Find Us On Social Media :

Kisah Hazel Ying Lee, Pilot Wanita Keturunan China-Amerika pada Perang Dunia II yang Melanggar Batas Budaya, Namun Tak Pernah Diakui Perannya

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 4 Februari 2021 | 13:35 WIB

Hazel Ying Lee, pilot pertama China-Amerika pada Perang Dunia Kedua.

Intisari-Online.com – Sosok pilot menjadi bagian terpenting dalam setiap kisah Perang Dunia II, sayangnya kisah tentang pilot wanita dianggap tidak ada perannya.

Namun, nama Hazel Ying Lee tetap menjadi sosok yang tidak jelas dalam sejarah Angkatan Udara Amerika Serikat, meski perannya sebagai pilot wanita patut diberi penghargaan.

Ia lahir dalam keluarga China-Amerika pada tahun 1912 di Portland, Oregon.

Hazel memiliki impian untuk terbang sejak masa kanak-kanaknya, meskipun banyak rintangan yang melawannya.

Baca Juga: Kisah Amelia Earheart, Pilot Wanita yang Hilang Saat Tengah Pecahkan Rekor, Lebih dari 80 Tahun Kasusnya Jadi Misteri

Pertama, dia adalah seorang wanita. Wanita dianggap tidak cocok untuk menjadi pilot, di masa sebelum perang, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum.

Kedua, keturunan Tionghoa membuatnya sulit untuk bermimpi besar.

Setelah lulus tahun 1929, Hazel bekerja sebagai operator lift di sebuah supermarket di kota kelahirannya.

Ketika itu, hanya sedikit pekerjaan yang bisa dilakukan oleh wanita keturunan China-Amerika, karena tidak lazim bagi wanita Asia untuk bekerja.

Baca Juga: Terinspirasi 'Top Gun', Misa Matsushima jadi Pilot Jet Tempur Pertama Jepang, Ini Pesawat Canggih yang Dikemudikannya

Lalu, dia bergabung dengan Chinese Flying Club of Portland, tempatnya belajar terbang dari penerbang terkenal, Al Greewood, hingga ia memiliki lisensi pilot.

Tahun 1932, kurang dari 1% pilot di AS adalah wanita, dan Hazel dengan bangga mengatakan bahwa dia adalah salah satunya.

Tahun itu, Kekaisaran Jepang menginvasi Manchuria.

Meskipun ada seruan dari Liga Bangsa-Bangsa untuk menghentikan operasi militer mereka yang dianggap sebagai pendudukan tidak sah, Jepang terus melakukan penetrasi lebih dalam ke wilayah Tiongkok, menduduki provinsi Jehol pada tahun berikutnya.

Hazel merasakan komitmen untuk membantu tanah leluhurnya itu.

Ia pun mencoba bergabung dengan Angkatan Udara China pada 1933.

Namun, orang China tidak tertarik dengan ide seorang pilot wanita.

Hazel akhirnya bekerja dalam administrasi militer Tiongkok sambil sesekali terbang untuk maskapai penerbangan komersial di Nanjing.

Tahun 1937, Hazel ketika itu tinggal di Kanton, ketika Jepang mulai menyerang dari udara secara besar-besaran dengan menargetkan warga sipil Tiongkok.

Baca Juga: Mary Ellis, Pilot yang Pernah Terbangkan 47 Pesawat Pembom pada PD II Meninggal di Usia 101 Tahun

Ketika itulah, Pembantaian Nanjing terjadi.

Setelah menyaksikan kengerian invasi yang dilakukan Jepang, Hazel memutuskan kembali ke Amerika.

Lalu ia bekerja untuk pemerintah Tiongkok, yang membeli bahan perang untuk tanah airnya yang sedang dlanda perang.

Akhirnya, perang mencapai Amerika. Pada tahun 1941, setelah pemboman Pearl Harbor, Angkatan Udara AS, menyadari bahwa mereka membutuhkan setiap pilot yang mampu untuk bertempur.

Permintaan pilot tempur pun terbuka bagi perempuan untuk berpartisipasi.

Women’s Auxiliary Ferrying Squadron (disingkat WFTD) dibentuk pada musim gugur 1942.

Hazel segera melamar dan menyelesaikan pelatihan, menjadi salah satu dari dua wanita China-Amerika (yang lainnya adalah Maggie Gee), dari jumlah 1074 pilot.

Setelah pelatihan, WFTD diubah menjadi WASP - Pilot Layanan Angkatan Udara Wanita.

Mereka dipercaya untuk menarik target udara dan drone yang digunakan untuk latihan oleh kru pertahanan AA dan pilot tempur.

Baca Juga: Pilot Wanita Ini Sungguh Cantik, Bikin Netizen Kagum Bukan Main!

Meski para wanita ini menerbangkan pesawat militer, namun mereka dianggap pilot sipil karena gaji pegawai negeri.

Mereka juga tidak diberi keuntungan militer, harus membayar sendiri akomodasi, makanan, dan seragam mereka, dan mereka dibayar lebih rendah dari rekan pria.

Meskipun para wanita telah menjalani pelatihan yang sama dengan rekan pria mereka, mereka tidak dipercaya oleh atasan mereka dan harus membuktikan nilai mereka.

Mereka dikirim pada apa yang disebut misi "Sisa Semalam" dan perjalanan musim dingin dengan pesawat kokpit terbuka.

Jam kerja mereka melelahkan dengan tujuh hari kerja dalam seminggu, tetapi peran mereka sangat penting untuk menjaga agar mesin mesin perang Sekutu tetap berjalan.

Hazel dipindahkan ke Grup Feri ketiga di Romulus, Michigan.

Di sana ia mengirimkan pesawat yang diproduksi di pabrik mobil untuk dikirim ke medan perang Eropa dan Pasifik.

Saat waktu luang yang sedikit,  Hazel sering membuat lelucon dan memperkenalkan budaya dan masakan China kepada rekan-rekan pilotnya.

Selama dinasnya, Hazel mengalami dua pendaratan paksa.

Baca Juga: Biasa Terbangkan Jet Tempur, Alasan Pilot Wanita Ini Sukses Daratkan Pesawat Komersil dengan Satu Mesin Hancur

Pilot keturunan Cina-Amerika itu mendarat di ladang gandum di Kansas ketika pesawatnya tidak berfungsi.

Dia disambut oleh seorang petani yang marah bersenjatakan garpu rumput. Petani itu yakin bahwa Hazel adalah bagian dari invasi Jepang, karena tampang Asianya.

Petani itu mengejarnya di sekitar pesawat yang rusak hingga Hazel berhasil mengatakan perannya pada Angkatan Udara AS.

September 1944, Hazel adalah pilot berpengalaman. Dia dapat dipercaya dan setia, juga sangat terampil.

Karena kemampuan terbangnya yang berkembang, dia dikirim ke Sekolah Pursuit di Brownsville, Texas.

Di sana dia berlatih terbang lebih cepat dengan pesawat tempur bertenaga tinggi, seperti P-63 Kingcobra, P-51 Mustang, dan P-39 Airacobra.

Sayangnya,  pada tahun yang sama, dia menemui ajalnya lebih dini.

Pada 10 Nopember, Hazel menerima perintah yang menjadi misi terakhirnya.

Dia akan menerbangkan P-63 dari pabrik Bell Aircraft di Niagara Falls, New York dan membawanya ke Great Falls, Montana.

Baca Juga: Pilot yang Mendaratkan Southwest Airlines yang Mesinnya Meledak Adalah Salah Satu Pilot Wanita Pertama di Angkatan Laut AS

Great Falls adalah titik penghubung dari mana pesawat yang ditunjuk dikirim ke Uni Soviet melalui Alaska, sebagai bagian dari program Lend and Lease.

Karena cuaca tidak menentu, misi ditunda di Fargo, Dacota Utara.

Pada pagi hari Thanksgiving, cuaca cerah, dan Hazel menerima lampu hijau untuk melanjutkan pengirimannya.

Karena penundaan cuaca dan waktu yang buruk, bandara Great Falls menerima P-63 dalam jumlah besar, semuanya pada waktu yang sama.

Bingung dan panik melanda menara kontrol, saat pilot menunggu izin untuk mendarat.

Akibat kurangnya koordinasi, Hazel bertabrakan dengan pesawat lain saat mencoba mendarat.

Pesawatnya terbakar, dan dia berhasil dievakuasi, tapi tidak ada yang bisa dilakukan oleh dokter untuk menyelamatkannya, dua hari kemudian dia meninggal.

Saudara laki-lakinya, Victor, yang bertugas sebagai tankmen di Prancis, kehilangan nyawanya hanya tiga hari setelah keluarga Lee diberitahu tentang kematian Hazel.

Baca Juga: ‘Penyihir Malam’, Ditakuti Bahkan Diberi Hadiah yang Bisa Menjatuhkannya, Inilah Cara Pasukan Terbang Wanita Uni Soviet Bertarung Melawan Jerman

Hazel Ying Lee dimakamkan tanpa penghargaan militer, bersama saudara laki-lakinya, di Pemakaman River View di Portland, Oregon.

Hazel adalah yang terakhir dari 38 pilot WASP yang meninggal saat menjalankan tugas.

Selama 30 tahun, Hazel dan pilot wanita lainnya dari WASP tidak diberi pengakuan atas peran  mereka.

Hinga tahun 1974, semua anggota WASP diberikan status militer, menjadikan mereka pilot wanita resmi pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.

 Baca Juga: Ayesha Farooq, Pilot Wanita Pertama di Angkatan Udara Pakistan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari