Penulis
Intisari-Online.com –Kabar tentang Gisel yang menggugat cerai Gading tengah menjadi perbincangan.
Banyak yang menyayangkan karena menilai pasangan ini dikenal sangat harmonis.
Konon, singgasana Tuhan di langit berguncang setiap kali ada suami-istri yang bercerai.
Dia murka karena manusia memutus “sesuatu yang dipersatukan oleh Tuhan dan tidak boleh diceraikan oleh manusia”.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading, Ini 8 Alasan Istri Memilih Ceraikan Suaminya
Jika gambaran ini sungguh-sungguh terjadi, entah bagaimana hebatnya guncangan singgasana Tuhan saat ini. Mungkin seperti gempa tiada henti.
Data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama menyatakan bahwa tingkat perceraian di Indonesia tiap tahun selalu meningkat.
Menurut data terakhir, angkanya mencapai 10%. Artinya, 1 dari 10 pasangan berakhir cerai.
Tanpa melihat data statistik pun sepertinya kita sudah mafhum dengan fakta ini. Berita cerai kini makin sering masuk ke ruang keluarga.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Pasca Perceraian, 5 Artis Ini Dapat Hak Asuh Anak
Jika diuraikan lebih rinci, penyebab utama perceraian (51%) adalah masalah ekonomi, seperti suami lari dari tanggung jawab. Penyebab kedua (32%) adalah ketidakharmonisan—perselisihan yang terus-menerus dan tidak bisa didamaikan lagi.
Penyebab ketiga (11%) masalah orang ketiga, selingkuh, cemburu, dan poligami yang tidak sehat. Selebihnya adalah penyebab-penyebab kecil yang persentasenya tidak begitu banyak.
Dari data di atas, kita bisa melihat, sepertinya ada banyak faktor yang menyebabkan erceraian.
“Tapi jika diringkas, sebetulnya penyebab utama perceraian, berdasarkan pengamatan saya, tak jauh-jauh dari persoalan uang dan seks,” kata Latief Nasution, konsultan hukum keluarga yang sudah sembilan tahun mengkhususkan diri sebagai pengacara perceraian di Jakarta.
Baca Juga : Mengapa Tagar Save Gempi Ramai? Karena Anak Memang Korban Terbesar Perceraian
Ya, uang dan seks, dua kata yang sering menjadi sumber bencana di mana-mana.
Latief menggambarkan, sekitar 55% alasan cerai kliennya adalah masalah ekonomi. Lebih spesifik lagi, umumnya istri bekerja sementara suami tidak bekerja atau berpenghasilan lebih rendah.
“Mungkin istri pulang kerja, capek, lihat suaminya enggak ngapa-ngapain, cekcok, lalu suami main kasar,” kata Latief memberi contoh. Sekitar 35% lainnya karena masalah perselingkuhan.
“Mungkin suami punya banyak duit, tidak puas dengan istrinya, lalu mencoba-coba ’jajan’ di luar, kurang tantangan, lalu affair,” ia melanjutkan.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ini 6 Cara Terbaik Bicarakan Masalah Cerai Kepada Anak
Sisanya faktor lain-lain, seperti suami sakit, istri mandul, masalah kepribadian, dan sebagainya. “Tapi masalah-masalah lain ini biasanya hanya merupakan buntut. Masalah utamanya tetap uang dan seks,” katanya.
Latief mengaku, 99% klien perempuan yang datang kepadanya adalah pekerja. Mereka berpenghasilan dan mandiri, tidak tergantung sepenuhnya pada suami.
“Selama sembilan tahun praktik, saya hanya pernah menjumpai dua orang yang seratus persen menjadi ibu rumah tangga,” katanya.
Pengamatan Latief mungkin tidak bisa digunakan untuk generalisasi lebih luas karena kliennya kebanyakan berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas di kota besar macam Jabodetabek.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Siapa yang Lebih Berhak Atas Hak Asuh Anak Setelah Perceraian di Mata Hukum?
Tapi ini setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa perceraian adalah masalah yang setiap saat mengintai kita. Sebab, masalah uang dan seks adalah problem keseharian kita dalam rumah tangga.
Konflik dengan keluarga besar
Psikolog keluarga Anna Surti Ariani punya cerita lain lagi. Dalam pengamatan Nina, panggilan akrab Anna, salah satu faktor penyebab ketidakharmonisan itu adalah konflik dengan keluarga pasangan seperti mertua, kakek, nenek, tante.
Di Indonesia, keluarga besar termasuk faktor sangat penting bagi keharmonisan suami istri. Ini berbeda dari sistem sosial di masyarakat Barat.
Baca Juga : Cerai Boleh-boleh Saja, tapi Jangan Biarkan Anak Bak Layang-layang Oleng
Di sana, seseorang harus hidup mandiri sejak usia 20-an tahun. Sementara di sini, seseorang yang sudah menikah dan punya anak pun masih sering tinggal di “Graha Mertua”.
Kalaupun tidak tinggal serumah, keluarga mertua biasanya masih ikut campur dalam urusan rumah tangga.
Nina juga mengamati, kini orang makin mudah memutuskan bercerai hanya karena masalah-masalah kecil yang, dalam ungkapannya, “Yaelah, cuma gitu doang.”
Banyak di antaranya baru menikah beberapa tahun. Usia pernikahannya kadang bahkan lebih singkat daripada lamanya pacaran. “Saya sudah berulang-ulang bilang agar suami saya berhenti merokok, tapi dia enggak mau dengar,” kata Nina menirukan salah alasan kliennya.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ini Usia Perkawinan yang Rawan Perceraian
Rokok memang bisa menjadi masalah serius, tapi tingkat keseriusannya jelas tidak layak dijadikan alasan cerai.
“Budaya instan membuat orang tidak sabaran dalam menghadapi masalah rumah tangga. Tidak sabar menjalani proses. Maunya, pasangan berubah seketika sesuai kemauannya,” kata Nina.
Anak Paling Menderita
Nina mengingatkan, perceraian bukanlah akhir dari ketidakbahagiaan. Bisa saja sehabis bercerai, masalah menjadi lebih kompleks. Kelihatannya masalah selesai, padahal justru menjadi lebih ruwet. Yang sudah pasti menderita adalah anak—jika memang ada.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ternyata Perceraian Berdampak Buruk Bagi Kesehatan Pria
“Bagi orangtua, perceraian itu mungkin hanya satu babak dalam hidupnya. Tapi bagi anak, perceraian orangtuanya akan berpengaruh terhadap keseluruhan hidupnya,” katanya.
Setelah hakim mengetok palu, biasanya keputusan cerai diikuti oleh keputusan mengenai hak asuh anak. Sebagian besar hak asuh anak jatuh ke pihak ibu sementara pihak ayah diwajibkan memberi nafkah bulanan buat si anak itu lewat ibunya.
Ia berhak bertemu anaknya pada waktu-waktu tertentu. Pada kenyataanya, pengaturan hak dan kewajiban ini tidak berjalan baik. Mungkin pihak ayah tidak memberikan nafkah yang sesuai, lalu si ibu mempersulit mantan suaminya bertemu anaknya. Lalu anak diculik sana-sini.
Mengutip penelitian, Nina mengatakan bahwa anak-anak dari keluarga cerai punya kemungkinan lebih besar mengalami masalah di sekolah maupun di rumah. Mereka bisa menjadi anak yang minder.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Perceraian Orangtua Akan Berdampak pada Hubungan Cinta Anak di Masa Depan
Kalau laki-laki, mereka mungkin menjadi biang onar di sekolah. Kalau perempuan, mereka mungkin menjadi korban hamil muda di luar nikah.
Saat perceraian, seluruh hidup anak dipertaruhkan. Bagi kita, orang dewasa, masalah-masalah seperti ini mungkin luput dari pertimbangan saat memutuskan bercerai.
“Saya mengasuh majalah remaja, banyak sekali menerima keluhan remaja mengenai orangtua mereka yang bercerai. Orangtua mungkin tidak sadar, tapi itu masalah yang sangat besar bagi si anak,” ucapnya.
Jadi, kalau kita bilang bahwa kita memutuskan bercerai karena sayang anak, maka pernyataan itu harus diuji ratusan kali. Bila perlu, ribuan kali.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ternyata Terlalu Mesra Saat Menikah Merupakan Salah Satu Penyebab Perceraian!
Nina mengamati, orang yang berasal dari keluarga cerai punya kemungkinan lebih besar untuk juga bercerai. Penjelasannya tentu saja bukan hukum Mendel tentang pewarisan sifat genetik. Ini lebih ke pembentukan pola pikir.
Seorang anak yang dibesarkan di dalam keluarga cerai akan memiliki banyak persepsi buruk tentang lembaga pernikahan. Akibatnya, ketika dihadapakan pada konflik rumah tangga, ia pun dengan mudah memutuskan cerai.
Manfaat bertengkar
Kalau kita bertengkar lalu berhasil menyelesaikan masalah itu, maka kualitas hubungan bisa justru menjadi lebih baik. Syaratnya, konflik itu harus diusahakan solusinya, bukan dibiarkan saja.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Simak 5 Tips Ini Agar Anak Tak Jadi Korban saat Orangtuanya Bercerai
Nina membuktikan sendiri hal itu di rumah tangganya. “Tidak semua perjalanan hidup keluarga kami indah bagaikan dongeng,” katanya.
Terakhir ia dan suaminya pun menghadapi masalah yang tidak terpecahkan selama dua tahun. Masalah yang sangat berat. Tapi begitu masalah itu berhasil diselesaikan, mereka justru bisa menjadi lebih harmonis.
Intinya, konflik harus diusahakan solusinya dulu sebisa mungkin. Perceraian mestinya menjadi opsi terakhir ketika semua jalan buntu.
Apakah itu berarti perceraian selalu buruk? Tidak. Pada kondisi tertentu, bercerai bisa saja lebih baik daripada tetap bersatu. Inilah alasan mengapa perceraian termasuk sesuatu yang halal—meskipun dibenci oleh Tuhan.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: 7 Tipe Suami yang Bikin Istri Ingin Bercerai
Jika istri terus-menerus menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya, maka dalam kondisi itu pernikahan lebih baik diakhiri.
Begitu juga jika salah satu pihak menderita gangguan kejiwaan berat yang membuat pasangannya menderita permanen. Namun perlu dicatat, keputusan bercerai mestinya hanya diambil ketika semua cara damai menemui jalan buntu.
“Hakim hanya memutuskan cerai jika memang manfaatnya dianggap lebih besar daripada mudaratnya, setelah proses mediasi gagal,” kata Yusran Sitanggang, hakim yang kini menjabat Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Karena kompleksnya masalah perceraian, Nina menegaskan, “Pernikahan harus diselamatkan justru sebelum dimulai.”
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ternyata Istri yang Menggugat Cerai Juga Bisa Mendapat Harta, Asal...
Bagaimana caranya? Kenali calon pasangan seutuhnya. Inilah gunanya masa penjajakan. Bukan sekadar untuk “yayang-yayangan”. Kenali keluarganya, teman-temannya, lingkungan kerja, sampai tabiat-tabiat buruknya.
Pada saat masa pendekatan, orang cenderung menunjukkan yang baik-baik saja. Wajar saja, namanya juga sedang ada maunya. Justru di sinilah tugas kita untuk mengenali calon pasangan secara utuh, baik dan buruknya.
Setelah kita mengenal pasangan dengan baik, lalu kita memutuskan menikah dengannya, logikanya kita harus bersedia menerima dia apa adanya. Ini konsekuensi logis dari pilihan sadar yang kita buat.
Di situlah letak seni pernikahan, menerima seseorang seutuhnya sebagai satu paket, termasuk kekurangan-kekurangannya.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading, Ini 8 Alasan Istri Memilih Ceraikan Suaminya
“Kalau pacarannya beres, paling tidak lima tahun pertama pernikahan biasanya beres. Kalau belum lima tahun sudah mau cerai, kemungkinan masa pacarannya enggak bener,” kata Nina berpendapat.
Resep anticerai filsuf Socrates mungkin bisa menjadi mantra sakti buat kita, “Menikahlah. Bila kamu mendapat pasangan yang baik, kamu akan bahagia. Bila kamu mendapat pasangan yang tidak baik, setidaknya kamu bisa menjadi filsuf.” (Ditulis oleh M. Sholekhudin, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 2011)
Baca Juga : Seorang Suami Menceraikan Istrinya Setelah Melihatnya Berpelukan dengan Pria Lain Melalui Google Maps