Artinya 'Rantai Putus', Inilah Keti Koti yang Diperingati Orang Suriname Setiap 1 Juli, Apa yang Mereka Rayakan?

Khaerunisa

Penulis

Orang Suriname memperingati Keti Koti setiap tanggal 1 Juli. Keti Koti merupakan bahasa Suriname yang artinya 'Rantai Putus'

Intisari-Online.com - Orang Suriname di Belanda memperingati Keti Koti setiap tanggal 1 Juli.

Keti Koti merupakan bahasa Suriname yang artinya 'Rantai Putus'.

Di hari itu, biasanya dselienggarakan upacara peringatan nasional yang berlangsung di Oosterpark Amsterdam mulai pukul 1 siang dan disiarkan langsung di televisi.

Upacara tersebut termasuk mengheningkan cipta selama satu menit dan peletakan karangan bunga.

Baca Juga: Ada Banyak Warga Suriname Jawa, Indonesia dan Negara Ini Punya Hubungan Unik, Ternyata Kini Salah Satu Menterinya Keturunan Jawa, Siapa Sosoknya?

Selain itu, diadakan juga festival beberapa hari di distrik Zuidoost di Amsterdam.

Sayangnya, tahun ini peringatan Keti Koti dibatasi berkaitan dengan pencegahan penyebaran Covid-19.

Dirayakan begitu meriah, tentunya Hari Keti Koti begitu penting bagi orang Suriname.

Ya, tepatnya pada 1 Juli 1863, merupakan hari yang cerah bagi orang Suriname karena perbudakan dihapuskan dari wilayah koloni Belanda tersebut.

Baca Juga: Isi Perjanjian Versailles Ditandatangani sebagai Perjanjian Damai Perang Dunia I, Tapi Justru Dijuluki sebagai 'Perjanjian yang Dibenci', Kenapa?

Keti Koti yang diperingati setiap 1 Juli adalah adalah festival perayaan memperingati emansipasi budak Belanda.

Itu adalah hari ketika kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas yang dihormati secara nasional.

Seperti arti kata 'Keti Koti' di hari itu rantai perbudakan putus. Keti Koti menjadi simbol bagi kebebasan orang Suriname dari perbudakan.

Meskipun perbudakan secara resmi dihapuskan di Suriname dan kerajaan Belanda (dan koloninya) pada 1 Juli 1863, namun masih butuh 10 tahun lagi untuk sepenuhnya menyingkirkan sisa-sisa perbudakan.

Baca Juga: Dua Kasus Covid-19 Varian Kappa Terdeteksi di Sumsel dan DKI Jakarta, Varian Ini Juga Pertama Kali Ditemukan di India seperti Varian Delta, Apa Bedanya?

Belanda menguasai Suriname sejak abad ke-17, di mana perkebunan di wilayah tersebut memberikan keuntungan melimpah.

Melansir dutchreview, Selama lebih dari lima belas tahun Inggris berada di Suriname, mereka telah membangun dua ratus perkebunan gula.

Perkebunan itu diambil alih dan diperluas oleh Belanda. Pengusaha perkebunan diberikan sebidang tanah untuk ditanami dimana pada awalnya sebagian besar ditanami tebu, dan kemudian ditanami kopi, kapas, dan kakao.

Pada periode yang sama, perkebunan dengan nama romantis seperti Mon Désir, Roosenburg, dan Goede Vrede mulai bermunculan, terutama di pantai dan di sepanjang sungai.

Baca Juga: Prajurit Terbaik di Dunia, Inilah 5 Unit Pasukan Khusus Terbaik Sepanjang Sejarah Peperangan, Lakukan Misi yang Mustahil, Begini Cara Pelatihan Mereka yang Tidak Tanggung-tanggung Bahkan Cenderung Ekstrem

Pada abad kedelapan belas, perkebunan Suriname adalah perusahaan yang sangat menguntungkan, antara tahun 1680 dan 1780 jumlahnya bertambah dari 200 menjadi 591.

Meski kemudian, sebagian karena salah urus pemilik yang sering tidak hadir, mereka berhenti menghasilkan keuntungan dan jumlah mereka juga menurun.

Namun, ekonomi Belanda terus mendapat manfaat besar dari perkebunan tersebut.

Dalam bukunya “Surinaams Contrast ,” Alex van Stipriaan, profesor sejarah Amerika Selatan di Universitas Erasmus di Rotterdam dan kurator di Royal Tropical Institute, menghitung dan menyatakan bahwa ekspor produk dari perkebunan antara tahun 1750 dan 1863 menghasilkan setidaknya 600 juta gulden!

Baca Juga: Tak Berbuat Dosa Apapun Hanya Memungut Sebungkus Rokok di Pinggir Jalan, Pria Ini Dijebloskan ke Penjara, Begitu Dibuka Isi Bungkusan Rokok Itu Bikin Syok

Di balik perkebunan yang memberikan hasil melimpah itu, ada para budak yang dipekerjakan secara tidak manusiawi dan kejam.

Disebut, perkebunan di Suriname hanyalah rumah bagi kesengsaraan, kekejaman, praktik paling tidak manusiawi yang diketahui manusia.

Itu juga merupakan tempat penyiksaan di mana pemilik budak bebas untuk menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang tak terbayangkan.

Pemilik membunuh budak mereka dengan cara apa pun yang mereka suka.

Baca Juga: Program PEN Telah Disalurkan Kepada 120 hingga 140 Juta Jiwa

Di tempat lainnya, budak diperlakukan sama kejamnya, bahkan disebut bekerja di pabrik atau rumah masak lebih berbahaya dari mereka.

Banyak budak meninggal karena penyakit paru-paru, schistosomiasis, dan disentri karena bekerja di gudang berdebu dan minum air yang tercemar.

Para budak tidak dianggap oleh hukum sebagai manusia, melainkan sebagai properti bergerak.

Mereka tidak memiliki hak sipil dan, pada prinsipnya, tidak diizinkan memiliki properti.

Baca Juga: Rumah Sakit Kolaps dan Pemakaman Harus Antri, Seperti Inilah Situasi di Jakarta yang Mirip dengan India, Cuma Butuh 1 Bulan untuk Itu! Masih Tidak Percaya Adanya Covid-19?

Semua penderitaan budak Suriname menemui titik akhir ketika perbudakan di koloni Belanda dihapuskan.

Itulah bagaimana Hari Keti Koti begitu penting bagi orang Suriname di Belanda.

Mengutip nasionaltoday.com, di daerah jajahan Belanda, 1 Juli dikenang dengan istilah 'penghapusan'.

Tidak mengakui peristiwa 1 Juli 1863 sampai 1963, 100 tahun kemudian, kota Amsterdam baru mulai menyelenggarakan pertunjukan dan parade.

Baca Juga: Denmark vs Inggris di Euro 2020,Ini Sejarah Pertemuan Keduanya

(*)

Artikel Terkait