Penulis
Intisari-Online.com -Detik-detik pasukan Fretilin memohon bantuan Australia saat pasukan Indonesiamenyerbu ibu kota Timor Leste, Dili, 45 tahun silam.
Sebuah peristiwa berdarah terjadi hari-hari berikutnya di tahun 1975 tersebut, ribuan warga tewas, saksi melaporkan.
Itulah ringkasan dari sebuah artikel yang pertama kali diterbitkan di The Sydney Morning Herald pada 8 Desember 1975.
Pasukan terjun payung, marinir menyerang Timor Timur: pasukan Fretilin melarikan diri.
Banyak yang terbunuh saat Dili jatuh.
Pasukan pro Indonesia, yang didukung oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut Indonesia, merebut ibukota Timor Portugis, Dili.
Pasukan Fretilin melarikan diri ke perbukitan di luar ibu kota, dari sana mereka berencana untuk melakukan perang gerilya.
Permintaan bantuan radio yang dipantau di Darwin kemarin pagi mengatakan wanita dan anak-anak ditembak di jalanan.
Pesan-pesan tersebut, yang diidentifikasi berasal dari anggota Komite Sentral Fretilin, mengatakan pasukan terjun payung dan marinir Indonesia memimpin invasi fajar.
Tetapi Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, mengatakan di Jakarta bahwa pasukan pro-Indonesia menangkap Dili dan kemudian mengundang pasukan Indonesia untuk membantu mereka memulihkan keamanan.
Adam Malik mengklaim bahwa pasukan Fretilin telah membunuh banyak wanita dan anak-anak yang telah membantu pasukan Apodeti dan UDT (Persatuan Demokrat Timor) pro-Indonesia selama invasi.
Tetapi dalam salah satu pesan radio yang terdengar di Darwin, juru bicara Fretilin memohon: "Kami akan dibunuh ... Lakukan sesuatu, lakukan sesuatu."
Di Canberra kemarin, Menteri Luar Negeri, Mr Peacock, mengatakan Pemerintah Australia "sangat menyesali" jalannya peristiwa yang terjadi di Timor Leste.
Dan mantan Perdana Menteri, Mr Whitlam, mengatakan yang terbaik yang sekarang bisa diharapkan adalah pendekatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Pemerintah di wilayah tersebut untuk mendukung program dekolonisasi yang diperbarui.
New York Agreement
Setelah upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan konflik tidak kunjung berhasil, Indonesia kemudian membawa masalah konflik Timor Timur ke PBB setelah melakukan perundingan dengan Portugal.
Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim.
Perjanjian tersebut dikenal sebagai New York Agreement.
PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.
Setelah membentuk UNAMET pada 11 Juni Juni 1999, Dewan Keamanan PBB juga menetapkan resolusi 1246, yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menggelar referendum.
Dengan resolusi tersebut, PBB pun membentuk misi UNAMET untuk mengawal referendum yang akan segera digelar.
Hasilnya seperti kita tahu, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus.
Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.