Penulis
Intisari-Online.com - Hasil perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu bagian penting menuju pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949.
Dengan dihasilkannya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda melalui perundingan ini, Indonesia semakin dekat dengan pengakuan kedaulatan, menyelesaikan konflik yang berlangsung empat tahun.
Seperti diketahui, setelah proklamasi dikumandangkan, Indonesia harus kembali berjibaku untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Saat itu, Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.
Berbagai upaya dilakukan Indonesia untuk menyelesaikan konflik ini, salah satunya melalui jalur diplomasi.
Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu upaya diplomasi tersebut, setelah Perjanjian Renville tahun 1948 dilanggar dengan Agresi Militer Belanda II. Belanda juga menangkap dan menawan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Moh Hatta.
Langkah Belanda itu dikecam dunia, kemudian United Nations Commission for Indonesia (UNCI) PBB membawa perwakilan kedua negara ke dalam perjanjian Roem-Royen.
Pemimpin delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut adalah Mohammad Roem, yang namanya juga diambil sebagai nama perjanjian ini.
Melansir Tribunnewswiki, Mohammad Roem merupakan seorang diplomat dan salah satu pemimpin Indonesia pada masa kolonial.
Ia lahir di Parakan Temanggung pada 16 Mei 1908 dan meninggal dunia pada 24 September 1983 di Jakarta.
Mohammad Roem melewati masa kecil di dua tempat yakni Parakan pada 1908-1919 dan Pekalongan pada 1919-1924.
Pada saat itu Mohammad Roem pindah ke Pekalongan ketika Parakan terkena wabah penyakit menular.
Semula, kepindahan di Pekalongan hanya sementara, namun karena sang ayah meninggal dunia, akhirnya Mohammad Roem memutuskan untuk tinggal di Pekalongan bersama kakak perempuannya.
Sosok yang di kemudian hari menjadi diplomat top Indonesia ini menempuh pendidikan dasar di Sekolah Desa (Volkschool) pada 1915.
Kemudian melanjutkan di Hollands Inlandshe School (HIS) Temanggung sampai kelas 3 pada 1917-1929, dan melanjutkan pendidikannya di Pekalongan dari 1919 hingga 1924.
Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS Pekalongan, Mohammad Roem mendapat beasiswa dan melanjutkan pendidikannya di STOVIA.
Namun Mohammad Roem tidak sempat menyelesaikan pendidikannya, karena saat itu STOVIA dihapuskan pada 1927.
Murid STOVIA kemudian melanjutkan pendidikan ke Algemene Middelbare School (AMS). Ia lulus dari AMS pada 1930.
Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS, Mohammad Roem melanjutkan pendidikan ke Geneeskundigie Hoogeschool (GHS) atau sekolah tinggi kedokteran di Jalan Salemba selama dua tahun, tetapi tidak lulus setelah melewati dua kali ujian.
Kemudian Mohammad Roem melanjutkan pendidikan ke Rechts Hoogeschool (RHS) di Batavia dan berhasil mendapat gelar Meester in de Rechten atau sarjana hukum pada 1939.
Pada saat itu, Mohammad Roem menjadi pengacara yang banyak membela rakyat kecil.
Dalam karier pilitiknya, Mohammad Roem pernah menjadi Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan Mendagri ketika Soekarno menjabat sebagai presiden.
Jong Java (Pemuda Jawa), merupakan tempat ia memulai sepak terjangnya di dunia politik, yaitu pada tahun 1924 dia bergabung menjadi anggota organisasi ini.
Selanjutnya pada 1925, dia bergabung dengan JIB (Jong Islamieten Bond) dan membentuk organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderiji/ Natipij). Roem menjadi ketua organisasi Pandu Indonesia.
Saat itu Mohammad Roem tertarik kepada Partai Sarekat Islam Indinesia (PSII). Kemudian bergabung dengan partai tersebut, dilanjutkan dengan partai Masyumi (majelis syura muslimin Indonesia).
Tahun-tahun menjelang kemerdekaan Indonesia, ketika Jepang menduduki Indonesia, Mohammad Roem dipercaya menjadi Ketua Muda Barisan Hizbullah di Jakarta.
Sebelum mewakili Indonesia dalam perundingan Roem-Royen, dia menjadi anggota delegasi Indonesia pada perundingan Linggarjati pada 1946 -salah satu upaya diplomasi Indonesia yang juga masih gagal menyelesaikan konflik dengan Belanda.
'Roem' diambil untuk nama perjanjian yang dilaksanakan di Hotel Des Indes, Jakarta, bersama nama delegasi Belanda Herman van Roijen ('Royen').
Perundingan yang dimulai pada 14 Mei 1949 dan ditandatangani pada 7 Mei 1949 itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, yang salah satunya agar Indonesia dan Belanda mengupayakan dengan segera dan turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Perundingan Roem-Royen sendiri berlangsung alot. Bahkan, membuat dihadirkannya Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka atas usul UNCI.
Tapi bagaimanapun, perundingan itu akhirnya berhasil mencapai kesepakatan dan membuat Indonesia lebih dekat dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda.
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 setelah digelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini