Al-Kindi, Filosof Muslim Arab Pertama, Miliki Ide Kesamaan Kebenaran Agama dan Filsafat yang Tidak Perlu Dipertentangkan

K. Tatik Wardayati

Penulis

Al-Kindi, filosof pertama berkebangsaan Arab.

Intisari-Online.com – Dianggap sebagai representasi awal dari sederetan filosof muslim yang muncul kemudian, Al-Kindi adalah orang Islam pertama yang muncul dengan gagasan-gagasan filsafat.

Dia juga merupakan filosof berkebangsaan Arab pertama, sehingga sering disebut sebagai Failasuf al-Arab.

Muncul dengan ide tentang kesamaan kebenaran antara agama dan filsafat, menurutnya tidak perlu ada pertentangan di antara keduanya.

Al-Kini sangat dikenal luas wawasannya. Dari filsafat, eksakta hingga kebudayaan dikuasainya.

Baca Juga: Kisah Omar Khayyam, Ilmuwan Matematika dan Sastrawan Persia, Temukan Tabel Astronomi dan Pecahkan Persamaan Kubik

Ilmuwan Barat, termasuk Geronemo Cardano (1501-1576) dan Roger Bacon (1214-1294), menilai Al-Kini sebagai seorang pemikir paling cerdik dalam sejarah dunia, pakar tanpa tandingan dalam bidang optik, filsuf jenius bangsa Arab.

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi.

Untuk membuktikan adanya Tuhan dengan jalan filsafat, ia memberikan argumen tentang baharu (fana)-nya alam ini.

Sementara gagasannya tentang jiwa, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa merupakan jauhar basith, yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari badan, serta substansinya adalah berasal dari substansi Allah Swt.

Baca Juga: Sejak Kecil Perlihatkan Kejeniusannya, Inilah Abdus Salam, Ilmuwan Pakistan Pertama Penerima Hadiah Nobel Bidang Fisika

Al-Kini dilahirkan di Kufah pada 800 M, dari kalangan bangsawan Irak, tepatnya dari suku Kindah.

Ia kemudian hidup di Basra dan meninggal di Baghdad pada 876 M.

Al-Kindi gemar mengkaji dan mempelajari filsafat Aristoteles.

Oleh karena itulah, dalam pemikirannya, terutama dalam bidang sains dan psikologi banyak dipengaruhi filosof Yunani kuno itu.

Beberapa karya filosof Yunani ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab (Cemill al-Hajj, Al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtima’I, Beirut).

Ibn al-Nadzim dan al-Qafthi menulis bahwa karya Al-Kindi ada sekitar 238 karya risalah.

Sa’id al-Andalusi menyebut karya al-Kindi sekitar 50 buah.

Sayangnya, sebagian besar karangannya tidak sampai kepada kita.

Karya-karya Al-Kindi tidak hanya satu aspek, akan tetapi meliputi filsafat, logika, musik, aritmatika.

Baca Juga: Dunia Astronomi Akui Sebagai Astronom, Inilah Kisah Abul Wafa, Cendekia Muslim Penemu Rumus Dasar Trigonometri dalam Matematika

Karya-karya itu kebanyakan karangan pendek (Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung, 2009).

Tidak hanya filsafat, Al-Kindi menulis banyak karya lain dalam berbagai bidang seperti Geometri, Astronomi, Astrologi, Aritmatika, Musik, Fisika, Medis, Psikologi, Meteorologi, dan Politik (Muhammad Lutffi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, Mesir, 1927).

Ibn Abi Usaibi’ah penulis Tabaqat al-Atibba’ mencatat Al-Kindi sebagai seorang dari empat penerjemah mahir pada era gerakan penerjemahan, selain Hunayn bin Ishaq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan al-Tabari.

Al-Kindi mengawali aktivitas intelektualnya di dua kota besar Irak, Kufah dan Basrah.

Ia menghafal Alquran, mempelajari tata bahasa Arab, Sastra, Matematika, Fikih, Ilmu Kalam.

Al-Kindi juga tertarik dengan ilmu filsafat setelah pindah ke Baghdad.

Karya-karya filsafat Yunani dikuasainya setelah ia menguasai bahasa tersebut.

Ia juga memperbaiki karya terjemahan bahasa Arab seperti Enneads-nya Plotinus oleh Al-Hims.

Kegiatan filsafat Al-Kindi yang berpusat di sekitar gerakan penerjemahan yang sudah dimulai dan didukung oleh khalifah Abbasiyah, yaitu Abu Ishaq Al-Mu’tasim bin Harun (833-842).

Baca Juga: Hafal Al-Quran di Usia 10 Tahun, Ibnu Sina Jadi Filsuf dan Ilmuwan yang Diagungkan Dunia Kedokteran Eropa Modern, Beginilah Perjalanan Hidupnya

Intelektualitas Al-Kindi diakui tidak hanya dunia timur, akan tetapi Barat juga mengapresiasi karyanya.

Beberapa karangannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geran, yang kemudian mempengaruhi tradisi keilmuan Eropa pada abad pertengahan.

Beberapa karya Al-Kindi baik yang ditulis sendiri atau oleh orang lain adalah Kitab Kimiya’ al-‘Ithr, Kitab fi Isti’mal al-‘Adad al-Hindi, Risalah fi al-Illah al-Failai al-Madd wa al-Fazr, Kitab al-Su’aat, The Medical Formulary of Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindi’s Metaphysics: a Translation fo Yaqub ibn Ishaq al-Kindi’s Treatise “On First Philosophy (Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung, 2009).

Masalah hubungan filsafat dan agama merupakan diskursus yang sangat ramai diperbincangkan pada zaman Al-Kindi.

Ulama-ulama ortodoks umumnya menolak keabsahan taori-teori filsafat, karena produk pemikiran filsafat melahirkan pertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam kondisi inilah Al-Kindi muncul dan memposisikan diri sebagai pembela filsafat dari serangan pihak yang tidak setuju.

Al-Kindi muncul dengan gagasan kesamaan kebenaran antara filsafat dengan agama, sehingga menurutnya tidak perlu dipertentangkan, karena pada keduanya membawa kebenaran yang sama.

Filsafat, menurutnya, adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang sesuai kadar kemampuannya, yang mencakup ilmu ketuhanan (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan semua ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Dari pembagian tersebut yang paling penting dan tinggi derajatnya adalah ilmu ketuhanan yag disebutnya sebagai filsafat pertama (al-falsafah al-‘ula), karena filsafat pertama merupakan ilmu yang membahas tentang kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’ l-awwal) yang merupakan sebab bagi semua kebenaran.

Dalam pandangan itulah Al-Kindi mengatakan bahwa mempelajari ilmu rububiyyah akan membuat seorang filosof lebih sempurna, karena pengetahuan seseorang tentang “sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat.

Baca Juga: Bukan Orang Barat, Faktanya Kamera Pertama Kali Dibuat Oleh Ilmuwan Muslim Bernama Ibnu Haitham, Beginilah Ihwalnya

Penekanan Al-Kindi tentang ilmu filsafat sebagai dasar pemikiran filsafat terletak pada pemanfaatan akal secara maksimal.

Agama bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal, meskipun dasar pijakan berfikirnya berbeda.

Menyangkut hal itu, Al-Kindi memberikan pemikirannya sebagai berikut: Sesungguhnya sabda orang yang benar, yaitu Nabi Muhammad saw dan apa yang disampaikannya dari Allah Swt dapat diketahui semuanya dengan (memakai) analogi akali (al-maqayis al-‘aqliyyah).

Hanya orang-orang yang tidak memiliki citra akal serta telah meletakkan diri pada kejahilan yang menolak ilmu falsafah.

Dari ungkapan ini, dapat dilihat konsistensi Al-Kindi dalam menempatkan filsafat dan penekanannya pada fungsi akal sebagai hal penting dari usaha memahami ajaran agama secara kaffah.

Namun perlu ditegaskan pula bahwa lahirnya filsafat dalam Islam tak lepas dari warisan kebudayaan non-Islam terutama unsur-unsur Helenisme.

Artinya bahwa tradisi berfilsafat Al-Kindi pun merupakan bawaan dari kebudayaan dimaksud.

Al-Kindi memang merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia timur.

Corak berfikir Al-Kindi bersifat ekletisisme, sehingga dalam corak berfikir filsafatnya terdapat unsur-unsur pikiran Aristoteles dan juga Plato.

Baca Juga: Ada Peranan Ilmuwan Muslim dan Sempat Disangka Angka Setan, Inilah Sejarah Angka 'Nol'

Unsur Aristoteles yaitu pembagian filsafat kepada teori dan amalan, sedangkan unsur Plato adalah defenisinya.

Namun, sebagaimana konsistensi Al-Kindi dalam proyek rekonsiliasi antara agama (Islam) dengan filsafat, dalam teori-teori filsafat yang jauh lebih praktis, Al-Kindi tidak secara instan menerima dan mengikuti pemikiran para filosof Yunani, melainkan menganalisis lebih dalam dan menyesuaikannya dengan doktrin agama.

Dalam membicarakan masalah kejadian alam, misalnya; Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi.

Ia tetap berkeyakinan bahwa alam adalah ciptaan Allah, yang diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada (creation ex nihilio).

Sebagai seorang muslim, Al-Kindi tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya.

Lebih dari itu, Al-Kindi termasuk ulama yang mempertahankan ajaran adanya kebangkitan jasmani setelah mati.

Manusia dibangkitkan tidak hanya ruhnya, tetapi juga jasmaninya (di akherat nanti).

Al-Kindi juga mendukung keyakinan tentang terjadinya mukjizat pada seorang Nabi atau Rasul, keabsahan wahyu Nabi, serta kepastian akan terjadinya hari kiamat (hari dihancurkannya dunia oleh Tuhan).

Menyangkut dengan hakikat Allah, Al-Kindi mengungkapkan bahwa Allah adalah wujud yang hak (al-iniyyah al-haqqah), yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya, yang selalu demikian wujudnya secara abadi. Ia selalu ada, dan selalu mustahil tidak ada.

Baca Juga: Abbas Ibn Firnas si Orang Pertama yang Bisa Terbang

Oleh karenanya Tuhan adalah wujud yang sempurna.

Bagi Al-Kindi, Tuhan adalah unik, ia hanya satu, dan tidak ada yang serata dengan-Nya.

Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq al-awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-wahid).

Selain dari-Nya mengandung arti banyak.

Soal sifat Tuhan yang juga ramai diperdebatkan di kalangan mutakallimun zaman itu, Al-Kindi tampaknya lebih cenderung pada mazhab Mu’tazilah yang lebih menonjolkan keesaan sebagai satu-satunya sifat Tuhan.

Al-Kindi memandang keesaan itu sebagai suatu sifat Allah yang khas.

Menurutnya, Allah itu esa dalam bilangan dan esa dalam zat.

Esensi-Nya tidak mengandung kejamakan, tidak ada sesuatu yang dapat menandingi dan menyerupai-Nya.

Allah itu azali yang tidak boleh tidak ada. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

Baca Juga: Ibnu Batutah, Cendekia Muslim yang Habiskan Waktunya Berkelana Keliling Dunia Bahkan Kalahkan Columbus, Sambil Sebarkan Agama Islam

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait