Find Us On Social Media :

Tidak Ada Negara Antara China dan AS yang Lebih Penting Daripada Indonesia, Pakar Sebutkan Bagaimana Cara Biden Masih Bisa Meraih Hati Jakarta, Berhasilkah?

By Maymunah Nasution, Senin, 4 Januari 2021 | 14:57 WIB

Kapal asing milik China masuki wilayah Laut Natuna Utara secara ilegal.

Intisari-online.com - Dalam laga China-Amerika Serikat, banyak negara lain yang memerankan kunci penting.

Bisa jadi negara-negara ini menjadi batu loncatan AS untuk menghadang kebangkitan China.

Meski begitu, tetap saja sampai sekarang posisi penting masih menjadi milik Indonesia.

Indonesia sendiri paham benar apa yang memang dimiliki, menjadi negara terbesar di Asia Tenggara tidak membuat Indonesia langsung memihak dua negara.

Baca Juga: 'Kami Berada Dalam Situasi Paling Berbahaya', China Perintahkan Pasukan Militernya untuk Bersiaga dan Siap Mulai Perang Dunia 3 dengan Amerika di Laut China Selatan!

Telah lama dirumuskan sejak era Presiden Soekarno yaitu politik luar negeri bebas aktif, bebas tidak memihak dan aktif menengahi dua pihak yang berseteru.

Sampai saat ini nampaknya politik ini masih jadi acuan terkuat Jakarta menentukan sikap kepada dua pihak yang bersengketa.

Memang sedikit menyebalkan pastinya bagi China dan AS mengetahui Indonesia ingin diagungkan oleh dua kekuatan besar dan sekaligus tidak terikat oleh keduanya.

Namun itulah yang diperoleh dari Jakarta, dan Beijing serta Washington harus memutar otak untuk memberi pengaruh di Jakarta.

Baca Juga: Indonesia Dapat Kunjungan Dari China, AS dan Jepang Berturut-turut, Seberapa Penting Indonesia dan ASEAN Dalam Prospek Indo-Pasifik yang Terbuka dan Bebas?

Kini dengan pemerintahan Trump telah berakhir, Jakarta mengharapkan sedikit pergantian suasana dengan administrasi Biden akan mendatangkan langkah-langkah yang juga berbeda.

Pakar mewanti-wanti administrasi Biden untuk lakukan langkah yang benar untuk menjembatani hubungan yang lebih baik antara kedua negara.

Mengutip The Strategist, pakar menyebut Jakarta mengharapkan sedikit perhatian dari AS.

Hal ini terkait dengan perilaku Beijing di Laut Natuna Utara yang cukup meresahkan Indonesia.

Baca Juga: Sanggup Penggal Negara Malaysia Jadi 2 Bagian, Sebegini Kuat Kekuatan Tempur TNI di Pulau Natuna, China yang Begitu Ditakuti Itu Saja Langsung Mundur Ketakutan

Pesan awal Biden juga akan menjadi musik yang menenangkan bagi telinga orang Indonesia yang lebih suka AS lebih multilateral.

Empat tahun administrasi Trump termasuk yang terburuk, dengan ancaman merembetnya perang dagang ke Indonesia, lebih-lebih larangan Muslim dan sikap Menteri Luar Negeri Mike Pompeo yang tidak berpihak kepada Palestina sama sekali.

Indonesia akan sangat lega melihat pemerintahan AS yang baru bertujuan mengelola Beijing dengan tekad dan dinamisme baru, serta lebih libatkan ASEAN.

Pakar juga sudah menebak langkah Jokowi tidak banyak memberikan perhatian untuk memberi ucapan selamat kepada Biden melalui media sosial.

Baca Juga: Jadi Militer Terkuat di Asia Tenggara, Hanya Indonesia yang Berani Ganti Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara, China Langsung Mencak-mencak Tak Terima Tapi Tanah Air Tak Peduli

Hal tersebut rupanya biasa melihat kiprah Jokowi, untuk tunjukkan prioritas pembangunannya sendiri sambil menekankan kecenderungan Biden untuk diplomasi yang lebih berbasis nilai dengan secara bebas menyebut demokrasi.

Pakar juga menyebut menghadapi administrasi Jokowi akan sama seperti menghadapi rezim Xi Jinping.

Jokowi kian dipertanyakan atas komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi liberal, membuat perlu adanya cara lain bagi AS menghadapi Indonesia.

Ini artinya, memainkan nilai bersama seperti kerugian akibat China serta prinsip demokrasi memang tidak berbahaya, tapi tidak berguna.

Baca Juga: Pentingnya Uang: 'Semakin Banyak Negara Demokrasi Liberal Memisahkan Ekonomi Mereka dari China, Semakin Baik'

Langkah yang lebih tepat malah justru bersikap praktis seperti pemberian investasi, dukungan keuangan, teknologi serta nantinya akses mudah ke vaksin Covid-19.

Hal ini terlihat dari langkah para menteri Jokowi, contohnya Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, yang bermaksud memakukan akses pasar untuk ekspor Indonesia di bawah persyaratan Generalized Scheme of Preferences.

Serta tidak lupa Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan sudah jelas menginginkan AS hadir di kawasan yang diperlukan dan memasok perangkat keras militer yang andal.

Ironisnya lagi, Indonesia tetap tidak akan lepas dari doktrin bebas aktif, dan sadar jika apa yang terjadi di Laut China Selatan merupakan upaya perebutan hegemoni dua negara adidaya.

Baca Juga: Perkuat Militer Indonesia, Usaha Menhan Prabowo Subianto Tidak Sia-sia, Berhasil Bungkus Jet Tempur F-15 dan F-18 dari Amerika Serikat, Apa 'Jampi-jampinya'?

Indonesia kemungkinan besar akan terus menolak setiap proposal AS yang bekerja sama dalam operasi menentang China langsung.

Sedangkan untuk Natuna, Indonesia akan mencari jalan lewat hukum internasional, terlepas dari pengabaian China.

Kini AS berada di titik kritis, upaya investasi itu akan lebih menghasilkan imbalan yang mereka inginkan di Vietnam atau Filipina pasca Duterte, tapi jika Indonesia diabaikan begitu saja, maka tentu saja AS tidak akan mendapat tempat lagi bagi Indonesia.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini