Find Us On Social Media :

Wahai Pasangan Muda, Cinta Bersyarat Tumpulkan Kecerdasan Emosi Anak

By Agus Surono, Sabtu, 15 Juni 2019 | 08:30 WIB

Cinta bersyarat tumpulkan kecerdasan emosi.

Intisari-Online.com - Perjalanan hidup Melissa Butler berikut ini bisa menjadi cermin kita semua sebagai orangtua.

Sewaktu remaja ia meninggalkan Oxford College dan menjalani hidupnya sebagai penari telanjang. “Saya perlu sekali menari telanjang karena menikmati perhatian yang saya dapatkan. Saya senang dan merasa seperti sesosok dewi seksi yang memikat. Saya tahu, saya penari telanjang fantastik.”

Profesinya itu tentu membuat sedih ibunya, Jane. Sebagai anak keluarga kelas menengah Melissa diharapkan meniti karier yang baik. Jalan menuju ke situ sudah dirintis Melissa yang memiliki IQ 178 ini.

Ketika usia Melissa baru beranjak 18 bulan ia sudah bisa membaca dan menulis. Ibunya lalu memberi anaknya suatu langkah awal yang baik. Pada usia 10 tahun Melissa masuk sekolah khusus wanita di Bishop’s Stortford, Hertfordshire. Dua tahun kemudian ia bergabung dengan Mensa, yakni perkumpulan orang-orang cerdas dari seluruh dunia.

Jane akhirnya memutuskan untuk mendidik Melissa di rumah. Sejak itulah dunia Melissa Cuma belajar dan belajar. “Saya bagaikan otak berjalan - nilai A merupakan satu-satunya yang saya miliki. Saya tidak bersosialisasi, melakukan olahraga, atau hal-hal normal lainnya. Yang saya pikirkan hanya bagaimana menjadi orang pintar secara akademis,” ungkapnya.

Pada umur 17 tahun Melissa mendapat kesempatan belajar di Oxford College. Di sinilah ia memperoleh sebuah kejutan. Dia merasakan bukan lagi bintang intelektual di antara teman -teman sebaya yang sama-sama cemerlangnya. “Saya merasa, orang lain lebih cantik, lebih pintar, dan lebih langsing dibandingkan dengan saya. Lalu, saya tak dapat bersaing pula dengan mereka secara akademis.”

Sementara itu, “Setiap orang berharap saya bisa berhasil di sekolah. Ibu saya tak lagi nonton balet demi saya. Nenek saya berhenti bekerja untuk merawat saya, karena ayah berpisah dengan ibu ketika ibu mengandung saya tujuh bulan. Saya menjadi tumpuan harapan bagi banyak orang, sehingga waktu itu saya harus mengerahkan segala kemampuan untuk mereka,” ungkapnya.

Namun, rupanya Melissa tidak kuat. la mengalami nervous breakdown pada akhir tahun pertama kuliahnya dan, walaupun berhasil melewati ujian-ujian, memutuskan untuk istirahat kuliah selama setahun.

Keterbatasan uang, bagaimanapun membuatnya menerima pekerjaan sebagai penari di Windmill Club di London. Akhirnya, dia menjadi stripper penuh dan mendapatkan gelar “Naughty Oxford Totty”.

Baca Juga: Belajar ‘Parenting’ dari Cara Putri Diana Menghadapai Kenakalan William yang Dijuluki ‘Billy si Tukang Banting’

Sukses berarti prestasi

Apa yang dialami Melissa merupakan buah pola asuh yang disebut dengan cinta bersyarat (conditional love). Cinta bersyarat merupakan sikap orangtua yang baru memberikan kasih sayangnya jika anak menjadi anak baik, berprestasi, atau memberikan kebanggaan pada keluarga. Kalau tidak, orangtua hanya memberikan kasih sayangnya yang sudah “didiskon”. Atau malah bisa jadi “dilikuidasi” alias tidak disayang.

“Cinta bersyarat” itu memang tidak terungkap secara eksplisit. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, dalam sikap atau kata-kata, orangtua akan menunjukkan kekecewaan jika anak tidak memenuhi harapan mereka. Misalnya gagal masuk ke sekolah tertentu, atau tak mendapat peringkat tertentu di kelas.

Jadi, dalam pola asuh seperti ini, anak tidak diberi kesempatan untuk memilih. Bukan kebahagiaan anak yang ditekankan, tetapi anak justru dijadikan alat untuk mengisi kebutuhan orangtua akan kebanggaan diri.

Salah satu alasan mengapa tidak sedikit orangtua yang mengasuh dengan “cinta bersyarat” ini adalah kuatnya pengaruh nilai-nilai lingkungan yang senantiasa mengaitkan makna kesuksesan dengan prestasi (berbentuk sertifikat, gelar), kedudukan (berupa jabatan), atau prestasi materialism (kekayaan berwujud sederet mobil mewah atau rumah megah).

Sadar atau tidak, orangtua umumnya lalu mendorong anaknya masuk ke sekolah terbaik, mendapatkan peringkat tertinggi dan sebagainya. Karena itu, dalam banyak keluarga, anak dibesarkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan guna mendapatkan pengakuan dari lingkungan.

Pendidikan dan pengasuhan anak tidak diarahkan pada kemampuan anak mengenal kebutuhan pribadinya. Bisa dikatakan pola asuh cinta bersyarat membuat anak tidak terbiasa mengenal perasaannya. Emosinya. Akibatnya, anak miskin dalam perkembangan inteligensi dan kecerdasan emosinya tidak seimbang yang dapat menimbulkan perilaku-perilaku ekstrem. Seperti Melissa tadi.

Baca Juga: Aktivitas Fisik Tingkatkan Prestasi Akademik

Acuannya perasaan

Apa yang bisa orangtua lakukan agar pola asuh cinta bersyarat tidak menjerat masa depan si anak? Orangtua memang tidak bisa mengubah sistem pendidikan yang sudah ada. Dalam kondisi demikian, pihak orangtua yang mesti pandai-pandai membina, memupuk harga diri anak melalui sistem pendidikan yang menekankan pada cinta tak bersyarat.

Untuk itu, orangtua perlu mengenal kebutuhan dasar mereka, mulai dari kebutuhan biologis (makan, minum, dan seks - ketika dewasa) hingga kebutuhan akan rasa aman, baik fisik maupun psikologis. Rasa aman fisik bisa dijamin misalnya dengan memiliki rumah yang tidak bocor, pintu rumah bisa dikunci, dsb. Rasa aman psikologis dapat dijamin misalnya dengan menerima anak apa adanya.

Meskipun berbuat kekeliruan, anak tetap diterima sebagai seorang anak. Perbuatan keliru itu mungkin karena dia sedang mencari mekanisme untuk berkiprah yang sesuai dengan dirinya. Yang juga perlu disadari, anak tidak harus serta-merta sama dengan orangtua mereka dalam berbagai hal. Ketika anak sudah merasa diterima apa adanya, secara psikologis dia akan merasa aman.

Ambil contoh, semisal anak mendapat nilai 8, orangtua tidak sepatutnya menyatakan bahwa anak lain bisa mendapatkan angka 9 sambil mengharapkan anak meningkatkannya pada semester berikutnya. Sikap itu sebenarnya merupakan penolakan orangtua.

Akan lebih bijaksana kalau justru ditanya apakah hasil itu sudah memuaskan atau membahagiakan diri si anak. Ingat, keberhasilan hidup bukan cuma dari angka yang diperoleh di setiap mata pelajaran.

Sikap empati, mau menghayati perasaan anak, hendaknya diberikan orangtua dalam mendidik anak. Perasaan merupakan indikasi seseorang butuh atau tidak butuh sesuatu. Kalau anak terlihat sedih, artinya dia membutuhkan kedekatan, kehangatan. Kalau perasaannya bahagia, berarti kebutuhannya sudah terpenuhi. Kalau anak tampak bingung, mungkin pilihan di hadapannya tidak ada yang sesuai.

Jadi, yang menjadi acuan dalam pendidikan atau pengasuhan yang baik adalah perasaan si anak, bukan tuntutan lingkungan.

Baca Juga: Terkenal Sangat Disipilin, Ternyata Seperti Inilah Cara Orang Jepang Mendidik Anaknya

Tidak mudah menilai

Mengetahui perasaan merupakan rumus dasar pertama. Rumus dasar lainnya adalah sikap untuk tidak mudah menilai. Penerapannya begini. Semisal sepulang sekolah anak mengungkapkan kekesalannya pada seorang temannya karena ia dinilai sebagai anak sombong.

Bagaimana reaksi kita sebagai orangtua? Kurang bijaksana kalau kita kemudian memberikan penilaian atau konfirmasi dengan mengatakan, “Coba deh kamu bergaul yang baik. Kamu enggak boleh sombong.” Atau, “Mungkin kamu memang sombong!”

Reaksi seperti itu sebenarnya kurang tepat. Sebaiknya kita menanyakan perasaan atau penghayatan dia terhadap situasi itu, misalnya dengan menanyakan, “Jadi, kamu kecewa, ya?”, atau “Bagaimana perasaanmu?” Setelah diajak mengenal perasaannya dan mengungkapkannya, anak kemudian diajak memilih mana yang tepat dari perasaan-perasaan itu untuk mengubah perasaan negatif menjadi positif.

Rasa bersalah atau kecewa merupakan perasaan negatif. Tugas orangtua adalah mengubah perasaan itu menjadi positif, misalnya merasa puas atau bisa diterima oleh teman. Caranya, umpamanya dengan menceritakan pengalaman baik serupa yang pernah dialami orang tua.

Untuk memperkaya emosi anak, orangtua juga bisa memberi kesempatan kepada anak untuk mencicipi kegiatan yang dia inginkan, misalnya di bidang music atau olahraga. Melalui kegiatan berkesenian dan olahraga anak bisa berlatih mengolah perasaan dan memupuk sportivitas.

Berhasil atau tidak, kalah atau menang tidak perlu dipermasalahkan. Lagi pula, tidak semua pecatur bisa jadi Grand Master macam Utut Adianto. Yang penting, anak telah diberi kesempatan untuk mencicipi (menghayati). Kalau tidak pernah mencoba, kehidupan emosinya jadi kering, miskin.

Dengan kesempatan untuk mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan, kehidupan emosi anak akan diperkaya. Tanpa dituntut untuk memenuhi harapan lingkungan, termasuk orangtua, anak juga akan merasa diterima apa adanya.

Kasih sayang yang dia terima tak lagi dirasakan sebagai bersyarat. Melissa pun tak harus lari ke panggung striptease.