Penulis
Intisari-online.com -Berbicara mengenai Timor Leste, Indonesia selalu terpojok dan tersalahkan.
Hal ini tidak luput karena tuduhan dunia atas Indonesia sebagai negara agresor yang menganeksasi Timor Leste.
Tudingan pelanggaran HAM sampai genosida di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto menjadi sejarah kelam negeri ini di dunia internasional.
Mengutip Antara, tahun 1999, banyak media terutama media asing yang cenderung berbohong dan menyudutkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Indonesia sendiri.
Media asing menyoroti tindakan pelanggaran HAM yang dikabarkan dilakukan Indonesia, padahal sumbernya hanyalah kabar simpang siur dan gosip saja.
Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang menjabat Panglima Penguasa Darurat Militer (PDM) Timor Leste saat itu melihat sendiri perbedaan antara fakta di lapangan dan pemberitaan media-media asing.
Kiki kemudian membongkar kebohongan-kebohongan yang menyudutkan Indonesia itu melalui bukunya "Timor Timur - The Untold Story", terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2013.
"Pascareformasi, terutama dalam urusan Timor Timur, TNI maupun pemerintah sangat tidak berdaya menghadapi perang opini," tulis Kiki di bagian prolog buku.
Kiki Syahnari lulus dari Akademi ABRI tahun 1971, kemudian ia ditugaskan pada Komando Daerah Militer XVI/Udayana yang saat itu meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Kegembiraannya sedikit pupus karena akhir tahun 1974 ia ditugaskan di Komando Distrik Militer Atambua, Pulau Timor, tidak jauh dari perbatasan Indonesia dan Timor Portugis (nama Timor Leste saat itu).
Kiki datang ke Atambua di tengah puncaknya konflik di Timor Portugis, saat itu dikabarkan jika konflik di Timor Portugis memburuk maka ABRI akan masuk ke wilayah itu didukung Amerika Serikat dengan alasan kemanusiaan.
Peristiwa Motain 14 September 1975
Kiki menceritakan kebijakan dekolonisasi Pemerintah Portugal di Timor Portugis menghasilkan tiga partai politik utama: Uniao Democratica de Timorense (UDT) berhaluan merdeka tapi menginduk pada Portugal, Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) berhaluan merdeka penuh, serta Associacao Social Democratico de Timor (ASDT) yang berubah menjadi Associacao Popular Democratico de Timor (Apodeti) berhaluan politik integrasi dengan Indonesia.
Apodeti menjadi parpol terkecil di antara ketiga parpol tersebut.
Pertengahan tahun 1975 UDT memproklamasikan kemerdekaan Timor Portugis sesuai dengan haluan politik mereka, sebelum diadakan pemilu.
Fretilin yang merupakan parpol terbesar kedua pun berang dan menyatakan proklamasi tandingan.
Hal itu segera memicu konflik bersenjata atau perang saudara antara UDT dan Fretilin, dan menimbulkan gelombang pengungsian rakyat Timor Portugis ke wilayah Indonesia.
Fretilin memiliki keunggulan persenjataan, sehingga UDT akhirnya kewalahan melawan mereka.
Kemudian puncaknya adalah pertempuran Motaain, fase kontak senjata terhebat antara UDT dan Fretilin yang terjadi di daerah perbatasan.
Saat konflik bersenjata tersebut, terjadi perpecahan militer, Gubernur Lemos Pires yang saat itu menjabat melarikan diri ke Pulau Atauro.
Kemudian pimpinan militer dan anggota lain yang bagian dari tentara kolonial Portugal juga melarikan diri ke Portugal lewat Dili.
Tentara berdarah pribumi Timor memilih bergabung dengan kelompok politik yang ada, mayoritas memilih Fretilin.
Kekuatan Fretilin semakin besar, Kiki menceritakan berbagai operasi khusus dikirimkan oleh Indonesia untuk menanggulanginya.
Operasi Kikis adalah salah satunya.
"Operasi Kikis adalah operasi pagar betis gabungan pada tahun 1981 yang melibatkan beberapa satuan TNI (Angkatan Darat, Marinir, Paskhas) dan wanra (kekuatan rakyat) dalam upaya melumpuhkan gerakan Fretilin di Timor Timur," tulis Kiki di Bab 2 'Menjadi Wandayon 744' halaman 73.
Operasi Kikis dinilai mengurangi kekuatan fisik Fretilin, tapi menurut Kiki, aspek moral dan semangat juang Fretilin masih sama dan ia menyayangkan Mabes ABRI yang tidak mengindahkan hal tersebut.
Dukungan operasi militer dari Jakarta pun berkurang drastis, menyebabkan aksi gerilya Fretilin meningkat, dan berulang kali menyerang pos-pos TNI yang lengah.
Akibatnya, di wilayah Timor Leste yang luas dan kekuatan TNI/Polri yang tidak memadai bahkan Kopassus pun masih kurang, akhirnya pasukan Indonesia pun kewalahan.
Kiki sempat meninggalkan Timor Leste pada tahun 1983 karena ditugaskan mengikuti Kursus Lanjutan Perwira (Suslapa) di Bandung.
"Sesungguhnya saya benar-benar tidak nyaman menerima tugas itu karena harus meninggalkan Timor Timur dalam keadaan tidak menentu. Kekuatan Fretilin disinyalir kembali membesar dengan 'menghilangnya' dua peleton hansip bersenjata dan bergabung dengan kelompok Fretilin," tulisnya pada Bab 3 'Tugas Operasi Berbagai Danyon 514/Kostrad' halaman 119.
TNI juga menyayangkan proses kontak damai setelah Operasi Kikis gagal terlaksana.
Namun Kiki kembali ditugaskan di Timor Leste tahun 1993 untuk menjabat Wakil Komandan Korem 164/Wira Dharma yang bermarkas di Dili.
Operasi-operasi pun diluncurkan untuk mengepung Fretilin, salah satunya pengepungan gunung Builo.
Namun Kiki ragu atas operasi tersebut, karena tidak ada informasi akurat jika ada pergerakan Fretilin di sana.
Saat ia menanyakan sumber informasi, dijelaskan jika operasi itu hasil dari penyadapan radio berbahasa Portugis, dan penerjemah warga Timor Leste menjelaskan kelompok Fretilin mempunyai basis kekuatan di gunung itu.
Saat Kiki masih mendesak informasi yang lebih akurat, ia disemprot oleh Komandan Sektor Kolonel Rudy Mokoginta, tapi ternyata upaya TNI sia-sia karena di gunung tersebut tidak ada himpunan kekuatan Fretilin.
Akhirnya setelah 14 bulan beroperasi di Timor Leste, Desember 1998 Kiki beserta pasukan Batalyon 514 bersiap ditarik kembali ke Bondowoso, dan mereka digantikan oleh Batalyon 328 yang dipimpin Mayor Prabowo Subianto.
Kiki kemudian masih kembali ke Timor Leste menjabat sebagai Wakil Komandan Korem (Wadanrem) 164/Wira Dharma, bermarkas di Dili, Timor Leste, sementara Komandan Korem atau Danremnya adalah Kolonel Johny Lumintang.
"Harus diakui, banyak perubahan positif yang terjadi di era kepemimpinan Kolonel Johny Lumintang, antara lain dan yang paling signifikan perubahan orientasi dan paradigma TNI terhadap hak asasi manusia (HAM)," tulis Kiki di Bab 4 'Menjadi Wadanrem dan Danrem' halaman 157.
Ia menjelaskan pasca peristiwa Santa Cruz 1991, TNI dianggap institusi yang paling sering bersentuhan dengan berbagai pelanggaran HAM di Timor Leste.
Namun evaluasi menghasilkan jika doktrin TNI di tingkat operasional lapangan masih menjunjung tinggi HAM.
Hal itu juga diakui oleh Palang Merah Internasional (ICRC) yang awalnya menganggap TNI di Timor Leste serba negatif tapi pandangan berubah setelah evaluasi dilakukan oleh Kolonel Johny Lumintang.
Namun TNI mendapat fitnah yang mengatakan menyiksa tahanan yang tertangkap sampai memotong telinga tahanan dan membuangnya.
Kiki bersama pasukan TNI berupaya keras menjaga nama baik TNI dan menjauhkan kesan pelanggaran HAM dari TNI.
Selanjutnya keadaan memburuk lagi setelah Presiden Soeharto disebutkan Kiki menolak status otonomi khusus untuk Timor Leste, dan kemudian dilanjutkan oleh Presiden B.J. Habibie yang membuka pintu referendum di Timor Leste tahun 1999.
Habibie dinilai menerapkan politik "cuci tangan" dan mengambil jalan pintas berupa referendum.
Ada juga yang menilai mendiang Presiden tersebut terobsesi memperoleh citra seorang demokrat sejati di forum internasional.
Keadaan memburuk, demontrasi dan kerusuhan terjadi di seluruh wilayah Timor Leste pada 4 September 1999 dan hanya Polri saja yang ditugasi menyelesaikan masalah tersebut.
Polri kewalahan, akhirnya TNI diputuskan kembali mengambil alih komando pengendalian keamanan dan kemudian status Darurat Militer di Timor Leste ditetapkan Habibie.
Kemudian PBB pun juga mengirimkan misi khusus ke Timor Leste untuk mengorganisasi dan mengawasi proses persiapan dan pelaksanaan referendum.
Namun mencurigakannya, misi PBB tidak melibatkan staf lokal satupun, disebutkan oleh Kiki.
Kiki juga curiga dengan pemimpin misi PBB tersebut, Ian Martin, yang menyebut kondisi kota Dili mengancam meskipun sudah cukup tenang.
Martin juga menuduh Indonesia menunggangi misi PBB itu, menyebut milisi bersenjata mengganggu proses referendum.
Kiki lantas kecewa berat dengan misi PBB terutama Ian Martin yang menyebarkan berita bohong tentang Indonesia dan merilisnya ke media asing, terutama media Australia.
Itulah penyebab mengapa nama TNI dan Indonesia tercoreng saat menertibkan Timor Leste pasca referendum.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini