Advertorial
Intisari-Online.com – Pada Rabu (21/11/2018) kemarin, publik dikejutkan dengan berita dari pasangan selebritas Indonesia, Gisella Anastasia dan Gading Marten.
Dilaporkan Gisel menggugat cerai Gading.
Bahkan dilansir darikompas.compada Rabu pagi, gugatan tersebut bahkan sudah diakui oleh pihak PN Jakarta Selatan dengan nomor perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (908/Pdt.G/2018/PN JKT/SEL).
Hingga berita ini diturunkan, belum ada informasi mengenai alasan Gisel menggugat cerai Gading.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading, Ini 8 Alasan Istri Memilih Ceraikan Suaminya
Seperti yang kita tahu, pasangan yang menikah di Bali pada 14 September 2013 lalu jauh dari gosip dan selalu terlihat mesra.
Belum lagi, mereka dikarunia anak perempuan yang lucu, bernama Gempita Nora Marten.
Jika nantinya sudah resmi bercerai, lantas dengan siapakah Gempi, panggilan akrab Gempita, akan tinggal?
Sebenarnya, siapa yang lebih berhak atas hak asuh anak setelah suatu perceraian terjadi di mata hukum?
Hak asuh anak bila terjadi perceraian telah diatur di beberapa pasal dalam undang-undang.
Mengutipadvokatperceraian.com seperti dikutip dari Intisari Online pada Selasa (27/3/2018) di antaranya adalah pasal 45 ayat (2), pasal 98, dan pasal 105.
Baik ibu atau ayah, semuanya memilik peluang yang sama untuk mengasuh anak.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Simak 5 Tips Ini Agar Anak Tak Jadi Korban saat Orangtuanya Bercerai
Keputusan akhir jatuh pada siapa hak asuh atas anak sepenuhnya ada di tangan hakim, didasarkan pada beberapa pertimbangan, mislanya aspek psikologi dan sosial.
Pendekatan psikologi dimaksudkan agar hakim memahami kondisi anak, bukan sekedar dari umurnya melainkan juga kematangan psikologinya.
Jika anak dirasa sudah matang secara psikologi, ia termasuk mumayyiz.
Ikatan emosional antara anak dan orangtua juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menentukan hak asuh anak.
Apabila kondisi orangtu tidak baik, jelas tidak akan mampu untuk merawat anaknya.
Dikhawatirkan kondisi tersebut akan memperburuk kondisi anaknya yang telah lebih dulu terguncang dengan perceraian orangtuanya.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana dalam Pasal 105 menetapkan 3 hal mengenai hak asuh anak jika terjadi perceraian.
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Perceraian Orangtua Akan Berdampak pada Hubungan Cinta Anak di Masa Depan
Meski telah secara jelas dalam dalam pasal 105 (a) KHI bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) menjadi hak ibunya, hakim dapat melakukan disreksi.
Disreksi memungkinkan mencabut hak asuh anak atas ibunya bila selama persidangan perceraian ada fakta-fakta buruk tentang si ibu.
Misalnya saja jika ibu tersebut adalah pemabuk, penjudi, ringan tangan, yang berisiko akan berdampak buruk pada anaknya.
Dalam kondisi tersebut, hak asuh anak akan jatuh pada ayahnya.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ternyata Perceraian Berdampak Buruk Bagi Kesehatan Pria