Kecelakaan Sriwijaya Air Jadi Kecelakaan Ketiga Selama 4 Tahun, Pesawat Boeing 737 Sempat Berganti Julukan The Best Selling Plane Menjadi Pesawat Maut, Tapi Mengapa Bisa Segera Dapat Izin Terbang?

Maymunah Nasution

Penulis

Sriwijaya Air

Intisari-online.com -Indonesia masih berduka atas kecelakaan maskapai penerbangan Sriwijaya Air SJ182.

Faktanya, pesawat itu menjadi pesawat Boeing 737 ketiga di seluruh dunia yang alami kecelakaan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.

Dua yang lain adalah kecelakaan Lion Air di Indonesia pada Oktober 2018 dengan pesawat Boeing 737 Max, dan kecelakaan Ethiopia Air di Ethiopia pada Maret 2019 dengan pesawat Boeing 737 Max.

Dari kecelakaan Boeing 737 Max sendiri total ada 346 korban jiwa.

Baca Juga: Meski saat Kecelakaan PIlihannya Hanya Semua Selamat atau Semua Tewas, Faktanya Naik Pesawat Masih Jauh Lebih Aman Dibanding Menggunakan Mobil, Simak Datanya

Separuhnya meninggal dunia sejumlah 189 orang di Indonesia dan sisanya 157 meninggal di Ethiopia.

Hal ini mengejutkan, mengingat Boeing merupakan perusahaan aviasi besar.

Raksasa pembuat pesawat terbang itu sudah mendulang banyak penjualan sukses dari berbagai jenis pesawat komersialnya saja.

Boeing hanya memiliki pesaing Airbus, perusahaan dari Eropa, yang baru bisa menyaingi Boeing pada tahun-tahun ini.

Baca Juga: Tepat Sehari Sebelum Pesawatnya Jatuh saat Digunakan Sriwijaya Air, Boeing Dituntut Bayar Rp35 Triliun untuk 2 Kecelakaan Maut, Salah Satunya Terjadi di Indonesia

Boeing 737 memiliki julukan 'Best Selling Airplane' karena jumlahnya yang laris manis, tapi akibat kecelakaan di Indonesia dan Ethiopia, julukan Boeing 737 berubah menjadi 'Pesawat Maut'.

Boeing 737 Max kemudian dilarang beroperasi setelah itu.

Hingga akhirnya pada November 2020 lalu, pesawat ini sudah mendapatkan izin terbang.

Dikonfirmasi dari pemberitaan bahwa Otoritas Keamanan Penerbangan Uni Eropa (EASA) baru akan mencabut larangan terbang pada Januari 2021 ini.

Baca Juga: Boeing 737-500 Seperti yang Digunakan Sriwijaya Air Sudah Banyak Dipensiunkan, Penyelidik Kecelakaan Penerbangan Malah Sebut Usia Bukan Faktor Utama, Lalu Apa?

Sehingga bisa dipastikan pesawat produksi perusahaan AS itu sudah dapat kembali mengudara.

Jadwal pencabutan larangan penerbangan ini sedikit berbeda dengan versi dari Otoritas Penerbangan AS (FAA).

FAA telah memberikan izin kepada Boeing 737 Max untuk mengudara sejak pekan lalu.

Menurut Chappy Hakim seorang Purnawirawan Marsekal TNI, tidak mengherankan jika FAA dengan cepat memberikan izin terbang kepada Boeing 737 Max.

Baca Juga: Sempat Dikaitkan dengan Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ182, yang Sudah Berusia 26 Tahun, Pakar Ungkap Meski Usianya Tua Kondisi Pesawat Bisa Tetap Sehat, Ini Alasannya

Sedangkan Direktur Eksekutif EASA, Patrick Ky mengatakan Boeing telah melakukan perubahan terhadap jenis pesawat yang pernah mengalami kecelakaan selama 2 kali dalam kurun waktu kurang dari 5 bulan itu.

"Hasil kajian menunjukan menyebutkan Boeing 737 Max sudah dapat kembali beroperasi. Kami sedang mempersiapkan segala kebutuhannya," ujar Patrick, dilansir dari CNBC, Senin (23/11/2020).

"Kemungkinan besar kami akan mengambil keputusan berdasarkan hasil kajian, memperbolehkan 737 Max untuk beroperasi, mungkin pada Januari," tambahnya.

Rencananya, pengajuan terkait pencopotan larangan terbang 737 Max akan mulai dilaksanakan pekan depan, diikuti dengan 30 hari waktu pembahasan.

Baca Juga: Pesawat Sriwijaya Air Boeing 737-500 yang Jatuh Merupakan Model Tanpa Sistem Kontrol Otomatis, Seperti Kecelakaan Lion Air 2018

Jika terlaksana tepat waktu, maka keputusan resmi akan terbit pada bulan pertama tahun depan.

Namun, seberapa cepat maskapai dapat kembali menggunakan Boeing 737 Max akan ditentukan oleh waktu pelatihan pilot dan juga pembaruan sistem penerbangan tiap maskapai, sejalan dengan ketentuan EASA.

Di AS, maskapai rencananya akan mulai mengoperasikan Boeing 737 Max pada 29 Desember, atau sekitar 6 minggu setelah keputusan resmi FAA dikeluarkan.

Sebagai informasi, Boeing 737 Max dilarang untuk mengudara sejak Maret 2019, setelah terjadi kecelakaan fatal di Indonesia dan Ethiopia yang menewaskan 346 jiwa, hanya dalam lima bulan.

Baca Juga: Sriwijaya Air SJ182 Hilang Kontak dalam Hitungan Detik, Inilah Critical Eleven, 11 Menit Penuh Risiko dalam Penerbangan, Bak Dekati Gerbang Kematian

Pada 29 Oktober 2018 pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di perairan Karawang.

Sebanyak 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru dinyatakan meninggal dunia.

Hanya berselang lima bulan dari jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 Boeing kembali dikejutkan dengan jatuhnya Ethiopian Airline dengan seri pesawat yang sama yaitu Boeing 737 Max 8.

Pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines jatuh pada 10 Maret 2019 dan menewaskan 157 orang penumpangnya.

Baca Juga: Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Gunakan Boeing 737, Mari Mengenal Keluarga Besar Boeing 737 yang Terkenal Banyak Dipakai Maskapai Penerbangan Itu

Tiga menit setelah lepas landas dari bandara Addis Ababa, pilot pesawat meminta izin untuk kembali karena kecepatan pesawat tidak normal.

Rentang waktu yang molor

Chappy menuliskan, dari rentang waktu yang diumumkan oleh pihak Boeing awalnya beberapa bulan untuk memperbaiki produk MAX 8 ternyata perlu total 20 bulan untuk sampai disetujui FAA dan EASA agar terbang lagi.

Dulunya, pesawat ini sudah digadang-gadang sebagai sebuah produk unggulan.

Baca Juga: Keluar dari Kandang, Inilah Dua Kapal Perang Milik TNI AL yang Dikerahkan untuk Menelusuri Jejak Sriwijaya Air SJ182 yang Hilang di Kepulauan Seribu

Boeing 737 MAX 8 mendapat julukan the best selling plane dari seri B-737, karena irit bahan bakar.

Lalu Maret 2019 secara resmi FAA dan sejumlah otoritas penerbangan berbagai negara mengandangkan MAX 8 karena 2 kecelakaan fatal di Indonesia dan Ethiopia.

Waktu itu, pesawat sudah diproduksi dan disalurkan ke seluruh operator di berbagai negara, total 387 pesawat sudah dikirim kebanyak negara.

Sedangkan di saat yang sama, pada jalur produksi sudah antri 395 kerangka pesawat (built unit), menunggu giliran masuk final assembly line untuk penyelesaiannya sampai siap test flight.

Baca Juga: 7 Tips untuk Meningkatkan Peluang Keselamatan Pesawat Jatuh, Termasuk Memilih Tempat Duduk 'Paling Aman'

FAA, badan otoritas penerbangan Amerika Serikat telah mengumumkan secara resmi pada hari Rabu tanggal 18 November 2020 untuk mencabut larangan terbang bagi pesawat B-737 MAX 8.

FAA merilis B-737 MAX 8 untuk terbang lagi setelah dilakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan kualitas produk dari pesawat terbang MAX 8.

Beberapa di antaranya yang dilakukan adalah penyempurnaan software sistem kendali pesawat terbang yang berkait dengan MCAS (Maneuvering Characteristic Augmentation Sysytem) yang telah dituduh sebagai penyebab utama dari kedua kecelakaan yang terjadi.

Di sisi lain diberlakukan ketentuan bagi para pilot sebelum menerbangkan MAX 8 untuk melaksanakan training di simulator terlebih dahulu.

Baca Juga: TNI AL Bantu Pencarian Kerahkan Kapal Perang dan Pasukan Khusus, Ini Fakta-fakta Pencarian Pesawat Sriwijaya Air SJ182

Paket perbaikan dan penyempurnaan prosedur yang telah dilakukan Boeing terhadap MAX 8 telah dinyatakan oleh FAA sebagai aman dan memuaskan.

Otoritas penerbangan Uni Eropa EASA telah pula menyatakan kepuasannya dengan langkah yang telah diambil oleh FAA dan Boeing.

Executive Director EASA dikutip sebagai menyatakan bahwa 737 MAX is safe enough to be certified. Our analysis is showing that this is safe and the level of safety reached is high enough for us.

Intinya adalah bahwa otoritas penerbangan Amerika Serikat dan otoritas penerbangan Uni Eropa sepakat memberikan izin terbang kembali bagi pesawat MAX 8 setelah dilakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan sistem serta beberapa tambahan prosedur standar.

Baca Juga: Sudah 2 Kali Berpindah Tangan Sebelum Diakuisisi oleh Sriwijaya Air, Ternyata Inilah Rekam Jejak Pemilik Boeing 737-500, Sebelum Menjadi SJ182

Kasus pesawat MAX 8 ini menjadi sangat menarik karena telah memunculkan ke permukaan sebuah pertanyaan besar terhadap kredibilitas FAA sebagai otoritas penerbangan terpercaya sepanjang sejarah penerbangan global.

Demikian pula menimbulkan tanda tanya besar tentang komitmen pabrik pesawat Boeing yang selama ini sangat dikenal “rigid” pada masalah Aviation Safety.

Kasus pesawat MAX 8 juga telah memakan korban dipecatnya sang CEO Dennis A. Muilenburg, yang dinilai tidak mampu mengatasi krisis yang dihadapi Boeing saat berhadapan dengan masalah 2 kecelakaan pesawatnya yang memakan korban ratusan nyawa dalam rentang waktu 5 bulan.

Krisis terburuk yang dihadapi pabrik raksasa pembuat pesawat terbang sepanjang 103 tahun sejarah keberadaannya yang sangat sukses terutama dalam aspek keselamatan terbang di pasar global.

Baca Juga: Pesawat Sriwijaya Air SJ182 Jatuh, Inilah 5 Kecelakaan Pesawat Paling Mengerikan di Indonesia, Salah Satunya Pilot Diduga 'Bunuh Diri'

Sejauh ini masyarakat penerbangan dunia yang pada umumnya selalu berkiblat kepada FAA dan juga kepada Boeing dalam hal keselamatan penerbangan telah terganggu dengan kasus pesawat MAX 8.

Ditambah lagi dengan kenyataan ketika Boeing mengatakan akan dapat menyelesaikannya dalam waktu beberapa bulan saja ternyata baru dapat tuntas selesai setelah 20 bulan lamanya.

Kepercayaan yang goyah terhadap kredibilitas FAA dan Boeing tercermin pula dari belum semua otoritas penerbangan dari negara pengguna pesawat MAX 8 menyatakan persetujuannya dengan keputusan FAA yang telah merilis MAX 8 untuk terbang kembali.

Sementara terdengar kabar dari Kanada, bahwa Menteri Transportasinya Marc Garnean tetap akan meng-grounded pesawat MAX 8 pasca pengumuman FAA yang telah membolehkan MAX 8 untuk terbang lagi.

Baca Juga: Tahun 1972, Para Korban Pesawat Jatuh Ini Terjebak Selama 72 Hari di Pegunungan Andes dan Terpaksa Memakan Tubuh Penumpang Lain untuk Bertahan Hidup

Dikatakannya bahwa otoritas penerbangan Kanada masih akan melakukan validasi ulang dari perbaikan dan penyempurnaan yang telah dilakukan oleh Boeing bersama dengan FAA terhadap pesawat pembawa petaka MAX 8.

Untuk diketahui pada kecelakaan yang terjadi di Ethiopia terdapat 18 warga negara Kanada yang turut menjadi korban, dengan 1 di antaranya seorang Guru Besar yang sangat dihormati dari Universitas Carleton di Ottawa.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait