Penulis
Intisari-Online.com - Kisahnya tak banyak diketahui, ternyata pernah terjadi pertemuan udara antara pesawat tempur Australia dan Indonesia di langit Timor Leste, yang nyaris menyebabkan pertempuran udara mematikan.
Dilaporkan The Drive (2/12/2020), Kisah itu terungkap dalam wawancara pilot Indonesian Hawk, Henri Alfiandi, yang muncul di situs Mylesat Indonesia, situs yang meliput urusan pertahanan.
Peristiwa tak biasa telah terjadi beberapa dekade lalu, diduga pada 16 September 1999.
Itu adalah peristiwa yang berpotensi menyebabkan pertempuran udara yang mematikan antara pesawat tempur F / A-18 Hornet Australia dan pesawat tempur ringan British Aerospace Hawk yang diterbangkan oleh seorang pilot Angkatan Udara Indonesia.
Dikisahkan peristiwa itu terjadi pada puncak krisis Timor Timur 1999.
Saat itu, kekerasan meletus di Timor Leste setelah sebagian besar warga Bumi Lorosae memilih untuk merdeka dari Indonesia.
Setelah pemungutan suara kemerdekaan pada bulan Agustus 1999, milisi pro-Jakarta, yang didukung oleh pasukan keamanan Indonesia, meningkatkan serangan mereka terhadap warga sipil Timor.
Dilaporkan 2.600 orang tewas dalam periode tiga minggu, dan ribuan lainnya mengungsi.
Saat itu, keprihatinan internasional semakin meningkat.
Sementara Angkatan Udara Indonesia menempatkan jet tempur ke Timor Barat.
Juga kelompok tugas Angkatan Laut Indonesia yang berpatroli di perairan Timor Leste.
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengawasi referendum Timor Leste pun khawatir akan kemungkinan retribusi dari Indonesia dalam bentuk intervensi militer.
Henri mengenang ketika ia menerbangkan A-4 Skyhawk, jet serang subsonik generasi sebelumnya yang juga pernah digunakan dalam operasi anti-gerilya di Timor Leste.
“Itu adalah hari-hari Top Gun dan saya terbang dengan A-4, tidak mau kalah dengan F-16,” kenang Henri.
"Film Top Gun memengaruhi saya sebagai pilot tempur dan membuat saya bangga."
Jet F-16 saat ini adalah pesawat tempur udara-ke-udara paling mumpuni di Angkatan Udara Indonesia, tetapi pada tahun 1999, Henri telah ditempatkan di sebuah unit yang menerbangkan British Aerospace Hawk.
Hawk yang gesit dirancang sebagai jet latih, selain itu juga digunakan sebagai pesawat tempur ringan, dan diterbangkan oleh Indonesia dalam versi kursi tunggal dan dua kursi.
Pemindahan Hawks ke Indonesia sendiri merupakan sumber kontroversi besar di Inggris.
Para kritikus menyuarakan keprihatinan mereka bahwa jet-jet itu digunakan dalam peran tempur, meskipun pemerintah Inggris secara informal menjamin bahwa pesawat itu tidak akan digunakan untuk melawan orang Timor.
Meningkatkan kesiapan Angkatan Udara Indonesia untuk menanggapi situasi tegang di Timor Timur sejak September 1999, Kapten Henri dikerahkan ke Pangkalan Udara Kupang, di Timor Barat.
Pada saat itu, Henri menjelaskan, pangkalan itu menjadi tempat rotasi tiga jet Hawk selama dua minggu dan pilot diperintahkan untuk menembak jatuh pesawat tidak sah yang memasuki wilayah udara Indonesia.
Empat hari setelah tiba di Kupang, pada 16 September, Henri mengatakan dia ditugaskan dengan misi patroli udara tempur (CAP) rutin.
Pemimpin penerbangan untuk serangan mendadak itu adalah Kapten Azhar "Gundala" Aditama dengan nomor seri TT-1207 Hawk Mk 209 satu kursi.
Henri, yang kode panggilannya “Tucano,” berada di dua kursi Hawk Mk 109 TL-0501 bersama Anton “Tomcat” Mengko.
Kedua jet tersebut dilaporkan lepas landas sekitar pukul 09.00 untuk menerbangkan CAP di tenggara Flight Information Region (FIR), yang berbatasan dengan wilayah udara Australia di lepas pantai Darwin, di Northern Territory negara itu.
Misi Hawk dikoordinasikan menggunakan Ground Control Interception (GCI), melalui unit radar di Kupang yang dikomandoi oleh Mayor Lek Haposan.
Haposan-lah yang memberi tahu Azhar bahwa dua pesawat tak dikenal telah melintasi batas FIR Darwin pada ketinggian 8.000 kaki dan kecepatan 160 knot.
Menurut keterangan itu, operator radar kemudian meminta pemeriksaan penerbangan Hawk yang diduga helikopter, menuju Dili, ibu kota Timor Leste.
Henri meminta Azhar untuk menggunakan radarnya dan memverifikasi kecepatan kontak.
Hal itu karena dan kursi tunggal Hawk Mk 209 yang dibawa Azhar memiliki set pulse-Doppler AN / APG-66H, mirip dengan radar yang ditemukan pada F-16A / B, sedangkan dua kursi yang dinaiki Henri tidak memiliki radar
Azhar sang pemimpin penerbangan pun melaporkan bahwa kontak tersebut bergerak dengan kecepatan 150 knot, kemudian mencatat bahwa angka tersebut terus meningkat… 160, 170, 200 knot.
Pesawat tak dikenal itu selanjutnya berada pada jarak sekitar 80 mil dari Hawks.
“Mengetahui hal itu, saya langsung terbang tinggi dan mengambil posisi dogfight untuk melindungi Azhar karena saya tidak memiliki radar,” kenang Henri.
Kedua Hawk kemudian naik ke ketinggian 28.000 kaki, dan saat itulah jelas bahwabukan helikopter, melainkan jet tempur yang mendekat kepada mereka.
Pemimpin penerbangan memilih mode tempur untuk radarnya dan kemudian para pejuang tak dikenal itu berbalik langsung menuju Indonesian Hawks.
Saat kontak datang ke arah mereka, Henri menjelaskan bahwa Azhar mengidentifikasi mereka, meneriakkan “Hornet” melalui radio.
Sepasang RAAF F / A-18A / B Hornet diduga terbang dari RAAF Tindal, sebuah pangkalan di Northern Territory, di mana kehadiran pasukan tambahan RAAF dimaksudkan untuk mencegah Jakarta memulai eskalasi militer di Timor Timur.
Menurut Henri, Azhar mengunci setidaknya satu F / A-18 sebelum Henri memperingatkannya, "Kami belum menyatakan perang!".
Namun, saat itu tampaknya Hornets tidak memasuki wilayah udara Indonesia.
Kemudian Hornets berbelok kembali ke selatan menuju FIR Darwin sementara pasangan Hawk kembali ke Kupang, pertempuran pun tak terjadi.
Namun itu bukan satu-satunya pertemuan Hornets dan Hawk.
Begitu mendarat, Henri mengatakan dia memerintahkan awak darat di Kupang untuk menyiapkan Hawk Mk 209 yang dilengkapi radar untuk penerbangan lain, juga meminta pengisian bahan bakar.
Henri pun mengudara lagi, mengklaim dia segera memilih radar, tetapi ternyata itu tidak berfungsi.
Dia menghubungkan hal itu dengan tindakan penanggulangan elektronik yang jauh lebih canggih di Australian Hornet.
Baca Juga: Jangan Sampai THR Hanya Numpang Lewat, Ini Caranya Menjadi Smart Shopper saat Lebaran
Dikatakan, para pejuang Australia telah mendekati dalam jarak 20 mil dari jet Henri, ketika operator GCI yang tegang di Kupang meneriakkan instruksi kepadanya.
Saat itu, Henri justru menyadari bahwa tangki drop Hawk-nya tidak menyalurkan bahan bakar dengan benar, sehingga mengganggu pusat gravitasi jet dan memengaruhi penanganannya.
Sekali lagi, pertemuan mematikan antara Hawk dan Hornet dibatalkan, kali ini sebelum Henri melakukan kontak visual dengan jet Australia.
Henri kembali lagi ke Kupang, dan selama tiga hari berikutnya pilot Indonesian Hawk tetap waspada.
(*)