Penulis
Intisari-Online.com -Pada 30 Agustus 1999, hampir 80 persen rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia.
Referendum yang didukung PBB itu mengakhiri konflik berdarah sekaligus mengakhiri kependudukan mereka sebagai Warga Negara Indonesia.
Memberikan jalan bagi rakyat Timor Leste untuk meraih kemerdekaan.
Dilansir dari AFP via Kompas.com, pendudukan Timor Leste memantik aksi penindakan memilukan selama 24 tahun yang menelan nyawa 250.000 baik karena perang, kelaparan, hingga penyakit.
Namun kegembiraan berubah menjadi duka setelah militer Indonesia dan milisinya menyerbu dengan menghancurkan infrastruktur mereka, serta memaksa ratusan ribu orang mengungsi, dan membunuh 1.400 orang.
Timor Leste, negara yang sebagian besar dari 1,3 juta penduduknya memeluk agama Katolik, baru diakui secara internasional tiga tahun setelah pemungutan suara.
Meski cukup lama Timor Leste merdeka dari Indonesia, rupanya Indonesia tak bisa benar-benar 'melepaskan' negara tersebut.
Mengenai hal ini, ada sebuah artikel Inter Press Service (IPS) yang membahasnya pada artikel tertanggal 28 Juni 2002 berjudulEAST TIMOR: For Indonesia, Separation Still Hard to Accept.
Pemerintah Indonesia masih menuntut atas apa yang dikatakan sebagai asetnya di Timor Timur.
Hal itu mungkin mencerminkan bahwa Indonesia sulit dalam menerima bahwa wilayah yang pernah dikuasainya saat ini telah menjadi negara yang baru lahir, berdiri di atas kakinya sendiri.
Tapi kritikus mengatakan lebih dari itu.
Menjelang kunjungan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao ke Indonesia pada 2 Juli 2002, ada yang menyebutnya sebagai upaya sengaja untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari tanggung jawab Indonesia atas pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, termasuk kekerasan yang terjadi setelah kemerdekaan 1999 suara.
Dalam pertemuan pada pertengahan Juni 2002 lalu, delegasi Indonesia kembali menyampaikan kepada para pejabat Timor Leste bahwa Indonesia ingin serius membicarakan klaim asetnya yang dibangun di Timor Leste.
Bahkan sebelum Timor Leste secara resmi merdeka pada bulan Mei, Indonesia telah menuntut agar diizinkan untuk menurunkan tim.
Tim itu diturunkan untuk menghitung nilai aset yang dikatakan telah dibangun Indonesia selama 24 tahun menjalankan wilayah Timor Leste.
Ini termasuk infrastruktur publik seperti jalan, gedung perkantoran, fasilitas listrik dan kabel telekomunikasi dan aset pribadi.
Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu Hassan Wirajuda mengatakan masalah ini adalah masalah utama yang akan dinegosiasikan dengan Timor Leste.
Indonesia telah beberapa kali melakukan pembicaraan dengan Otoritas Transisi PBB di Timor Leste, tetapi sejauh ini belum ada hasil, katanya.
Tetapi beberapa di sini mengatakan klaim seperti itu tidak masuk akal.
Dengan alasan, bahwa Indonesia telah menciptakan lebih banyak kerusakan di Timor Leste, termasuk nyawa yang hilang dan masyarakatnya yang hancur, daripada memberikan aset kepada Timor Leste.
“Jika Indonesia harus membayar Belanda atas asetnya di negara tersebut, kita tidak akan punya banyak sisa sekarang,” kata Taufan, koordinator program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), sebuah LSM yang berbasis di Jakarta dengan catatan advokasi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
“Ini upaya para politisi untuk menghindari pertanggungjawaban pertanyaan tentang pelanggaran HAM (di Timor Timur) dengan cara memutarbalikkan opini masyarakat ke isu yang kurang penting,” tandasnya. “Tuntutan seperti itu memalukan karena menunjukkan sikap kolonial di kalangan politisi Indonesia.”
Para aktivis mengatakan bahwa pembantaian tahun 1999 oleh milisi pro-Indonesia merugikan Timor Leste hingga empat juta dolar AS, menurut perkiraan media Indonesia.
Pembantaian ituterjadi pada hari-hari dan minggu-minggu setelah pemungutan suara kemerdekaan.
Sebagian besar prasarana dan fasilitas Timor Leste rusak atau menjadi tidak berguna setelah kekerasan terjadi.
Biaya ini, kata para kritikus, bahkan tidak termasuk semua kerusakan dan ketertinggalan yang harus ditanggung Timor Leste selama 24 tahun terakhir di bawah pemerintahan Indonesia.
Meskipun Indonesia saat itu sedangn menggelar persidangan di Jakarta terkait dengan kekerasan 1999, pengamat internasional telah menyalahkan Indonesia karena kurangnya transparansi.
Aktivis HAM menginginkan pengadilan internasional sebagai alternatif jika pengadilan gagal menghadirkan keadilan.
Klaim Indonesia untuk meninggalkan aset di Timor Leste dapat dianggap oleh beberapa orang sebagai dengki.
Bagaimanapun, pemisahan Timor Timur adalah yang pertama kali sejak kemerdekaan Indonesia dari Belanda pada tahun 1945 - disusul dengan aneksasi Papua Barat pada tahun 1961 dan Timor Timur pada tahun 1974 - yang kehilangan sebagian wilayahnya.
Propaganda nasionalisme selama puluhan tahun oleh negara telah meninggalkan, hingga saat ini, banyak perasaan negatif terhadap kemerdekaan Timor Timur.
“Berbeda dengan Indonesia, Timor Timur bukan lagi tempat yang baik,” kata Tamadi, petani berusia 50 tahun yang menjadi sopir taksi dari Jawa Tengah.
"Ada perang di sana dan orang-orang menderita," katanya.
“Itu karena Xanana Gusmao yang ingin Timor Timur lepas dari Indonesia. (Presiden) Habibie juga harus disalahkan karena membiarkan itu terjadi, ”lanjutnya.
Taufan mengakui, ada juga kalangan berpendidikan tinggi yang berpikiran serupa.
Alasan utamanya, menurutnya, adalah kurangnya informasi selama bertahun-tahun yang menghalangi mereka untuk menganalisis secara kritis propaganda Jakarta.
“Anggota DPRD di Kalimantan baru-baru ini bertanya kepada saya mengapa organisasi saya harus membantu orang Timor,” kenangnya. “Tapi mereka mengerti ketika saya menjelaskan tentang kasus pelanggaran hak dan fakta sejarah bahwa nenek moyang kita tidak pernah mengambil Timor Timur sebagai bagian dari koloni Belanda untuk diubah menjadi Indonesia.”
Meski begitu, dia mengatakan kebanyakan orang Indonesia menerima perubahan di Timor Leste.
“Anda bisa melihat banyak orang Timor di Indonesia, tapi kami tidak pernah mendengar bahwa mereka diganggu oleh orang Indonesia,” tandasnya.
Yang lain mengatakan Indonesia memiliki masalah yang lebih besar untuk ditangani.
“Saya tidak tahu banyak tentang Timor Leste,” kata Malvi, 27 tahun, pekerja kantoran. “Tapi ada banyak hal yang harus kita perhatikan sekarang. Pemerintah harus memikirkan bagaimana menghentikan kenaikan biaya hidup dan memberantas kejahatan daripada bertengkar dengan orang Timor,” katanya.
Tetapi bagi banyak politisi, Timor Leste masih jauh dari cerita yang selesai.