Penulis
Intisari-Online.com - Kontrak puluhan tahun Freeport dengan pemerintah Indonesia membuat tambang emas di Papua itu bak milik Amerika meski berada di wilayah Indonesia.
Terlebih, dengan kecilnya saham Indonesia di perusahaan tersebut, sejak 1967 hingga sebelum 2018 lalu, hanya sebesar 9,36 persen.
Sementara sisanya dimiliki perusahaan tambang Amerika Serikat Freeport McMoRan(FCX).
Baru pada akhir tahun 2018, kepemilikan Indonesia atas PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi 51 persen. Perubahan kepemilikan saham ini terjadi karena PT Inalum (Persero) resmi membeli sebagian saham PTFI.
Melansir Kompas.com (21/12/2018) Resminya pengalihan saham tersebut ditandai dengan proses pembayaran dan terbitnya Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK) PTFI yang telah berjalan sejak tahun 1967 dan diperbaharui di tahun 1991 dengan masa berlaku hingga 2021.
Kepemilikan 51.23 persen tersebut terdiri dari 41.23 persen untuk Inalum dan 10 persen untuk Pemerintah Daerah Papua.
Namun, pengalihan saham tersebut sempat diwarnai dengan perselisihan antara pemerintah Indonesia dan FCX, yang berbeda pendapat terkait masa berakhirnya KK di 2021.
Dikuasai oleh perusahaan asing selama puluhan tahun, bagaimana awal mula pertambangan di Kabupaten Mimika Papua itu jatuh ke tangan Amerika?
Mengutip VOAnews, Keterlibatan Freeport di Indonesia berawal dari masa pemerintahan Suharto, yang menandatangani lebih dari 250.000 hektar wilayah Papua Barat pada tahun 1967.
Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah Indonesia baru saat itu.
Karena sebagian dari sejarah itu, Freeport kemudian menjadi pemberi kerja tunggal terbesar di seluruh Indonesia.
Selain itu, perusahaan menikmati hubungan khusus yang rumit sebagai "organisasi kuasi-negara untuk Jakarta," seperti yang dirinci Inside Indonesia, selama era Suharto, tetapi hubungan itu mendingin di bawah presiden-presiden yang dipilih secara demokratis, kata VOANews.
Di awal masa orde baru, ekonomi Indonesia terbilang masih karut-marut. Meletusnya peristiwa G30S dan huru-hara di sejumlah daerah pasca-peralihan kekuasaan membuat situasi ekonomi tidak stabil.
Salah satunya adalah inflasi yang mencapai 600-700 persen yang ditandai dengan meroketnya harga kebutuhan pangan.
Pembangunan infrastruktur pun terhenti saat itu. Karenanya, Presiden Soeharto bergerak cepat melakukan stabilisasi ekonomi, termasuk membuka keran investasi bagi Freeport.
Mengutip Kompas.com, Penandatanganan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat tersebut dilakukan di Departemen Pertambangan Indonesia.
Ketika itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan Freeport Sulphur.
Penandatanganan KK disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun itu terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan.
Sebelum kontrak berakhir, pada tahun 1991, pemerintah Indonesia kemudian mengizinkan Freeport terus menambang di Papua untuk jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga tahun 2021 dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 kali 10 tahun.
Tambang Grasberg di Kabupaten Mimika Papua sendiri merupakan tambang emas terbesar di dunia.
Bahkan selain emas, di tambang tersebut terdapat pula tembaga dan perak.
Diperkirakan total kekayaan di Tambang Grasberd bernilai lebih dari 150 miliar dollar AS atau Rp 2.190 triliun.
PTFI sendiri adalah salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Dilakukan pada Bulan Puasa, Serbuan Militer Mesir Operation Badr Sempat Bikin Israel Kocar-kacir
Data tahun 2017 menunjukkan kontribusi PTFI ke Indonesia dari pajak, royalti, pajak ekspor, dividen, dan pungutan lainnya sebesar 756 juta dollar AS.
Sementara itu, dengan 10 persen dimiliki oleh Pemerintah Daerah Papua. Disebut, masyarakat Papua bisa merasakan manfaat langsung dari sumber daya alam-nya.
Selain itu, PTFI memiliki kapasitas untuk menyediakan 29 ribu lapangan pekerjaan.
Hingga Maret 2018, jumlah karyawan yang secara langsung direkrut oleh PTFI adalah 7.028. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.888 karyawan adalah orang Papua.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini