Penulis
Intisari-online.com -Negara Asia Timur telah berhasil melawan Covid-19.
Namun, bukan berarti mereka telah memenangkan 'perang' ini.
Banyak yang bisa dikaji dari cara mereka lakukan penanganan penyakit ini.
Banyak warga China yang hidup di Singapura lega setelah pihak berwenang melakukan pembatasan sosial untuk menahan penyebaran Covid-19.
Pengumuman yang dikeluarkan pada tanggal 3 April kemarin itu sudah dinanti oleh mereka.
Warga China tahu betul dampak mengerikan dari wabah Corona di China beberapa bulan kemarin.
Namun mereka juga lega ada sedikit 'udara' di Singapura yang perbolehkan sekolah tetap dibuka dan orang-orang di jalan memilih tidak memakai masker.
Pembatasan ini datang setelah jumlah kasus yang terkonfirmasi di Singapura meningkat tajam beberapa minggu terakhir ini.
Selain itu, datang pula kekhawatiran jika infeksi bisa terjadi lewat penularan di komunitas.
Hingga akhirnya Selasa, seluruh sekolah mengganti sistem pelajaran dengan belajar di rumah selama empat minggu penuh.
Toko dan bisnis pun ditutup kecuali bagi yang menyediakan jasa dan barang ekstra penting saja.
Pemerintah Singapura juga telah mengganti kebijakan mereka terkait masker wajah, tidak lagi menyuruh agar orang-orang tidak menggunaakn masker.
Negara lain di Asia Timur segera mengikuti langkah ini, dilanjutkan dengan diterapkan isolasi lebih ketat lagi.
Xun Wu, professor ilmu politik di Hong Kong University menyebutkan hal ini sangat kontras dengan klaim Asia Timur menyebut sukses melawan pandemi Covid-19.
Contohnya, Singapura telah mendapatkan tepuk tangan dari WHO setelah metode 'tracing' yang diterapkan kepada pasien dianggap sebagai "standar emas" melawan Covid-19.
Jepang dan Taiwan juga mendapatkan tepuk tangan di seluruh dunia atas usaha mereka melawan wabah ini.
Bukan keajaiban melihat situasi terkendali di Asia Timur yang berdekatan dengan China daratan tempat wabah pertama kali muncul.
Lebih hebat lagi, mereka bisa melakukannya tanpa lakukan lockdown maupun mematikan ekonomi masyarakat.
Lalu, apa yang bisa dipelajari dari negara-negara ini?
Pertama, Asia telah berperang melawan epidemi hampir sama pada beberapa waktu silam, seperti Sars dan Mers.
Hal itu membantu Asia Timur tahu langkah awal dalam mengambil keputusan.
Meski begitu, Covid-19 adalah pandemi baru yang akan memberi dampak lain jika ditangani dengan langkah politik yang sama di masa lalu.
Contohnya, meratanya penyebaran Covid-19 tanpa gejala adalah pola unik yang menyebabkan langkah penanganan yang telah dilakukan kurang efektif.
Kedua, klaim yang membesar-besarkan kemampuan Asia saling bergotong royong dianggap terlalu dibesar-besarkan.
Tidak hanya tidak membantu mendapatkan pelajaran bagi negara-negara di luar Asia Timur, tetapi juga membawa persaingan ke negara di Asia Timur sendiri.
Pasalnya, dilihat dari besarnya ketidakjelasan bagaimana virus masih dapat menyebar dan dampak strategi yang diberlakukan kepada hidup sehari-hari, sangat tidak realistis untuk menggantungkan kepada gotong royong dalam menangani penyebaran virus.
Klaim ketiga yaitu kepemimpinan politik memainkan peran penting dalam melawan Covid-19 di Asia Timur.
Sementara penanganan pandemi oleh Donald Trump telah tunjukkan bukti tidak adanya kepimimpinan yang handal bisa membuat negara hampir lumpuh, cakupan yang lebih luas meminta ada tokoh politik di semua bidang seperti di bidang medis, ilmuwan dan lain sebagainya.
Di negara Hong Kong, hal seperti ini tidak bisa dijadikan acuan karena kepercayaan publik ke pemerintah telah 'hilang' akibat protes anti-pemerintah yang terjadi di sana.
Sehingga, sangat tidak realistis untuk menggantungkan semata kepada pimpinan politik untuk melawan pandemi ini.
Pada dasarnya tidak ada negara yang diharapkan bangkit dari krisis Corona dengan tidak terkendali.
Namun, beberapa kota dan negara akan bergerak lebih baik dibandingkan yang lain.
Asia Timur dapat melanjutkan kesuksesan mereka melawan Covid-19 sembari tawarkan pelajaran berharga ke seluruh dunia.
Namun bagi Xun Wu, seorang Professor ilmu politik di Hong Kong University, semua pihak harus berpikir dengan konsep tiga dimensi: berpikir ke depan, berpikir lagi dan berpikir di luar konsep umum.
Berpikir ke depan
Satu yang bisa diambil dari kesuksesan Asia Timur adalah langkah dini yang segera mereka terapkan, mulai dari pembatasan bepergian, pengujian penduduk, dan tracing kontak terdekat berhasil menghindarkan negara Asia Timur dari ledakan dan dampak panjang dari lockdown dan matinya ekonomi dari suatu negara.
Baca Juga: Cukup Gunakan Gelas Kaca, Ternyata Ini Cara Mendeteksi Meningitis yang Merenggut Nyawa Glenn Fredly
Berpikir lagi
Kesukesan dini menangani penyakit Covid-19 dapat ciptakan keabaian yang membuat pemerintah menahan lakukan keputusan penting saat diperlukan.
Tetap saja, negara yang berhasil menahan penyebaran Covid-19 harus tetap berpikir dan mencari bukti baru penyebaran penyakit yang masih berkembang entah sampai kapan ini.
Dengan begitu, tantangan yang datang kapan pun mereka akan siap.
Berpikir di luar konsep umum
Sangat jelas dampak kebijakan dan penanganan yang diadopsi negara-negara dalam tangani Covid-19 meniru negara yang dilihat sudah bisa menangani kasus ini dengan baik.
Semisal lockdown ketat yang diterapkan di China kemudian ditiru di negara-negara sekitarnya, tetapi efektivitas strategi tersebut harus mempertimbangkan kondisi negara yang akan menerapkannya.
Berpikir di luar konsep umum dapat menyediakan pemimpin negara waktu melihat kegagalan dan keberhasilan yang telah dipetik oleh negara yang terapkan kebijakan tertentu lebih dini daripada negara tersebut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini