Find Us On Social Media :

Sebelum Referendum Timor Leste Digelar, Ternyata BJ Habibie Pernah Tersinggung atas Sepucuk Surat dari PM Australia John Howard, Ini Kisahnya

By Khaerunisa, Minggu, 13 September 2020 | 20:30 WIB

BJ Habibie

Intisari-Online.com - BJ Habibie merupakan sosok Presiden Indonesia yang memberikan kesempatan Timor Timur, yang kini bernama Timor Leste, untuk menggelar referendum.

Kemudian referendum tersebut menunjukkan hasil bahwa mayoritas rakyat Timor Timur menginginkan kemerdekaan.

Sebelum digelarnya Referendum Timor Timur, sebuah peristiwa terjadi dalam sidang kabinet Pemerintahan Republik Indonesia.

Dalam sidang yang berlangsung pada tanggal 27 Januari 1999 itu, Presiden BJ Habibie mengacungkan sepucuk surat di depan para menterinya.

Baca Juga: Musuhnya Bukan Hanya Manusia, Ini Kisah Pertempuran Sengit Tentara Indonesia di Timor Leste, Berangkat 30 Prajurit Pulang Hanya Tersisa 9 Orang

Surat yang Habibie tunjukkan ke depan menterinya itu membuat ia tersinggung.

Surat tersebut datang dari Perdana Menteri Australia, John Howard.

"Saya marah membaca surat dia," ujar Habibie dalam wawancara dengan ABC News pada November 2008.

Kilas balik yang dilansir oleh ABC pada Desember 1998, PM Howard mengirimkan surat BJ Habibie mengenai Timor Timur (Timtim).

Baca Juga: Punya Utang Terlalu Banyak ke Amerika Hingga Kesulitan Membayarnya, Negara Ini Sampai Hati Berikan 'Sumber Kehidupan' Ini Hingga Rakyatnya Hidup Menderita

Howard menyarankan agar Indonesia mengikuti cara Perancis dalam menangani bekas koloninya di Kaledonia Baru.

"Dalam suratnya itu, dia menyarankan agar saya menyelesaikan Timtim seperti Perancis menyelesaikan koloninya di Pasifik. Dia sarankan seperti itu," kata Habibie, yang diwawancarai ABC untuk program The Howard Years.

"Artinya, kita harus mempersiapkan waktu untuk 10 tahun atau apalah dan setelah itu memberi mereka kemerdekaan," terangnya.

"Jadi begitu saya baca itu surat, saya tersinggung," aku Habibie.

Baca Juga: Meski Ancaman Sanksi dari Uni Eropa Menghantui, Turki Tetap Nekat Lakukan Latihan Militer di Lepas Pantai Siprus, Mediterania Timur Makin Panas

Pada awalnya, BJ Habibie ingin menyelesaikan persoalan Timtim yang telah lama menjadi ganjalan bagi Indonesia di mata dunia internasional.

Sebulan setelah dilantik menggantikan Suharto, Presiden Habibie mengumumkan pernyataan pada Juni 1998 bahwa Indonesia siap memberikan status otonomi khusus kepada Timtim.

Dalam sidang kabinet yang menentukan itu, Pak Habibie menegaskan Indonesia akan langsung memberikan pilihan antara otonomi khusus dan kemerdekaan bagi Timtim.

Di lain hal, tokoh Timor Leste Fretilin Xanana Gusmao, Uskup Katolik Timtim Carlos Belo dan perwakilan Fretilin di PBB Jose Ramos Horta saat itu berpandangan bahwa perlu periode lima hingga 10 tahun otonomi khusus agar Timtim bisa merdeka.

Baca Juga: Timor Leste, Dulu Dijajah Portugis, Diinvasi Indonesia, dan Dikuras Australia, Kini Di Ambang Hubungan Penuh Muslihat dengan Negara Pemberi Jebakan Utang Ini

Kendati tersinggung terhadap surat PM Howard, dalam penuturannya kepada ABC, BJ Habibie mengaku bahwa surat PM Howard itulah yang mendorong dia mempercepat keputusan menggelar referendum pada awal Agustus 1999.

Bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan 'pembebasan' Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan dirinya sebagai perdana menteri.

Berbeda pandangan dari PM Howard, mantan Dubes Australia untuk RI, Richard Woolcott menilai tindakan John Howard menyurati BJ Habibie itu 'kurang bijaksana'.

Alasan yang Woolcott kemukakan adalah mengingat posisi Habibie sebagai 'presiden transisional' dan juga mengingat 'temperamennya'.

Dubes Woolcott juga mengomentari bahwa surat Howard itu justru 'mendapatkan reaksi seperti yang telah terjadi', yaitu ketersinggungan Habibie.

Baca Juga: Rakyatnya Kelaparan hingga Terpaksa Makan Serangga, Kim Jong-un Justru Dikenal Punya Sederet Menu Favorit yang Super Mahal Ini

Reaksi PM Howard atas Kebijakan Referendum Habibie

Sementara itu, PM Howard mengaku dirinya kaget dan tak pernah menyangka bahwa Habibie akan 'bergerak sangat cepat'.

"Arah yang dia tempuh sudah sejalan dengan arah yang dikehendaki oleh isi surat itu," kata Howard.

"Hanya saja dia bergerak lebih jauh lagi. Dia melaju 20 mil bukan lima mil," kata Howard mengenai langkah Habibie menawarkan referendum.

Dituturkan kepada ABC, Habibie menyatakan adalah suatu penghinaan ketika PM Howard menyarankan untuk menurunkan pasukan penjaga perdamaian ke Timtim sebelum referendum.

Baca Juga: Cara Mengatasi Demam Anak dan Kapan Perlu Berikan Obat Penurun Panas

Klaim Amerika atas Perannya dalam Kemerdekaan Timtim

Kilas balik peristiwa lepasnya Provinsi RI ke-27 itu telah diketahui luas.

Namun demikian, anggapan bahwa Australia berperan besar dalam kemerdekaan Timtim mulai terbantahkan pada akhir Agustus 2019.

Sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat yang baru saja dilakukan deklasifikasi mengungkap bahwa justru pihak Amerika Serikat yang menekan Jenderal Wiranto untuk menghentikan kekerasan pasca referendum dan memungkinkan masuknya pasukan penjaga perdamaian Interfet (International Force for East Timor) atau pasukan perdamaian internasional untuk Timor Timur.

Dokumen yang diunggah oleh ABC ini mengklaim bahwa AS, bukan Australia yang memaksa Indonesia menerima Interfet setelah 78,5 persen rakyat di sana memilih opsi merdeka.

Baca Juga: Tak Mau Berperang Lagi Setelah Perang Dunia 2, Untuk Pertama Kalinya Jepang Siap Serang Pangkalan Militer Musuh, Gunakan Senjata yang Bisa Musnahkan Jutaan Orang Ini

Dokumen tersebut juga mengindikasikan bahwa Australia sama sekali tidak mendukung atau merencanakan misi penjaga perdamaian sampai menit-menit terakhir.

Kendati demikian, bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan 'pembebasan' Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan dirinya sebagai perdana menteri.

Profesor Clinton Fernandes dari University of NSW pada tahun 1999 yang bekerja sebagai analis intelijen untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) Sydney berkomentar terkait sikap Australia.

Menurut Clinton Fernandes, sikap Australia saat itu dapat diartikan sebagai 'memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia'.

Baca Juga: Tak Mau Berperang Lagi Setelah Perang Dunia 2, Untuk Pertama Kalinya Jepang Siap Serang Pangkalan Militer Musuh, Gunakan Senjata yang Bisa Musnahkan Jutaan Orang Ini

"Howard dan (Menlu Alexander) Downer berusaha keras untuk melindungi TNI," kata Prof. Clinton Fernandes.

"Kabel diplomatik AS ini mengkonfirmasi bahwa kebijakan Pemerintahan Howard adalah menjaga Timtim tetap jadi bagian Indonesia dan pada akhirnya terpaksa mengubah sikap," katanya.

Kabel diplomatik tertanggal 9 September 1999 dari Kedutaan AS di Canberra menceritakan pertemuan pribadi selama 40 menit antara Laksamana Dennis Blair, saat itu Komandan Pasukan Amerika di Pasifik dengan Jenderal Wiranto.

Catatan dua lembar dari Laksamana Blair menunjukkan tekanan kepada Jenderal Wiranto untuk 'menarik diri dari ambang bencana'.

Baca Juga: Hebatnya! Tanpa Baku Tembak, 30 Prajurit Kopassus Berhasil Bikin Ribuan Pemberontak Kongo Gemetar Ketakutan dan Menyerah, Hanya Modal Kain Putih

"Meskipun ada jaminan bahwa TNI dapat menjaga keamanan di Timor Timur, meski TNI mengirim sejumlah besar pasukan baru ke sana dan mengambil langkah luar biasa dengan memberlakukan darurat militer, Timor Timur berada dalam anarki," tulis Laksamana Blair.

Beberapa hari setelah Laksamana Blair menemui Jenderal Wiranto, Indonesia mengizinkan pasukan Interfet masuk ke Timtim.

Dalam pertemuan Presiden Habibie dan PM Howard di Nusa Dua, Bali pada 27 April 1999, Habibie menjawab pertanyaan wartawan ABC.

"Satu-satunya keprihatinan terbesar saya adalah untuk rakyat Timtim yang tidak berdosa", ungkap Habibie.

Baca Juga: Timor Leste Kerap Dipandang Sebelah Mata Sebagai Negara Termiskin di Dunia, Bank Dunia Bocorkan Rencana Gila-gilaan Timor Leste Ini Keluar dari Jurang Kemiskinan

Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki dengan judul Kisah BJ Habibie yang Pernah Tersinggung atas Sepucuk Surat dari PM Australia John Howard

(*)

 

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari