Find Us On Social Media :

Pemerintah di Negara Ini Terang-terangan Setujui Proyek China, Pasukan Militernya Malah Nekat Menentang Pemerintah, Tidak Akan Menyerahkan Sejengkal Tanahnya Pada China

By Afif Khoirul M, Selasa, 8 September 2020 | 14:15 WIB

China berencana incar negera ini untuk proyek pembangunan.

Intisari-online.com - Biasanya pasukan militer akan tunduk pada aturan pemerintah negaranya.

Namun dikatakan baru-baru ini, ada sebuah negara yang memiliki pendapat berseberangan antara pasukan militer dengan pemerintah negaranya.

Kejadian itu terjadi di Filipina, di mana angkatan lautnya dengan berani menentang pemerintah yang memutuskan untuk bekerja sama dengan China.

Menurut 24h.com.vn pada Selasa (8/9/20), semua bermula dari rencana pemerintah Cavite untuk meninggalkan pangkalan strategis.

 Baca Juga: Tubuh Berdarah-darah Menahan Luka, Kopassus Ini Nekat 5 Hari Terbaring Pura-pura Mati di Tumpukan Jenazah demi Kelabuhi Musuhnya

Pemerintah melakukannya demi mendapatkan tanah, supaya mereka bisa membangun bandara internasional dan bekerja sama dengan China.

Namun, tindakan nyeleweng pemerintah dengan mengabaikan pasukan militernya demi bekerja sama dengan China itu justru ditentang oleh pasukan militernya sendiri.

Komandan Angkatan Laut Filipina Giovanni Carlo Bacordo, mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan pangkalan itu.

Apalagi menyerahkan sejengkal tanahnya hanya untuk proyek bandara yang dilakukan oleh China Tranportation Contruction Corporation (CCCC).

Baca Juga: Berjalan-jalan dengan Perut Kempis dan Membikin Miris, Viral Harimau Kurus di Maharani Zoo dan Goa Lamongan, Begini Penjelasan Pengelola

CCCC merupakan perusahaan baru yang dihukum oleh Amerika Serikat.

Perusahaan itu, dihukum karena berpartisipasi dalam pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan secara ilegal.

Inisiatif untuk membangun bandara internasional di Sangley Point (SPIA) yang diusulkan oleh Provinsi Cavite, juga berhubungan dengan CCCC.

Hal itu diharapkan akan menandai kemitraan antara CCCC dengan perusahaan Filipina Macro Asia.

Pekan lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberikan "lampu hijau" bagi perusahaan di "daftar hitam" AS itu.

Untuk terus berbisnis dan berpartisipasi dalam program pembangunan infrastruktur negara ini.

Baca Juga: Ogah Cuma Dikadali China, Rencana Besar China di Negara ASEAN Ini Gagal Total, Ditawari 33 Proyek Hanya Mau Laksanakan 4 Proyek, Diplomat Terbaik China Sampai Turun Tangan

Mr Bacordo mengatakan bahwa partisipasi CCCC dalam membangun pulau buatan secara ilegal di Laut Cina Selatan telah membuat pejabat pertahanan Filipina kehilangan kepercayaan.

“Pangkalan militer di Sangley Point memiliki implikasi strategis. Ini juga tempat militer AS ditempatkan. Kami ingin mempertahankan militer di sini untuk memastikan keamanan nasional, ”kata Bacordo.

Lokasi Sangley Point memungkinkan Angkatan Laut Filipina untuk melakukan operasi pengawasan, di mana pasukan dan peralatan militer dapat dikumpulkan sebelum menjalankan misi pertahanan.

"Ini merupakan pintu masuk ke Teluk Manila, jika Teluk Manila jatuh, bisa menyebabkan seluruh negeri jatuh ke tangan China, kami harus tetap disini untuk melindungi Teluk Manila," kata Bacordo.

Namun, Bacordo mengatakan bahwa pemerintah provinsi Cavite masih bisa membangun bandara di tempat lain.

Selama angkatan Laut Filipina tidak meninggalkan pangkalan tersebut, karena dinilai sangat krusial.

Baca Juga: Dimasukkan Dalam 'Daftar Hitam' Perusahaan China Oleh AS, Raksasa Perusahaan Konstruksi Tiongkok Ini Tetap Terabas Tantangan Untuk Buat Ekspansi China di Dunia Kian Nyata

Setelah AS menjatuhkan sanksi pada perusahaan China itu, Menteri Luar Negeri FilipinaTeodora Locsin juga mengatakan pada pemerintah untuk mengakhiri hubungan dengan China.

Namun, rencana tersebut tidak terlaksana akibat Presiden Duterte mengundang perusahaan China itu untuk ikut membangun infratruktur di Filipina.

Terlepas dari protes Angkatan Laut Filipina, pemerintah Cavite mengatakan mereka akan tetap merealisasikan proyek pembangunan bandara itu dengan China.

Nilai dari proyek tersebut mencapai 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp147 triliun.