Penulis
Intisari-online.com - Tahun 2015, tepat 40 tahun invasi Indonesia ke Timor Leste, sempat diperiati di markas Pasukan Khusu Kopassus.
Menurut ABC News, prajurit Indonesia melakukan pertempuran itu setelah pendaratan di Dili pada 7 Desember 1975.
Setelah dilakukan pemboman angkatan laut, ratusan pasukan terjun payung Indonesia berjatuhan di Dili.
Konflik pun dimulai, perang gerilya terus terjadi sampai kemerdekaan Timor Leste diberikan.
Lebih dari 100.000 orang Timor Leste tewas dalam konflik tersebut, hingga akhirnya Indonesia memberikan referendum tahun 1999.
Perang ini dianggap kontroversial, dan disebut banyak pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Indonesia.
Namun, bagaimanapun juga hal itu adalah perang, di mana semua dipertaruhkan di dalamnya.
Pada perayaan itu, para tentara yang yang pernah diturunkan di Timor Leste, telah menjadi veteran mereka berusia 60-70 tahun.
Pada saat itu salah satu Jenderal yang juga menjabat sebagai menteri di Pemerintahan Indonesia, Luhut Pandjaitan menceritakan kisahnya saat bertugas di Timor Leste.
Dia adalah komando Kopassus di Timor Timur (Nama wilayah Timor Leste sebelum berganti nama).
"Empat puluh tahun lalu kami keluar untuk operasi di Timor Leste dari gedung ini, tentunya ada banyak kenangan," ujarnya.
Rafendi Jamin, direktur Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia Indonesia, adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mengetahui arti penting tanggal 7 Desember.
"Itu sama sekali bukan sesuatu yang diingat oleh masyarakat umum," katanya.
"Kami mencoba yang terbaik untuk menjalankan tugas kami," ungkap Luhut Pandjaitan.
Luhut Pandjaitan mengatakan dia dan rekan-rekannya di komando berpikir mereka melakukan hal yang benar dalam perang global melawan komunisme.
Itu adalah alasan mengapa TNI harus bersikap tegas saat melakukan penyerangan ke Timor Timur.
Pada bulan Desember 1975, ketika misi pasukan khusus dimulai melawan pemerintah sayap kiri Timor Timur.
Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger berada di Jakarta untuk berbicara dengan presiden Indonesia Suharto.
"Kissinger mengunjungi Jakarta sebenarnya memberi lampu hijau untuk operasi karena takut komunisme,"kata Panjaitan.
"Itulah brifing yang kami terima," pungkasnya.
"Jadi ketika keesokan harinya kami disalahkan, itu adalah politik, saya mempelajarinya," tambahnya.
"Kami disalahkan atas banyak hal saat kami mencoba yang terbaik untuk melaksanakan tugas kami," jelasnya.
Jarmin setuju bahwa pada tahun 1975, Indonesia memang sejalan dengan Barat.
Pemerintah Australia tidak keberatan dengan invasi tersebut.
"Itu benar-benar bagian dari Perang Dingin," katanya.
"Rezim anti-komunis Indonesia pada saat itu, pada tahun 1975, dengan senang hati bergabung dengan Australia dan Barat," jelasnya.