Pada abad kedelapan belas, perkebunan Suriname adalah perusahaan yang sangat menguntungkan, antara tahun 1680 dan 1780 jumlahnya bertambah dari 200 menjadi 591.
Meski kemudian, sebagian karena salah urus pemilik yang sering tidak hadir, mereka berhenti menghasilkan keuntungan dan jumlah mereka juga menurun.
Namun, ekonomi Belanda terus mendapat manfaat besar dari perkebunan tersebut.
Dalam bukunya “Surinaams Contrast ,” Alex van Stipriaan, profesor sejarah Amerika Selatan di Universitas Erasmus di Rotterdam dan kurator di Royal Tropical Institute, menghitung dan menyatakan bahwa ekspor produk dari perkebunan antara tahun 1750 dan 1863 menghasilkan setidaknya 600 juta gulden!
Di balik perkebunan yang memberikan hasil melimpah itu, ada para budak yang dipekerjakan secara tidak manusiawi dan kejam.
Disebut, perkebunan di Suriname hanyalah rumah bagi kesengsaraan, kekejaman, praktik paling tidak manusiawi yang diketahui manusia.
Itu juga merupakan tempat penyiksaan di mana pemilik budak bebas untuk menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang tak terbayangkan.
Pemilik membunuh budak mereka dengan cara apa pun yang mereka suka.