Advertorial

Cerai Boleh-boleh Saja, tapi Jangan Biarkan Anak Bak Layang-layang Oleng

Adrie Saputra
K. Tatik Wardayati
,
Adrie Saputra

Tim Redaksi

Perceraian terkadang tidak bisa dihindarkan. Namun, sebaiknya bercerai dengan baik-baik dan jangan menjadikan anak sebagai korbannya.
Perceraian terkadang tidak bisa dihindarkan. Namun, sebaiknya bercerai dengan baik-baik dan jangan menjadikan anak sebagai korbannya.

Intisari-Online.com – Dalam kehidupan perkawinan, perceraian kerap tak bisa dihindarkan.

Seperti halnya gugatan cerai yang dilayangkan oleh Gisel kepada suaminya, Gading.

Sekalipun demikian, psikolog dan penasehat perkawinan sangat menekankan agar perceraian dilakukan dengan baik-baik. Ini semata-mata demi kebaikan perkembangan jiwa anak.

Simak tulisan dari Tabloid NOVA edisi Juli 1989 berikut ini, Cerai Boleh-boleh Saja Asal… Jangan Biarkan Anak Bak Layang-layang Singit.

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian, dra Yaumil Agoes Achir, menemukan anak-anak korban perceraian umumnya berperilaku anti sosial.

Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Simak 5 Tips Ini Agar Anak Tak Jadi Korban saat Orangtuanya Bercerai

Begitu keluar rumah, mereka menunjukkan rasa tidak suka pada orang lain, tidak bisa bekerja sama bahkan melawan aturan-aturan yang sudah mapan.

Perilaku anti sosial ini disebabkan karena adanya rasa takut, cemas dan terancam pada diri si anak. Bagaimana tidak? Setiap hari mereka melihat pertengkaran orangtuanya selama proses perceraian.

Inilah yang paling berbahaya bagi anak-anak. "Mulai umur 3 tahun, seorang anak sudah bisa merasakan hal ini. Makin besar, makin bahaya. Apalagi para remaja," ungkap Yaumil.

Padahal menurut Nani Yamin, konsultan masalah perkawinan, pada kesempatan terpisah, "Tidak sepatutnya anak-anak menjadi korban perceraian orangtuanya. Yang bercerai kan suami dan istri. Bukan anak-anak dengan orangtuanya."

"Jadi sebaiknya anak-anak tidak dilibatkan. Dijadikan rebutan orangtua, misalnya," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga itu.

Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: 7 Tipe Suami yang Bikin Istri Ingin Bercerai

Yang sering terjadi, katanya, orangtua bercerai dan anak-anak jadi rebutan. Malah ada kalanya, pengacara yang diminta jasanya lebih mementingkan ego klien tanpa memikirkan akibatnya pada anak-anak.

"Karena itulah, sering terjadi kekacauan perkembangan pada jiwa si anak," lanjutnya.

Pengorbanan

la mengakui, kadang-kadang perceraian memang sulit dihindarkan. "Bila sepasang suami-istri sudah tidak mungkin bersatu lagi, perceraian bisa diambil sebagai jalan keluar. Dan apa pun yang terjadi, perceraian bisa menjadi jalan terbaik dari keadaan yang paling buruk," tandasnya.

Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Ternyata Istri yang Menggugat Cerai Juga Bisa Mendapat Harta, Asal...

Ia pun tak menolak kenyataan, suatu perceraian memang mengakibatkan adanya pengorbanan. "Tapi apa salahnya kalau pengorbanan itu ditekan agar tidak terlalu besar dan memperluas pihak yang terlibat?" lanjutnya.

"Perceraian," ujar Yaumil, "umumnya memang dimulai dengan banyak pertengkaran dan sengketa. Bahkan sesudah perceraian itu terlaksana, sengketa belum selesai. Ini bisa menjadi contoh buruk bagi anak-anak. Mereka akan meniru kelakuan orangtuanya."

Akibatnya, lanjutnya, "Mereka kehilangan kepercayaan akan makna dan manfaat lembaga perkawinan. Kelak, mereka punya prasangka buruk dan kurang menilai positif terhadap pasangannya. Bahkan ada juga gadis yang tidak mau menikah karena takut kejadian yang menimpa ibunya akan terulang pada dirinya."

Tapi, tentu saja tidak semudah itu. Pengalaman lain pasti ikut mempengaruhi. Misalnya ia melihat keluarga pamannya atau temannya rukun-rukun saja. Kenyataan ini bisa membunuh prasangka buruk dan membuatnya berani berumahtangga.

Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading, Ini 8 Alasan Istri Memilih Ceraikan Suaminya

  • Single parent
Dari kasus-kasus yang ditangani, Yaumil menemukan banyak sekali harapan seorang anak untuk mempersatukan kedua orangtuanya.

"Papa jangan berantem dong sama Mama. Papa jangan pergi, saya kan sayang Papa," Yaumil meniru ucapan seorang anak. "Mereka tidak habis pikir, mengapa ayah atau ibunya harus pergi," lanjutnya.

"Hal lain yang saya lihat dari pasangan yang berselisih dalam proses perceraian ialah suami memburukkan istrinya atau sebaliknya. Tujuannya, tidak lain agar si anak membenci ibu atau ayahnya. Ini tidak baik," tambahnya.

Baca Juga : Adopsi Anak Secara Ilegal, MN: Saya Takut Suami Marah dan Ceraikan Saya

Menurut Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Anak dan Remaja Indonesia ini, suami istri boleh saja berselisih. Tapi jangan di depan anak. Terhadap anak, mereka harus menunjukkan sikap yang baik, supaya anak pun punya rasa hormat kepada orangtuanya.

Proses perceraian saja sudah bahaya. Apalagi perceraian itu sendiri. "Perceraian bukan pemecahan yang baik," tegas Yaumil.

Dalam pertumbuhannya, anak laki-laki perlu figur seorang ayah atau tokoh idola maskulin untuk mengembangkan diri. Tentu hal ini tidak diperoleh jika ia hanya tinggal dengan ibunya.

Sama saja jika si ibu pergi meninggalkan rumah. Kehangatan dan kasih sayang seorang ibu tidak ia dapatkan. Apalagi bagi seorang anak perempuan.

Baca Juga : Artis Nadya Almira Tolak Cerai meski Suaminya Nikah Lagi, Ini 5 Alasan Istri Pilih Bertahan Walau Sakit Hati

"Pokoknya, single parent nggak akan sempurna, deh," lanjut Yaumil.

  • Layangan oleng
Untuk menghindarkan hal itu, Nani menganjurkan, "Perceraian sebaiknya dilakukan dengan kepala dingin."

"Dan jangan langsung memutuskan anak-anak akan ikut siapa."

"Biarkan mereka tetap merasa memiliki kasih sayang dari kedua orangtuanya."

"Caranya, izinkanlah mereka tinggal secara bergiliran dengan ayah dan ibunya. Dengan demikian, anak-anak tidak langsung merasakan kehilangan sosok orangtuanya."

Baca Juga : Seorang Suami Menceraikan Istrinya Setelah Melihatnya Berpelukan dengan Pria Lain Melalui Google Maps

Menurut Yaumil, anak-anak korban perceraian biasanya punya tanda tanya besar. "Kok ayah saya punya istri baru. Atau ibu saya kok ada dua. Dia lihat ayahnya kok kawin lagi."

"Siapa wanita yang sekarang tinggal bersama ayahnya? Dan kenapa saya harus memanggil ibu juga kepada wanita itu?"

"Ada kalanya pula anak justru merasa tidak dimiliki dan dikehendaki di mana-mana. Ibu atau ayah baru tidak menginginkannya. "Akibatnya, mereka seperti layangan singit (oleng)," ujar Yaumil.

Karena itulah, ungkap Nani, "Kalau sejak awal mereka tidak langsung kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya, mereka akan menganggap perceraian sebagai masalah biasa dan dapat diatasi dengan baik."

Baca Juga : Angel Lelga Dikabarkan Gugat Cerai Vicky Prasetyo, Ini 7 Jenis Suami yang Bikin Istri Ingin Bercerai

Dengan begitu, seandainya ayah atau ibunya akhirnya menikah lagi, mereka tidak kaget. Mereka justru senang jumlah saudaranya bertambah.

Perceraian memang pahit. Karena itu, "Apa salahnya kalau dilakukan dengan manis? Bukankah dulu semasa menikah diliputi perasaan cinta?"

  • Keleleran
Akibat lain dari perceraian ialah, seorang anak menarik diri dari pergaulan, karena merasa ada yang kurang pada dirinya. Ia membandingkan dirinya dengan teman-temannya.

Baca Juga : Cara Unik Penggemar Putri Diana 'Balas Dendam' Agar Charles 'Menyesal' Telah Menceraikan Sang Putri

Kok beda ya, sama saya. Dia punya bapak, saya enggak. Atau dia punya ibu, saya enggak.

Apakah ada akibat lain di luar segi psikologis, misalnya mengenai kecerdasan anak?

"Selama ini tidak ada penelitian mengenai hal itu. Tetapi bisa diduga, andaikata salah satu orangtua tidak ada, yang lain akan setengah mati mengurus anak."

"Misalnya ayah tidak ada, ibu cenderung bekerja keras untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk memperhatikan anak."

"Inilah yang mengancam mereka. Tidak ada yang mendorong mereka belajar. Jadinya cuma keleleran," jawab Yaumil.

Banyak sekali akibat negatif dari perceraian bagi seorang anak.

Namun, bisa terjadi anak yang demikian justru ulet belajar dan prihatin dalam hidup, sayang pada ibu atau ayah yang merawatnya hingga dewasa.

Baca Juga : Gugat Cerai Sang Istri, Pria Karanganyar Ini Membayar Uang Rp153 Juta Dengan Uang Koin 13 Karung Seberat 890 Kg

Jika menikah, mereka akan hati-hati menjaga perkawinannya, supaya tidak retak. Banyak juga yang jadi sangat sayang pada pasangannya.

"Tapi yang seperti itu tidak banyak. Hanya bisa terjadi jika ibu atau ayah yang mengasuhnya sendirian itu bisa mendidik dengan baik," kata Yaumil.

  • Anak, ikut ibu atau ayah?
Sebagai seorang pengacara yang banyak menangani kasus perceraian, Tumbu Saraswati SH (40) mengakui, anaklah yang paling, menderita akibat perceraian orangtuanya.

Baca Juga : Delon Digugat Cerai Istri karena Tak Kunjung Punya Keturunan: Ini 10 Hal yang Bikin Pasangan Sulit Punya Anak!

Tapi, lanjutnya, "Dalam keadaan terdesak, perceraian justru lebih baik demi perkembangan jiwa anak-anak."

"Pertengkaran yang terus menerus antara suami-istri akan mengakibatkan terganggunya jiwa anak."

Setiap tahun rata-rata Saras menangani 10 kasus perceraian. Sebagian besar perceraian itu akibat adanya pihak ketiga.

"Rata-rata usia pernikahannya antara 5- 20 tahun. Sedang anak-anaknya sebagian besar bersekolah di tingkat SD sampai SMA," sambungnya.

Berdasarkan pengalamannya, anak-anak kliennya yang paling menderita adalah yang masih duduk di SD dan SMP.

"Pada usia anak umumnya sudah tahu adanya percekcokan dalam rumah tangga orangtuanya. Tetapi mereka tidak tahu penyebabnya," tegas Saras.

Anak yang sudah tingkat SMA, biasanya sudah tahu tentang arti perceraian. "Dan umumnya mereka sudah bisa memaklumi keadaan itu,," katanya.

Baca Juga : Keranjingan Dandan dan Pakai Pakaian Dalam Wanita, Pria Ini Diceraikan Istrinya

Di muka persidangan, sebagian besar anak selalu kebingungan bila ditanya akan ikut ayah atau ibunya setelah orangtuanya bercerai.

"Mereka kebanyakan mengatakan, terserah. Akhirnya keputusan diambil sendiri oleh orangtua."

"Ini bisa dimengerti karena sebenarnya mereka masih menginginkan ayah-ibunya tetap bersatu. Tidak ada seorang pun anak yang menginginkan orangtuanya bercerai," tegas Saras.

Sekitar 90 persen klien Saras, anak-anaknya ikut ibu dan sebagian dibagi antara ayah dan ibunya.

"Bila klien saya seorang ibu yang mampu mengasuh sendiri anak-anaknya, saya persilakan mereka mengajukan gugatan agar semua anak mengikutinya."

"Tapi bila dari segi ekonomi kurang mampu, saya sarankan sebagian anak mengikuti ibu, dan yang lain ikut ayahnya," tuturnya.

Baca Juga : Hanya Gara-gara Berdebat Soal Messi dan Ronaldo, Pasangan Suami Istri Ini Bercerai

Meskipun demikian, pada prinsipnya anak-anak itu bebas mengunjungi dan dikunjungi kedua orangtuanya yang telah berpisah.

"Kebetulan sekali semua klien saya tidak mengalami masalah dalam pembagian anak-anak," kata alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Mengenai pemberian nafkah kepada anak-anak pun, umumnya tak ada kesulitan.

"Rata-rata seorang ayah memberikan tunjangan sebesar Rp 250.000 hingga Rp 1 juta per bulan untuk anak-anaknya," lanjut pengacara yang banyak melayani masyarakat kalangan atas itu.

Saras pribadi berpendapat, anak-anak lebih baik ikut ibunya.

"Karena sesibuk apa pun seorang ibu, ia masih akan membagi waktunya untuk anak-anak. Beda dengan seorang ayah. Kalau sudah terlalu sibuk sering lupa kepada anaknya," tambahnya.

Menjelang perceraian, hampir semua kliennya memberitahu dahulu kepada putra-putrinya yang dianggap sudah dewasa.

Baca Juga : Wahai Pecandu Gadget, Wanita Ini Diceraikan Suami di Malam Pertama Karena Sibuk Main Ponsel

Artikel Terkait