Intisari-online.com -Indonesia tidak bisa dijauhkan dari cerita mengenai orang kaya dan berkuasa mengkorupsi hukum yang memiliki tangan pendek.
Contohnya adalah kasus penipuan Eddy Tansil 1996 yang gagal pulang dari kantor satu sore setelah diperbolehkan keluar penjara untuk hadiri rapat bisnis.
Tansil yang saat itu menjalani hukuman 20 tahun penjara di Penjara Cipinang, tinggal kebanyakan di China.
Ia berfoya-foya menikmati 420 juta Dolar AS yang ia gondol dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Bapindo runtuh dan kemudian dibeli oleh Bank Mandiri, yang kini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia.
Sosok pria berusia 67 tahun itu diekstradisi tapi tidak pernah pulang ke Indonesia.
Namun kasus lebih membingungkan adalah penipuan oleh Joko Tjandra, atau yang disebut di media asing sebagai 'Joker'.
Pria berusia 68 tahun itu bekerja sebagai pebisnis.
Kasus Joker menjadi arahan jika tidak ada yang tidak mungkin di sistem korup Indonesia ketika kenangan hilang dan telapak tangan yang tepat 'diminyaki'.
Sebagai sosok penting di Mulia Group, Joko Tjandra terbang ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 2009.
Ia melarikan diri sehari sebelum dihukum 2 tahun penjara karena memfasilitasi pemindahan uang sebanyak 78 juta Dolar dari Bank Bali ke perusahaan swasta yang ia kelola.
Uang itu seharusnya dibayarkan untuk melengkapi utang 146 juta Dolar dari tiga bank yang gagal di bawah kelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ketika krismon 1997-98 yang membeberkan kekurangan besar di sistem finansial Indonesia.
Pejabat kini mengakui jika Tjandra kembali pulang ke Indonesia 3 bulan lalu.
Ia kesulitan menyusun KTP baru dan paspor baru di bawah nama aslinya, dan dengan berani mengajukan banding atas kasusnya yang berusia 11 tahun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hanya beberapa minggu saja pihak berwenang sadar keberadaannya di Indonesia.
Namun sampai sekarang pun mereka tidak mampu melacak pergerakannya.
Hal ini menjadi diyakini banyak pihak jika menjadi bukti meluasnya keterlibatan polisi dengan jabatan tinggi dan petugas imigrasi dan sosok-sosok penting yang bisa meloloskan kepergian para penipu ini.
Memegang paspor Papua Nugini sebagai senjata di bawah nama Joe Chan pada Mei 2012, Joko Tjandra dilaporkan telah berpindah-pindah antara Port Moresby dan Malaysia, meski kedua negara memiliki kesepakatan ekstradisi dengan Indonesia.
Dan tiba-tiba saja, namanya diam-diam dihapus dari daftar merah Interpol.
Daftar merah Interpol berisi nama-nama lebih dari 7300 penipu internasional yang masih bebas di seluruh dunia.
Meski kini Joko Tjandra kembali masuk dalam daftar hitam imigrasi Indonesia, Dewan Pusat Interpol Nasional mengklaim Joko Tjandra ditarik dari daftar merah Interpol karena kantor Jaksa Agung tidak memperpanjangnya sejak 2014.
Satu-satunya kasus ekstradisi Indonesia yang sukses dalam waktu belakangan ini hanyalah ekstradisi Maria Pauline Lumowa (62), dalam kasus 17 tahun menggarong 118 juta Dolar uang dari BNI.
Bahkan, hal itu dianggap sebagai kudeta sampai Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terbang ke Beograd pekan lalu untuk mengambil hak asuh resmi di Lumowa.
Lumowa dikabarkan sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979, yang ditangkap di ibu kota Serbia tahun lalu.
Sebelum Maria, sosok penipu kelas kakap yang berhasil ditangkap adalah Hartawan Aluwi (58), yang dideportasi dari Singapura tahun 2016 setelah izin tinggalnya kadaluarsa.
Ia dihukum 14 tahun penjara atas keterlibatannya dalam skandal Bank Century tahun 2008, yang tunjukkan pemerintah berikan 710 juta Dolar dalam dana talangan setelah pencurian.
Daftar merah hanya berlaku lima tahun dan dapat dibuat publik atau hanya untuk para penegak hukum saja. Pencarian acak dari database Interpol gagal menunjukkan 40 penipu Indonesia yang masih masuk daftar Indonesian Corruption Watch.
Di antara mereka adalah Tansil, sementara kasus Joko Tjandra masih berlangsung.
"Ada banyak kolonel yang benar-benar berkeringat, mereka khawatir diseret ke dalamnya," ujar satu sumber yang dekat dengan polisi.
Dalam upaya memperbaiki kerusakan, kepala Divisi Kejahatan Hubungan Internasional dan Transnasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo telah dicopot dari posisi mereka.
Brigjen Prasetijo Utomo juga ditangkap, auditor dan spesialis kejahatan kerah putih yang mengepalai biro di Departemen Investigasi Kejahatan yang mengevaluasi kerja pajak sipil dan investigator pasar saham.
Tjandra membawa surat rekomendasi ditandatangani oleh Utomo dan digambarkan sebagai konsultan biro dalam sertifikat bebas Covid yang diisukan oleh Departemen Medis dan Kesehatan polisi, yang diperlukan warga untuk bepergian.
Joko Tjandra sendiri merupakan rekan dari mantan presiden B.J. Habibie dan Setya Novanto, yang terakhir itu tidak pernah dihukum dan menjadi ketua Partai Golkar dan ketua DPR sebelum akhirnya tersandung kasus korupsi lagi.
Namun skandal Bank Bali yang terjadi di titik penting dunia tahun 1999, menjadi ancaman bagi IMF dan Bank Dunia, yang keduanya memberikan seperempat dari 40 miliar Dolar dana penyelamat untuk menarik Indonesia dari jurang finansial.
Pemberi pinjaman internasional harus khawatir jika aliran dana yang harusnya menjadi penyelamat nyawa penting untuk bank Indonesia dan membantu para warga malah justru berakhir di kantong para pejabat koruptor yang dari awal menciptakan krisis itu.
Terpilihnya mantan Presiden Abdurrahman Wahid membantu membersihkan skandal dan memulai kembali bantuan internasional saat itu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini