Penulis
Intisari-online.com -Menjadi umat muslim sebagai minoritas bukanlah hal mudah.
Terutama seperti apa yang terjadi seperti di Palestina ataupun di Rohingya.
Kini, Rohingya telah menjadi tempat lebih mengerikan daripada Palestina.
Mengutip asiatimes.com, tiga tahun setelah Myanmar usir paksa jutaan warga Muslim Rohingya ke Bangladesh, kini mereka sudah tidak diterima kembali.
Tentunya kejadian mengerikan itu membekas setelah tiga tahun yang lalu, warga Muslim Rohingya yang menjadi pengungsi harus hengkang dari Myanmar.
Mereka melangkah jauh lewati perbatasan sebelah barat ke Bangladesh, dan perhatian dunia tidak bisa dijauhkan dari hal itu.
Namun ada kabar lebih mengerikan setelah itu.
Dunia cepat berharap nasib para pengungsi ini bisa segera membaik dan mereka bisa segera kembali ke negara asal mereka semula.
Namun hal itu hanya tinggal angan-angan belaka.
November mendatang, hampir bersamaan dengan pemilihan umum AS, nasib pengungsi Rohingya justru tidak diurusi sama sekali.
Sama sekali tidak ada partai yang ingin menang atau pemerintahan yang terpilih dan tetap berkuasa di Naypyidaw setelah voting yang setuju membawa pulang lebih dari jutaan warga Muslim Rohingya.
Padahal, saat ini mereka tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas, dan mereka hanya ingin dianggap sebagai warga Myanmar.
Lalu adakah mediasi dari negara lain yang bisa membantu para pengungsi itu?
Sayangnya, tekanan internasional juga sepertinya tidak banyak membantu setelah kekuatan Barat sadar kritik mereka terhadap Myanmar hanya membuat Myanmar semakin dekat dengan China.
China dan sekutunya Rusia telah berjanji untuk membela Myanmar di forum internasional dan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mereka punya hak veto untuk upaya apapun dalam memberikan sanksi Naypyidaw.
Kini, dengan gelombang infeksi Covid-19 di sebelah barat Myanmar yaitu di wilayah Rakhine, maka perbatasan itu akan ditutup.
Baca Juga: 15 Obat Penurun Panas Alami Bisa Dibuat Sendiri, Gunakan Bawang Putih
Rakhine juga merupakan tempat masuk dan keluarnya para pengungsi dari Myanmar ke Bangladesh, dan sebaliknya.
Itulah sebabnya mengapa masuknya pengungsi Rohingya ke Myanmar lagi tergolong sulit.
24 Agustus lalu, Menteri Kesehatan dan Olahraga Myanmar laporkan ada 30 kasus baru Covid-19.
Tambahan kasus itu merupakan penambahan kasus terbanyak sejak Covid-19 merebak di Myanmar sejak Maret.
Hampir semua kasus baru itu dideteksi di wilayah Rakhine.
Sehari sebelumnya, ada total 24 kasus yang dilaporkan, 22 berasal dari Rakhine sedangkan satu berasal dari Yangon dengan catatan perjalanan ke wilayah Rakhine, satu lagi di wilayah Myanmar yang lain.
Jam malam mulai diterapkan di ibu kota Sittwe, sedangkan lockdown sebagian tempat telah dilakukan.
Bagai warga Palestina di Asia
Jika warga Rohingya tidak diperbolehkan kembali ke Myanmar, situasi mereka akan persis dengan situasi pengungsi Palestina yang pergi ke Lebanon dan negara Timur Tengah lainnya.
Tidak ada harapan mereka kembali, jumlah populasi pengungsi semakin meningkat dan membentuk negara di dalam negara dengan organisasi politik, administrasi dan agenda mereka sendiri.
Ada juga tanda-tanda anekdot yang sebutkan warga Rohingya yang putus asa akan diradikalisasi oleh ekstrimis di dalam kumpulan mereka sendiri atau dimanfaatkan kelompok teroris dari luar.
Kesadaran mengenai kondisi pengungsi Rohingya yang bagaikan versi Asia untuk Palestina ini merebak di tepi pantai tenggara Bangladesh yaitu Dhaka.
Juni tahun lalu, Perdana Menteri Sheikh Hasina Wazed mengatakan "keamanan dan stabilitas kita akan terguncang" jika pengungsi Rohingya tetap ada di kamp pengungsian mereka.
Kekhawatiran Bangladesh cukup beralasan, sebabnya dalam kondisi yang putus asa akan ada pengungsi yang menganut paham radikal dan diajak bekerja sama dengan kelompok Islam radikal lain.
Hal itu akan menjadi risiko keamanan besar yang bisa menyebar ke seluruh negara.
Baca Juga: Tak Heran Daun Kelor Sering Dijadikan Ramuan, Ternyata Bisa Cegah Penyakit Mematikan Ini!
November 2017, Bangladesh dan Myanmar telah menandatangani kesepakatan repatriasi.
Setahun kemudian, PBB terlibat dalam apa yang seharusnya menjadi usaha menciptakan kondisi kondusif bagi pengungsi Rohingya untuk kembali.
Namun hanya beberapa orang saja yang berhasil kembali, dan lewat pengaturan lokal.
Kelompok gabungan yang terdiri dari perwakilan Myanmar dan Bangladesh belum bertemu kembali sejak Mei tahun lalu.
Sejak Myanmar menunda beberapa pertemuan yang sudah dijadwal, pejabat Bangladesh mengatakan jika Myanmar gunakan pandemi Covid-19 untuk hindari mengurusi para pengungsi itu.
Harian lokal Bangladesh juga laporkan bahwa Dhaka telah mengumpulkan dan mengirim informasi mengenai 600.000 warga Rohingya ke Myanmar.
Namun, Myanmar berikan Bangladesh jika informasi yang ada di mereka hanya ada 30 ribu pengungsi, serta menolak 30-40% dari mereka semua.
Rupanya, verifikasi identitas pengungsi adalah isu besar di Myanmar.
Pemerintah, militer dan semua yang terlibat khawatirkan jika pengungsi itu merupakan imigran ilegal dari Bangladesh.
Myanmar memang tidak menampik ada warga minoritas Muslim di sebelah utara Rakhine selama berabad-abad lamanya.
Namun identitas mereka sebagai "Rohingya" itu dipertanyakan.
Tercatat dari statistik Bangladesh, ada 860.365 warga Rohingya tinggal di 34 kamp pengungsi dekat dengan perbatasan Myanmar dengan tambahan lagi 230 ribu hidup di kota dan desa sebelah tenggara negara itu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini