Find Us On Social Media :

Berencana Gantikan AS di Afghanistan, Kekuatan Militer China-Amerika pun Jadi Perbincangan, Ini Perbandingan Keduanya

By Khaerunisa, Selasa, 13 Juli 2021 | 18:00 WIB

Kapal perusak USS Higgins. Ilustrasi perbandingan kekuatan militer China - Amerika.

 

Intisari-Online.com - Setelah penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan, China dikabarkan mendekati Afghanistan.

Presiden AS Joe Biden menentukan bahwa 31 Agustus 2021 akan menjadi penarikan gelombang terakhir pasukan miiter AS di Afghanistan.

Disebut, China mulai mengembangkan pengaruhnya di kawasan itu setelah 20 tahun perang di negara tersebut.

Menteri luar negeri China Wang Yi akan memulai perjalanan ke Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan pada hari Senin untuk membahas rencana China di Asia Tengah karena China mulai mendekati Afghanistan.

Baca Juga: Disembunyikan China Mati-matian, Citra Satelit Ini Bongkar Rencana Gila China Punya Pangkalam Militer Super Rahasia Mirip Area 51, Apa Tujuannya?

Melansir Express.co.uk, Senin (12/7/2021), langkah tersebut menegaskan kekhawatiran yang berkembang bahwa China memiliki tujuan besar untuk pengaruh dan kekuatan yang lebih besar di kawasan itu.

Berbicara kepada saluran berita WION, pembawa acara Palki Sharma mengatakan:"Ketika tenggat waktu penarikan pasukan AS semakin dekat, China bergerak cepat untuk memenuhi kekosongan kekuasaan di Afghanistan dan Asia Tengah,"

Diungkapkan, bahwa Menlu China juga akan mengikuti pertemuan Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang akan digelar di Tajikistan Juli mendatang, di mana anggota SCO lainnya adalah beberapa tetangga terdekat Afghanistan dan kekuatan regional termasuk India, Pakistan dan Rusia.

Di tengah kabar tersebut, kekuatan militer AS dan China pun menjadi perbincangan.

Baca Juga: Situasinya Covid-19 di Indonesia Makin Kronis, Ternyata Banyak Negara Sudah Was-Was dengan Indonesia Bahkan Negara-Negara Ini Sampai Tutup Pintu Untuk Indonesia

China disebut terus maju dengan rencananya untuk mengubah militernya menjadi kekuatan tempur modern pada tahun 2027.

Melansir 24h.com.vn, surat kabar SCMP di Hong Kong pada 12 Juli menerbitkan artikel perbandingan kekuatan militer AS-China, dalam hal pengeluaran militer dan kapasitas tempurnya.

Anggaran pertahanan

Amerika Serikat merupakan pembelanja pertahanan terbesar di dunia, dengan anggaran $778 miliar tahun lalu, terhitung 39% dari total pengeluaran pertahanan global, menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute.

Sementara China saat ini menempati urutan kedua dengan pengeluaran pertahanan sebesar $252 miliar.

Namun, analis AS memperingatkan Washington perlu terus meningkatkan momentum anggarannya untuk menjauhkan diri dari China.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Justru Cetak Banyak Orang Kaya Baru di Indonesia, Lantas Mengapa Indonesia Malah Turun Kelas Jadi Negara Menengah Ke Bawah?

Jumlah tenaga kerja

China adalah negara dengan ukuran militer terbesar di dunia, dengan 2 juta tentara reguler pada 2019, menurut buku putih pertahanan terbaru.

Sementara itu, AS saat ini memiliki 1,35 juta tentara reguler dan 800.000 cadangan.

Namun, dalam lingkungan pertempuran modern, teknologi dan peralatan militer memainkan peran yang lebih penting daripada kuantitas. Akibatnya, baik AS dan China mengurangi pasukan tetap mereka.

Pada 2015, Presiden China Xi Jinping mengumumkan pengurangan 300.000 tentara dan Presiden AS Joe Biden diperkirakan akan memangkas 4.500 tentara tahun depan.

Baca Juga: Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, Negeri Komunis Ini Tiba-tiba Dilanda Kerusuhan Besar karena Rakyatnya Sendiri, Rupanya Perkara Covid-19 Jadi Pemicunya

Angkatan Darat

Tentara China adalah yang terbesar di dunia, dengan 915.000 tentara reguler, hampir dua kali lipat AS 486.000, menurut angka tahun 2020 dalam laporan Pentagon.

Tetapi tentara China, yang dipersenjatai dengan senjata usang, tidak dapat beroperasi secara efektif tanpa pelatihan dan peralatan, kata laporan Pentagon.

China telah menggunakan senjata otomatis yang lebih kompak dan kuat kepada tentara, mengurangi beban tentara.

Namun para ahli militer mengatakan pelatihan tersebut belum mencapai tingkat target.

Sementara itu, Angkatan Darat AS memiliki hingga 6.333 tank, yang merupakan negara dengan jumlah kendaraan tempur lapis baja terbesar kedua di dunia setelah Rusia.

China menempati urutan ketiga dengan 5.800 tank, menurut Forbes.

Baca Juga: Niatnya Hancurkan Markas Senjata Jerman, Pasukan Sekutu Justru Bombardir Kota yang Damai Karena Kesalahan Para Pilot Ini

Angkatan Udara

AS memiliki kemampuan serangan udara yang melampaui China dengan lebih dari 13.000 pesawat. 5.163 di antaranya milik Angkatan Udara AS, termasuk pesawat tempur paling modern di dunia seperti pesawat tempur siluman F-35 Lightning dan F-22 Raptor.

Sementara itu, kemampuan tempur udara China bergantung pada unit tempur udara angkatan udara dan angkatan laut, yang memiliki lebih dari 2.500 pesawat, di mana sekitar 2.000 di antaranya merupakan pesawat tempur.

Pesawat tempur paling modern China adalah pesawat tempur siluman J-20, yang dirancang untuk bersaing dengan F-22 AS.

Namun, J-20 memiliki kelemahan fatal pada mesinnya, karena mesin dalam negeri kurang awet dan menghasilkan daya dorong yang lebih rendah dibandingkan mesin impor dari Rusia.

Pada 9 Juli, AS mengumumkan informasi baru tentang generasi baru pembom siluman yang disebut B-21 Raider.

Sementara China sedang mengembangkan pembom strategis Xian H-20.

Baca Juga: Sembuh dari Covid-19? Segera Ganti Sikat Gigi dan Pembersih Lidah Anda! Para Ahli Juga Sarankan Lakukan Hal Berikut ini Demi Cegah Penularan Virus Corona

Angkatan Laut

China sekarang memiliki armada kapal perang terbesar di dunia dengan 360 kapal, dibandingkan dengan 297 kapal milik AS, menurut laporan Kongres AS.

Tetapi satu-satunya keuntungan China adalah jumlahnya yang banyak, terutama kapal-kapal kecil dan kapal patroli pantai.

Dalam hal jumlah kapal perang besar, AS benar-benar unggul.

Angkatan Laut AS memiliki 11 kapal induk bertenaga nuklir yang dapat beroperasi di mana saja di dunia, sementara China hanya memiliki dua kapal induk, Liaoning dan Shandong. Kedua kapal induk ini beroperasi dengan tenaga konvensional dan sebagian besar beroperasi di darat.

Namun, China membangun kapal perang baru dengan kecepatan yang mencengangkan sejak 2019.

Baca Juga: Brimob Korban Penembakan KKB Papua di Yahukimo Dievakuasi, Satgas Nemangkawi Sudah 6 Bulan Lamanya Tumpas KKB

Hulu ledak nuklir

Amerika Serikat adalah negara terbesar kedua di dunia dalam hal jumlah hulu ledak nuklir, setelah Rusia.

Prancis di peringkat ketiga dan keempat adalah China.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Departemen Pertahanan AS mengatakan bahwa China "memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir".

Sementara itu, Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm merilis laporan yang menunjukkan bahwa China memiliki 350 hulu ledak.

Jumlah tersebut jauh lebih sedikit daripada AS. Washington saat ini memiliki lebih dari 5.800 hulu ledak nuklir, 3.000 di antaranya siap tempur.

Karena AS dan Rusia terikat oleh Strategic Arms Reduction Treaty, China memiliki peluang untuk menutup kesenjangan.

Baca Juga: Lagi, China Marah Besar dan Usir Kapal Perang AS yang Masuk Perairan Ini, Sebut Lakukan Tindakan Provokatif, Padahal...

Rudal Balistik

Meskipun Amerika Serikat memiliki lebih banyak hulu ledak nuklir, China mendominasi dalam jumlah rudal balistik yang diluncurkan dari darat, termasuk yang memiliki hulu ledak konvensional atau nuklir.

Sejak 1987-2019, AS telah bergabung dengan perjanjian yang melarang pengembangan rudal balistik dan jelajah jarak menengah.

Setelah dicabut oleh Presiden AS saat itu Donald Trump , AS segera menguji rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari darat dan rudal balistik jarak menengah.

Namun China berada di atas angin berkat strategi rudal balistik yang telah berusia puluhan tahun, dengan DF-26 dijuluki sebagai "Pembunuh Guam".

Hal itu karena kemampuannya untuk memberikan serangan jarak jauh terhadap pangkalannya.

Menurut Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS), China saat ini memiliki 72 peluncur rudal balistik jarak menengah (IRBM).

Baca Juga: Pantas Saja Indonesia Jadi Sorotan Dunia, Rupanya Lonjakan Kasus Covid-19 di Indonesia Sudah Masuk 3 Besar Dunia, dengan Situasi yang Dianggap Sangat Kritis

(*)