Find Us On Social Media :

Pernah Hidup Bersama Tanpa Menikah, Andi Soraya Jadi Saksi untuk Steve Emmanuel: Ini Hukum Kumpul Kebo di Indonesia

By Ade S, Jumat, 17 Mei 2019 | 17:30 WIB

Andi Soraya, Steve Emmanuel dan kedua putranya

Intisari-Online.com - Sidang penyalahgunaan narkoba yang melibatkan aktor Steve Emmanuel akan menghadirkan sosok Andi Soraya.

Kehadiran Andi diharapkan oleh pihak Steve dapat meringankan tuntutan hukuman mati yang diarahkan kepadanya setelah dirinya ditangkap membawa kokain seberat 92,04 gram pada 21 Desember 2018.

Andi Soraya sendiri sebelumnya diketahui pernah tinggal serumah dengan Steve Emmanuel tanpa ikatan pernikahan selama 11 tahun.

Meski belakangan Andi mengaku dirinya dan Steve hidup bersama karena sudah melakukan nikah siri, banyak pihak tetap meyakini bahwa 'kumpul kebo' selama 11 tahun.

Baca Juga: Steve Emmanuel Terancam Hukuman Mati: Ini Kata-kata Terakhir Terpidana Mati Paling Populer, Salah Satunya 'Cium Bokongku'

Istilah 'kumpul kebo' sendiri digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pasangan pria dan wanita yang tinggal serumah, juga melakukan hubungan intim, tanpa ikatan pernikahan.

Sebagian besar masyarakat Indonesia dengan budaya ketimurannya jelas sangat menolak praktik kumpul kebo ini.

Tak jarang kita melihat berita tentang warga masyarakat yang 'mengerebek' pasangan yang diduga telah 'kumpul kebo'.

Namun, apakah pelaku praktik kumpul kebo bisa dihukum secara pidana? Lebih jauh, bolehkah masyarakat 'menggerebek' dan memaksa menikah pasangan yang diketahui telah 'kumpul kebo'?

Baca Juga: Steve Emmanuel Terancam Hukuman Mati: Inilah Bukit Nirbaya, Lokasi Eksekusi Mati para Tahanan di Nusakambangan

Terkait dengan hukum mengenai 'kumpul kebo', Indonesia pada dasarnya tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang melarang pasangan pria-wanita yang sudah dewasa untuk hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

Kondisi ini pun pernah memicu seorang Guru Besar IPB, Euis Sunarti, bersama sejumlah pihak untuk meminta adanya sanksi pidana untuk pelaku asusila, termasuk kumpul kebo, pada 2016.

Euis dan rekan-rekan memohon Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan uji materi terhadap Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Lalu seperti apa hasilnya? Berikut ini uraiannya, seperti dilansir dari kompas.com.

Menurut MK, pada 2017, pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.

 

 

MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Dalam pertimbangannya MK menjelaskan, pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.

Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana.

Baca Juga: Steve Emmanuel Terancam Hukuman Mati: Kengerian di Ujung Ajal, Ini Detik-detik Saat Orang Menjalankan Hukuman Mati

Artinya secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

Hakim MK Maria Farida mengatakan, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR.

Menurut Maria, MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana.

"Produk hukum pidana lahir dari kebijakan pidana atau politik hukum pidana pembentuk undang-undang. MK tidak boleh masuk wilayah politik hukum pidana," tutur Maria dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).

Maria menjelaskan, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy).

Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK, sebab hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang.

Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang.

Pembatasan hak dan kebebasan, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.

Baca Juga: Steve Emmanuel Terjerat Barang Haram Ini, Nyatanya Kompeni Dulu Pernah Melegalkan Madat di Indonesia

"Maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus datang dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui putusan hakim atau pengadilan," tutur Maria.

"Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang," ucapnya.

Namun dari sembilan hakim MK terdapat empat hakim yang memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion atas putusan tersebut, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams dan Aswanto.

Menurut mereka, dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery (perselingkuhan) dan fornication (hubungan seksual di luar nikah), Mahkamah tidak menjadi "positive legislator” atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana, melainkan mengembalikan kembali konsep zina sesuai dengan nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Steve Emmanuel Terancam Hukuman Mati: Hukuman Gantung Menjadi Hukuman Mati yang Paling Unggul, Tapi Ada Bedanya dengan Orang yang Gantung Diri

Bolehkah masyarakat 'menggerebek' pelaku kumpul kebo?

Lalu, jika tidak ada sanksi pidana, bagaimana dengan aksi masyarakat yang kerap menggerebek tempat tinggal pasangan kumpul kebo? 

Dalam sebuah artikel di hukumonline.com, ahli hukum pidana Letezia Tobing pernah memberi penjelasan bahwa tindakan penggerebekan tersebut dianggap melanggar.

Pelaku penggerebekan dapat dituntut pasal 335 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Baca Juga: Terancam Hukuman Mati, Steve Emmanuel Diduga 10 Tahun Terlibat Jaringan Narkoba Internasional