Penulis
Intisari-online.com -Kecelakaan pesawat terbang Sriwijaya Air SJ182 juga disorot oleh berbagai media asing.
Salah satunya adalah The Indian Express, media India, yang mengutarakan buruknya catatan keamanan aviasi Indonesia.
Mereka menyebut kecelakaan pesawat Boeing 737-500 dari maskapai Sriwijaya Air SJ182 itu sebagai bukti lain keburukan keamanan aviasi Indonesia.
Indonesia memang pernah mengalami beberapa insiden kurang mengenakkan yang berkaitan dengan isu keamanan di masa lalu.
Masalah-masalah muncul termasuk perawatan dan latihan pilot kurang memadai, komunikasi atau kegagalan mekanis serta masalah stasiun kontrol.
The Indian Express mengatakan Indonesia merupakan negara terburuk di Asia untuk mengambil moda transportasi penerbangan.
Data dari Aviation Safety Network tunjukkan sudah ada 104 kecelakaan dan 2.353 kefatalan yang berkaitan dengan buruknya keamanan aviasi Indonesia.
Memang penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ182 ke Laut Jawa masih belum diketahui sampai black box ditemukan dan diteliti.
Namun ada dua hal yang sudah diketahui, pertama pesawat itu terbang di kondisi hujan deras dan model Boeing Co. sudah berusia 27 tahun.
Boeing 737-500 merupakan salah satu anggota keluarga Boeing 737, salah satu pesawat paling sukses sepanjang massa.
Pesawat Boeing 737 pertama kali terbang di tahun 1967 dan telah melewati berbagai pengembangan untuk akhirnya dari 737-100 menjadi 737 Max.
Sriwijaya Air menggunakan pesawat 737-500, bagian dari seri Boeing Classic yang termasuk di dalamnya 737-300 dan 737-400.
Tahun 2017 lalu, Boeing sudah mengenalkan seri 737 Max, versi yang ternyata sebabkan dua kecelakaan fatal: penerbangan Lion Air 610 pada Oktober 2018 dan penerbangan Ethiopian Airlines 302 di Maret 2019.
Boeing telah mengirimkan 390 model 737-500 ke seluruh penjuru dunia, yang dirancang mengangkut 145 orang sesuai kapasitasnya.
Pesawat yang diterbangkan lewat maskapai Sriwijaya Air, salah satu maskapai lokal baru yang menyediakan penerbangan ke tujuan tempat-tempat regional di seluruh negara Asia Tenggara, memiliki 120-112 kursi kelas ekonomi dan 8 kursi eksekutif seperti ditulis di situs maskapai itu.
Cuaca buruk
Umumnya, maskapai penerbangan secara teratur mengganti pesawat saat sudah berusia 25 tahun, sehingga kenyataan pesawat Sriwijaya sudah berusia 26 tahun terbilang cukup tua.
Sudah diketahui juga sebelum masuk ke Sriwijaya Air, pesawat itu sudah diterbangkan oleh Continental Air Lines dan United Airlines Holdings Inc., sesuai data penerbangan yang dicatat Planespotters.net.
Rata-rata umur pesawat Boeing yang dimiliki Sriwijaya Air adalah 17 tahun, kecuali Boeing 737-900 yang terbang pertama kali pada 2014, memiliki rata-rata umur 19 tahun.
Sekedar untuk perbandingan, usia rata-rata pesawat PT Garuda Indonesia yaitu 8,3 tahun.
"Kita masih tidak tahu apa penyebab kecelakaan itu," ujar Shukor Yusof, pendiri firma konsultasi aviasi Endau Analytics di Malaysia.
"Meski begitu, banyak hal bisa ditingkatkan mengenai budaya keamanan dan Presiden Jokowi bisa mendasari keturunannya dengan membuat upaya konkrit mengamankan kepercayaan dan yakin pada penerbangan lokal di masa jabatan terakhirnya."
Bukan hanya masalah umur armada, Indonesia juga terbilang kepulauan yang berbahaya dengan insiden badai dan petir menyerang di mana saja.
Masih ada juga erupsi gunung berapi yang bisa sebabkan hujan abu ke udara dan masuk ke mesin pesawat.
2019 lalu, bandara I Gusti Ngurah Rai Bali membatalkan dan mengalihkan sejumlah penerbangan setelah erupsi Gunung Agung, yang sebabkan hujan abu di wilayah selatan pulau itu.
Dengan ditambah pemanasan global, kejadian ekstrim terkait cuaca terjadi lebih sering.
Sebelum penerbangan Sriwijaya Air SJ182 pun pesawat mengalami delay sekitar satu jam karena kondisi cuaca yang tidak menentu.
"Sementara kita menunggu hasil investigasi untuk mengetahui penyebab utama insiden, data awal tunjukkan kemungkinan disorientasi kokpit, yang dipengaruhi oleh cuaca buruk," ujar analis aviasi independen Gerry Soejatman.
Laporan insiden
Kegagalan komunikasi juga menjadi faktor utama kecelakaan pesawat di Indonesia.
Penerbangan AirAsia dari Surabaya pada Desember 2014, pilot Indonesia dan kopilot Perancis tidak mencapai kesepakatan atas kontrol setelah upaya mereka memperbaiki sistem kemudi yang rusak menyebabkan auto-pilot terlepas.
Pesawat itu kemudian naik dengan curam, terhenti dan jatuh ke laut.
Bandara Soekarno-Hatta juga mengalami membludaknya penumpang karena menjamurnya perjalanan udara di Asia.
Kapasitas tahunan bandara itu sudah dirancang diperluas melayani sekitar 60 juta penumpang, tapi sebelum Covid-19 ada, pada 2019 lalu Soetta melayani sekitar 80 juta penumpang.
Sampai akhirnya landasan pacu ketiga baru diresmikan Januari lalu guna membantu mengurangi kemacetan dan penundaan penerbangan.
Sriwijaya Air yang berdiri tahun 2003 dan melayani 53 rute termasuk ke Penang, Malaysia dan Dili, Timor Leste, sebelumnya tidak pernah mengalami kecelakaan fatal.
Ada total 4 insiden lain yang dialami maskapai ini, terakhir pada Mei 2017 ketika Boeing 737-33A melampaui batasan.
Sebelumnya pada bulan Juni 2012 ketika sebuah jet Boeing lain berbelok dari landasan pacu setelah mendarat di Pontianak, Kalimantan Barat, yang dituju oleh Penerbangan 182.
Pesawat dibatalkan karena kerusakan roda pendaratan yang parah.
Hujan juga turun deras pada saat pendekatan.
Empat insiden tidak fatal dalam 17 tahun tidak buruk.
TransNusa Aviation Mandiri yang didirikan pada tahun 2012 telah mengalami satu kali sedangkan Lion Air yang didirikan pada tahun 1999 telah mengalami sembilan ditambah dua peristiwa fatal lainnya.
Jet Boeing 737-500 telah terlibat dalam delapan kecelakaan kehilangan lambung, atau insiden di mana kerusakan pesawat tidak dapat diperbaiki, dengan total 220 kematian, menurut Aviation Safety Network.
Airbus SE A319, jet yang sebanding, telah melibatkan tiga pesawat.
Pada September 2008, sebuah penerbangan Aeroflot PJSC 737-500 jatuh menewaskan 88 orang sementara kecelakaan Asiana Airlines Inc. pada Juli 1993 merenggut 68 nyawa.
Penyelidik mengaitkan kecelakaan dengan faktor-faktor termasuk kinerja pilot, pelatihan atau cuaca.
Jika tidak ada yang selamat dari Sriwijaya Flight 182, itu akan menandai bencana terburuk ketiga 737-500.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini