yang menjerat Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
KPK kemudian mengeluarkan koruptor Samin Tan dari Rutan Polres Metro Jakarta Pusat Senin (30/8/2021) malam.
Sebelumnya Hakim Panji Surono-lah yang membebaskannya.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Hakim Panji Surono dalam sidang di Tipikor Jakarta, Senin (30/8/2021), dikutip dari Antara.
"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabatnya," kata Hakim Panji.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sebelumnya menuntut koruptor Samin Tan divonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kasus korupsi Samin Tan adalah memberikan uang Rp 5 miliar kepada Eni Maulani Saragih lewat tiga tahap.
Koruptor Samin Tan memberikan uang agar Eni Saragih mau membantu pemutusan Perjanjian perusahaannya PKP2B Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Majelis hakim yang ada dalam sidang tersebut adalah Panji Surono, Teguh Santoso dan Sukartono.
Mereka menyebut perbuatan pemberian gratifikasi itu belum diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Hakim Teguh Santoso, UU Tipikor hanya mengatur soal gratifikasi dari sisi penerima yang merupakan pejabat negara.
"Terdakwa Samin Tan, selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR, belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan. Yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B," kata Teguh Santosa.
Majelis Hakim juga beranggapan tindakan Samin Tan tidak termasuk delik suap, melainkan gratifikasi sesuai pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Sementara, Majelis Hakim mengatakan tidak mungkin gratifikasi mengancam pidana pada pihak pemberi.
"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," ucap Hakim Teguh.
Mereka menilai bukan koruptor Samin Tan, tapi Eni Saragih lah yang melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaporkan gratifikasi.
"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," kata Hakim Teguh.
Majelis Hakim juga menganggap tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur pemberi gratifikasi.
Baca Juga: Wah, Wah, Tiba-tiba Mantan Bos BTN Maryono Diperiksa Kejagung, Ada Apa Gerangan?
"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," kata hakim.
Sementara itu, Eni Saragih mendapat vonis 6 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura pada Maret 2019 lalu.
KPK menegaskan bukti korupsi koruptor Samin Tan begitu kuat dari awal proses penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan lembaga antirusuh, sehingga KPK segera menyusun memori kasasi agar koruptor Samin Tan bisa dihukum sesuai perbuatannya.
"KPK juga meyakini bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, yang kemudian diperdalam pada proses penyidikan,” kata Ali.
"Di mana seluruh rangkaian perbuatan terdakwa Samin Tan tersebut telah diuraikan secara jelas dalam surat dakwaan Jaksa KPK."