Terobsesi Setengah Mati pada Kemurnian Ras Arya, Hitler Ternyata Punya Hubungan Mesra dengan Dunia Islam, Bahkan Sampai Bikin Buku Khusus Ini untuk Tentara Nazi

K. Tatik Wardayati

Penulis

Hubungan mesra Islam dengan Nazi.

Intisari-Online.com – Terobsesi setengah mati pada kemurnian ras arya, Hitler ternyata punya hubungan mesra dengan dunia Islam, bahkan sampai membuat buku khusus ini untuk tentara Nazi.

Puluhan ribu Muslim berjuang untuk Nazi dalam Perang Dunia II.

Sejarawan David Motadel mengungkapkan pragmatisme atau anti-Semitisme mendorong tawaran Adolf Hitler dan mengapa beberapa pemimpin Muslim mendukungnya.

David Motadel dalam bukunya, Islam and Nazi Germany’s War, menulit tentang kebijakan Nazi terhadap entitas politik Islam.

Baca Juga: Sisa-sisa Sinagoga Yahudi di Lithuania ini Dipulihkan Setelah Dihancurkan oleh Nazi pada Masa Perang Dunia 2

Sebenarnya, seperti apakah kebijakan-kebijakan tersebut?

David Motadel, melansir dari DW, menjawab, pada puncak perang tahun 1941 – 1942, pasukan Jerman memasuki wilayah berpenduduk Muslim di Balkan, Afrika Utara, Krimea, dan Kaukasus.

Lalu ketika mendekati Timur Tengah dan Asia Tengah, Berlim mulai melihat Islam sebagai signifikan secara politik.

Nazi Jerman melakukan upaya signifikan untuk mempromosikan aliansi dengan “dunia Muslim” melawan dugaan musuh bersama mereka, yaitu Kerajaan Inggris, Uni Soviet, Amerika, dan Yahudi.

Baca Juga: Kisah Georges Loinger, Veteran Perang Dunia II, dengan Cara Menyenangkan Ini Dia Selamatkan Anak-anak Yahudi Sampai ke Tempat Aman

Jerman di zona perang, membuat propaganda bahwa rezim Nazi sebagai pelindung Islam.

Pada awal tahun 1941, Wehrmacht mendistribusikan buku pegangan militer ‘Islam’ untuk melatih tentaranya berperilaku benar tehadap populasi Muslim.

Di Front timur, Nazi memerintahkan pembangunan kembali masjid, aula, dan madrasah, yang sebelumnya dihancurkan oleh Moskow.

Pembangungan kembali ritual dan perayaan keagamaan tersebut dimaksudkan untuk melemahkan kekuasaan Soviet.

Otoritas militer Jerman juga melakukan upaya ekstensif untuk mengkooptasi pejabat tinggi Islam.

Propagandis Jerman di wilayah timur, Balkan, dan Afrika Utara mencoba menggunakan retorika agama, kosa kata, dan ikonografi untuk memobilisasi umat Islam.

Mereka mempolitisasi teks-teks suci seperti Al-Qur’.an sebagai perintah agama, terutama konsep jihad, untuk mengobarkan kekerasan agama demi tujuan politik.

Sejak tahun 1941, tentara Nazi Wehrmacht dan paramiliter SS merekrut puluhan ribu Muslim, terutama untuk menyelamatkan darah Jerman.

Tentara Muslim berperang di semua lini.

Baca Juga: ‘Jika Orang Shanghai Tidak Toleran, Hidup Kami Akan Sengsara’ Inilah Tilanqiao di Shanghai, China, Tempat Aman bagi Orang Yahudi di Masa Perang Dunia 1

Para pejabat tentara Jerman memberikan para rekrutan ini berbagai konsesi keagamaan.

Salah satunya mencabut larangan penyembelihan ritual, sebuah praktik yang telah dilarang karena alasan anti-Semit oleh Hukum Hitler untuk Perlindungan Hewan tahun 1933.

Asumsi yang tersebar luas adalah Muslim mendukung Rezim Nazi karena mereka berbagi perspektif anti-Semit.

Menurut Motadel, di sisi pragmatis Jerman, kepentingan strategis adalah kekuatan pendorong terpenting di balik kebijakan tersebut.

Dalam propagandanya, terutama di dunia Arab, tema-tema anti-Semit memainkan peran penting.

Propaganda anti-Semit sering dikaitkan dengan serangan terhadap migrasi Zionis ke Palestina yang telah muncuk sebagai topik utama dalam wacana politik Arab.

Di sisi Muslim, oran g tidak bisa menggeneralisasi.

Beberapa sekutu Muslim dari rezim Nazi, yang paling penting adalah Mufti Yerusalem yang terkenal, berbagi kebencian Yahudi dengan Nazi.

Di zona perang, di Balkan, di Afrika Utara, dan di wilayah Timur, gambarannya lebih rumit.

Baca Juga: ‘Kami Semua Yahudi di Sini’, Kisah Sersan Kepala dan Anak Buahnya Selamatkan 200 Prajurit Yahudi di Kamp Konsentrasi Saat Perang Dunia 2

Di banyak wilayah ini, Muslim dan Yahudi telah hidup bersama selama berabad-abad.

Dalam beberapa kasus, Muslim sekarang akan membantu tetangga Yahudi mereka, misalnya menyembunyikan mereka dari Jerman.

Menurut Motadel, keterlibatan Reich Ketiga dengan Islam tidak hanya karena daerah berpenduduk Muslim telah menjadi bagian dari zona perang saja.

Tetapi, yang lebih penting, bahwa dari tahun 1941 hingga 1942, situasi militer Jerman telah memburuk.

Di Uni Soviet, strategi Blitzkrieg Hitler telah gagal.

Ketika Wehrmacht berada di bawah tekanan, ahli strategi di Berlin mulai mencari koalisi perang yang lebih luas, dengan demikian menunjukkan pragmatisme yang luar biasa.

Perkawinan kaum Muslim adalah untuk menenangkan wilayah-wilayah berpenduduk Muslim yang diduduki dan untuk memobilisasi kaum Muslim untuk berperang di pihak tentara Hitler.

Banyak dari Muslim yang bekerja dengan rezim Nazi memiliki alasan pragmatis.

Baca Juga: Bengisnya Sama dengan Nazi, Bangsa Ini Ternyata Pernah Bantai 500.000 Orang Yahudi dan Membuatnya Menghilang Selama 2.000 Tahun, Bagaimana Kisahnya?

Mereka percaya bahwa Nazi Jerman pada tahun 1941-1942 akan menang dan bahwa itu akan menentukan tatanan dunia masa depan dan bahwa Nazi dapat membantu mereka dibebaskan, misalnya, dari kekuasaan kekaisaran Inggris.

Motif para prajurit ini sangat bervariasi.

Tentu saja beberapa rekrutan didorong oleh kebencian agama dan anti-Bolshevist, semangat ideologi.

Namun, secara keseluruhan Muslim sering memiliki motif yang agak profan untuk mendaftar.

Sejarawan Motadel melihat Muslim sebagai alat Nazi untuk mencapai tujuannya.

Kebijakan Nazi terhadap Islam dilatarbelakangi oleh pragmatisme.

Beberapa pemimpin Nazi, terutama Adolf Hitler dan Heinrich Himmler, berulang kali mengungkapkan rasa hormat mereka terhadap Islam.

Setiap kali mencela Gereja Katolik, Hitler secara rutin membandingkannya dengan Islam.

Dia mencela Katolik sebagai agama yang lemah dan banci, sementara dia memuji Islam sebagai agama perang yang kuat, agresif.

Baca Juga: Pedang Langka dari Himmler kepada Mufti Agung Yerusalem Ini Dilelang Seharga 575 Juta Rupiah

Namun, itu semua sebagai pertimbangan strategis, bukan ideologi, yang membuat kampanye Nazi Jerman untuk mobilisasi Islam.

Motadel mengatakan bahwa Hitler telah mendalilkan inferioritas rasial orang-orang non-Eropa di ‘Mein Kampf’.

Namun, begitu berkuasa, para pejabat Jerman menunjukkan diri mereka lebih pragmatis.

Turki non-Yahudi, Iran, dan Arab secara eksplisit dibebaskan dari diskriminasi rasial resmi pada tahun 1930-an, menyusul intervensi diplomatik dari pemerintah di Teheran, Ankara, dan Kairo.

Dan selama perang, Jerman menunjukkan pragmatis serupa.

Muslim, bagi setiap perwira Jerman, harus diperlakukan sebagai sekutu.

Kenyataan di lapangan sama sekali tidak demikian.

Pada bulan-bulan pertama invasi Nazi ke Rusia, pasukan SS mengeksekusi ribuan Muslim dengan asumsi bahwa sunat mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang Yahudi.

Baca Juga: Kisah Dr. Ruth, Terapis Hubungan Suami-Istri, Pernah Jadi Sniper Angkatan Darat Israel

Reinhard Heydrich, kepala petugas keamanan Nazi, mengirimkan arahan yang memperingatkan regu pelaksana satuan tugas untuk lebih berhati-hati.

Di pinggiran selatan Uni Soviet, regu pembunuh Jerman masih kesulitan membedakan Muslim dengan Yahudi.

Di Afrika Utara, Balkan, dan di Front Timur, tentara Jerman dihadapkan dengan populasi Muslim yang beragam, termasuk Muslim Roma dan Yahudi yang masuk Islam.

Baca Juga: Kisah Wilhelm Adalbert Hosenfeld, Orang Jerman yang Selamatkan ‘Pianis’ dari Kamp Konsentrasi dan Dihormati oleh Israel

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait