Find Us On Social Media :

Wahai Pasangan Muda, Cinta Bersyarat Tumpulkan Kecerdasan Emosi Anak

By Agus Surono, Sabtu, 15 Juni 2019 | 08:30 WIB

Cinta bersyarat tumpulkan kecerdasan emosi.

Cinta bersyarat” itu memang tidak terungkap secara eksplisit. Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, dalam sikap atau kata-kata, orangtua akan menunjukkan kekecewaan jika anak tidak memenuhi harapan mereka. Misalnya gagal masuk ke sekolah tertentu, atau tak mendapat peringkat tertentu di kelas.

Jadi, dalam pola asuh seperti ini, anak tidak diberi kesempatan untuk memilih. Bukan kebahagiaan anak yang ditekankan, tetapi anak justru dijadikan alat untuk mengisi kebutuhan orangtua akan kebanggaan diri.

Salah satu alasan mengapa tidak sedikit orangtua yang mengasuh dengan “cinta bersyarat” ini adalah kuatnya pengaruh nilai-nilai lingkungan yang senantiasa mengaitkan makna kesuksesan dengan prestasi (berbentuk sertifikat, gelar), kedudukan (berupa jabatan), atau prestasi materialism (kekayaan berwujud sederet mobil mewah atau rumah megah).

Sadar atau tidak, orangtua umumnya lalu mendorong anaknya masuk ke sekolah terbaik, mendapatkan peringkat tertinggi dan sebagainya. Karena itu, dalam banyak keluarga, anak dibesarkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan guna mendapatkan pengakuan dari lingkungan.

Pendidikan dan pengasuhan anak tidak diarahkan pada kemampuan anak mengenal kebutuhan pribadinya. Bisa dikatakan pola asuh cinta bersyarat membuat anak tidak terbiasa mengenal perasaannya. Emosinya. Akibatnya, anak miskin dalam perkembangan inteligensi dan kecerdasan emosinya tidak seimbang yang dapat menimbulkan perilaku-perilaku ekstrem. Seperti Melissa tadi.

Baca Juga: Aktivitas Fisik Tingkatkan Prestasi Akademik

Acuannya perasaan

Apa yang bisa orangtua lakukan agar pola asuh cinta bersyarat tidak menjerat masa depan si anak? Orangtua memang tidak bisa mengubah sistem pendidikan yang sudah ada. Dalam kondisi demikian, pihak orangtua yang mesti pandai-pandai membina, memupuk harga diri anak melalui sistem pendidikan yang menekankan pada cinta tak bersyarat.

Untuk itu, orangtua perlu mengenal kebutuhan dasar mereka, mulai dari kebutuhan biologis (makan, minum, dan seks - ketika dewasa) hingga kebutuhan akan rasa aman, baik fisik maupun psikologis. Rasa aman fisik bisa dijamin misalnya dengan memiliki rumah yang tidak bocor, pintu rumah bisa dikunci, dsb. Rasa aman psikologis dapat dijamin misalnya dengan menerima anak apa adanya.

Meskipun berbuat kekeliruan, anak tetap diterima sebagai seorang anak. Perbuatan keliru itu mungkin karena dia sedang mencari mekanisme untuk berkiprah yang sesuai dengan dirinya. Yang juga perlu disadari, anak tidak harus serta-merta sama dengan orangtua mereka dalam berbagai hal. Ketika anak sudah merasa diterima apa adanya, secara psikologis dia akan merasa aman.

Ambil contoh, semisal anak mendapat nilai 8, orangtua tidak sepatutnya menyatakan bahwa anak lain bisa mendapatkan angka 9 sambil mengharapkan anak meningkatkannya pada semester berikutnya. Sikap itu sebenarnya merupakan penolakan orangtua.

Akan lebih bijaksana kalau justru ditanya apakah hasil itu sudah memuaskan atau membahagiakan diri si anak. Ingat, keberhasilan hidup bukan cuma dari angka yang diperoleh di setiap mata pelajaran.