Find Us On Social Media :

Jangan Langsung Panik Jika Terkena Serangan Panik, Apalagi ‘Menudingnya’ Sebagai Serangan Jantung

By Ade Sulaeman, Jumat, 20 Oktober 2017 | 12:30 WIB

Intisari-Online.com – Kim Basinger, aktris seksi itu, pernah mengidapnya. Di tengah-tengah kerumunan orang, tiba-tiba keringat mengucur, kaki gemetar, pikiran kalut disertai jantung berdebar-debar.

Penyakit jantung? Jangan buru-buru menuding. Siapa tahu itu cuma gangguan panik, yang penanganannya memerlukan ketekunan tersendiri.

Seorang penderita gangguan panik mengatakan, "Kalau sedang kumat, rasanya dunia berubah serba membingungkan dan menakutkan. Jantung saya deg-degan, kerongkongan terasa tersumbat, dada terasa berat  dan sesak."

Serangan panik berulang kali seperti itu kini menyerang sekitar enam juta penduduk AS. Bahkan menurut National Institute of Mental Health America, sekitar sepertiganya berlanjut ke kelainan agorafobia (takut keluar rumah karena takut keramaian).

(Baca juga: Kabar Baik, Kini Ada Intervensi Non-Bedah Sebagai Solusi Bagi Balita Pengidap Gangguan Jantung)

(Baca juga: Tak Hanya ketika Berolahraga Serangan Jantung Juga Bisa Datang ketika Kita Tidur, Perhatikan 5 Gejalanya)

Insiden gangguan panik di AS memang mencapai 2 - 5% dari populasi, dengan jumlah penderita wanita 2 - 4 kali lebih besar daripada pria.

Selain itu, terjadinya gangguan ini tidak berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi tertentu.  

Serangan pertama  biasanya timbul pada usia remaja (16 -18 tahun), meski ada juga yang di atas usia 30 tahun.

Yang menarik, cukup banyak penderitanya berasal dari kalangan wanita selebriti.

Salah satunya,  Kim Basinger, aktris film Amerika yang pernah memenangkan hadiah Oscar. Bagi aktris yang-sudah pernah bermain lebih dari 30 film  layar lebar dan pertunjukan TV ini, muncul di tengah  kerumunan orang ternyata pernah menjadi tugas yang amat berat.

Dalam suatu wawancara dengan wartawan terkenal Barbara Walters, Basinger mengaku pernah mengalami serangan panik maupun agorafobia sampai selama empat bulan mengurung diri di rumah.

Penderita lain, Beverly Johnson (45), supermodel berdarah campuran Afrika-Amerika, juga mengaku pernah lebih dari 20 tahun menderita gangguan panik cukup serius sampai hampir meninggalkan kariernya.

"Jantung saya sering berdebar, kaki dan lutut pernah demikian bergetar sampai saya hampir tidak bisa berjalan."

(Baca juga: (Video) Aneh Sekaligus Mengerikan, Jantung Anak Perempuan Ini Menonjol Keluar di Dadanya Setiap Kali Tertawa)

(Baca juga: Hati-hati, Perempuan yang Kerap Terserang Migrain Berisiko Terkena Masalah Jantung)

Menurut dr. E. Nugroho yang pernah menangani kasus penderita panik, panik berbeda dengan  rasa cemas biasa.

Orang bisa saja merasa cemas bila menghadapi  ujian, ditagih utang, atau menanti suami yang tak kunjung pulang sampai larut malam.

Namun pada-serangan panik, penderita bisa secara tiba-tiba merasa cemas atau takut tanpa sebab yang jelas.

Kecemasan itu diduga berasal dari dalam tubuh sendiri. Anehnya, dengan infus cairan laktat atau menghirup CO2 5%, gejala panik itu malah akan semakin menjadi.

Takut keluar rumah

Serangan panik yang berlangsung 5 - 20 menit merupakan suatu episode singkat dari rasa takut atau cemas hebat dibarengi beberapa gejala fisik khas, seperti merasa kehabisan napas atau  sesak napas, jantung berdebar, gemetar, pusing, dan mual.

Gangguan yang Iebih berat a.l. merasa tercekik, rasa baal pada kulit, pikiran kehilangan kendali, sampai takut mati; walaupun keadaan fisik tidak apa-apa.

(Baca juga: Wahai Orangtua, Inilah Faktor yang Membuat Bayi Lahir dengan Cacat Jantung Bawaan Seperti Bayi Debora)

(Baca juga: Mulai dari Sesak Napas Hingga Pusing Berlebihan Inilah 7 Tanda Anda Berisiko Terkena Gagal Jantung)

Penderita juga merasa panas dingin, kadangkala ada penderita yang sampai pingsa tanpa sebab jelas.

Setelah serangan ini berlalu, dalam kehidupan sehari-hari penderita masih terus dihantui  perasaan cemas dan terus dalam keadaan waspada.

Mereka yang terkena serangan gejala fisik seperti itu acap kali menyangka dirinya terkena serangan jantung atau penyakit basedow (hipertiroid).

Maklum saja, gejalanya mirip. Maka pergilah mereka ke dokter ahli jantung atau penyakit  dalam. Dokter pun lalu sering terkecoh, mengira pasiennya memang mempunyai kelainan jantung.

Menurut dr. Irmansyah dari RSUPN Ciptomangunkusumo, dalam keadaan normal, seseorang wajar saja mengalami serangan panik apabila ia memang dihadapkan pada situasi mengerikan yang jauh melampaui batas kemampuan untuk mengatasinya.

Serangan panik terbatas yang merupakan serangan awal, biasanya masih mudah diingat dengan  baik oleh penderita.

Gejala yang dikeluhkan hanyalah berkisar pada sering merasa masuk angin atau terkena “setan lewat".   

Awal pencetus serangan panik bisa karena suatu periode kekecewaan, kematian seseorang yang dekat, pertengkaran yang berlarut-larut, trauma karena pelbagai sebab, atau krisis kehidupan lain.

Serangan awal ini jarang diikuti gejala fisiologis seperti penyakit medis atau penyalahgunaan alkohol serta obat-obatan.

Charles Melville, seorang psikiater asal Amerika yang ahli dalam menangani gangguan cemas berkomentar, "Penderita yang tiba-tiba merasa gerah sampai keringat mengucur deras saat tertimpa kemacetan di jalan besar, tidak berpikir penyebab panas mungkin karena AC mati, melainkan langsung  panik dan waswas tentang kesehatan dirinya. Semakin merasa ada ketidakberesan dalam tubuhnya, detak jantung akan semakin keras karena produksi adrenalin semakin banyak. Di sinr terjadi lingkaran setan yang semakin memuncak dalam bentuk serangan panik."

Ganggudn panik dikatakan masih ringan kalau dalam satu bulan terakhir semua serangan masih berupa serangan terbatas (kurang dari empat macam gejala) atau dalam satu bulan tidak lebih dari satu kali serangan.

Dikatakan  sedang, kalau dalam satu bulan terakhir serangan-serangan panik berada antara ringan dan berat.

Sedangkan dikatakan panik berat, kalau dalam  satu bulan terakhir paling tidak terjadi delapan  kali serangan.

Sedangkan tingkat yang lebih parah bila sampai pada gangguan agorafobia yang merupakan gangguan panik tingkat puncak atau ekstrem.

Pada taraf ini penderita mulai takut pergi ke tempat-tempat keramaian walau untuk suatu urusan yang penting sekalipun.

Banyak penderita yang tidak berani lagi melakukan pekerjaan rutin seperti mengendarai mobil, berbelanja, bahkan  muncul di pekarangan rumahnya sendiri!

Hampir 65% penderitanya mengalami depresi, kecemasan tinggi, fobia serta mulai menjadi pencandu minuman atau obat keras.

Soalnya dalam kepanikan yang memuncak penderita merasa tak berdaya, kehilangan kontrol, serta merasa tidak mempunyai penolong bila terjadi sesuatu pada dirinya.

Akibatnya, ia merasa lebih baik tidak ke mana-mana. Kalaupun berani pergi, ia selalu minta ditemani.

Penderita merasa dirinya mengidap penyakit berat, bahkan merasa sedang sekarat.

Jarak waktu yang dilaporkan antara terjadinya gangguan panik dengan terkenanya gangguan agorafobia, hanya tiga hari sampai enam bulan saja.

Jadi bila agorafobia muncul sebagai komplikasi dari gangguan panik, biasanya sudah dapat ter-deteksi dalam waktu maksimal enam bulan. Namun untuk mendiagnosis ragorafobia tentunya perlu kriteria tersendiri.

Agorafobia sendiri terbagi atas tingkat ringan, sedang, dan berat. Dalam taraf ringan, penderita masih dapat hidup normal, hanya baru dalam taraf awal penghindaran kecil-kecilan.

Pada taraf sedang, penghindaran mengakibatkan pembatasan aktivitas  sehari-hari. Misalnya masih berani pergi sendiri tapi jarak terbatas.

Sedangkan taraf berat, penderita sama sekali tidak berani keluar rumah tanpa ditemani.

Nyaris hampir semua (97%) penderita gangguan panik yang berobat pada National Institute of Mental Health  America mengeluh adanya keinginan untuk menghindar begitu timbul serangan panik.

Mereka selalu ingin menghindari tempat-tempat yang diduga bisa menimbulkan serangan panik dan tempat di mana tidak mudah mencari pertolongan bila serangan muncul.

Lift dan eskalator hanya sedikit contoh sarana yang mereka hindari, karena kekhawatiran bakal mendapat serangan di situ, sekalipun hal itu belum pernah terjadi.

Demikian pula pusat perbelanjaan, pasar, restoran, pesta, ruangan tertutup, juga menyeberangi jembatan, memasuki terowongan, naik pesawat, mengendarai mobil, dan perjalanan jauh, semua melengkapi daftar "terlarang" bagi mereka.

Mekanisme saraf rusak?

Ada pendapat, gangguan ini akibat ketidaknormalan produksi  serta fungsi neurotransmiter kimia serotonin dalam otak.

Pendapat lain mengatakan, salah satu bagian otak (nucleus ceruleus) mengeluarkan hormon norepinefrin terlalu banyak.

Akibatnya, jantung terasa berdebar, tubuh gemetar, dll.. Padahal, hormon ini sebenarnya perlu untuk mengaktifkan badan agar berada dalam keadaan siaga.

Namun, dr. E. Nugroho lebih melihat penyebabnya adalah ketidakseimbangan saraf  otonom, yakni sistem saraf simpatis (saraf bangun yang seharusnya dominan di siang hari) dan parasimpatis (saraf tidur yang seharusnya dominan malam hari).

Pada kedua saraf yang fungsi kerjanya berkebalikan ini, terjadi kerusakan mekanisme  yang mengatur perpindahan dari bangun ke tidur maupun sebaliknya.

Akibatnya sistem saraf otonom "bangun" aktif pada waktu malam, dan saraf otonom "tidur" aktif justru pada siang hari.

Pada saat  serangan panik terjadi, saraf tubuh sebenarnya mulai tidur. Bila pada orang normal hal ini ditandai dengan rasa mengantuk, pada pasien panik ditandai dengan serangan panik.

Barbara Rothbaum, seorang ahli gangguan kecemasan, punya pendapat lain lagi, "Gangguan ini merupakan  interaksi antara kecenderungan genetik dengan pengalaman hidup penderita."

Seperti halnya Basinger, sewaktu kecil memang ia penakut dan pemalu. Ia takut ke sekolah sampai-sampai ibunya pernah minta kepada gurunya agar tidak memanggilnya dalam kelas karena demikian pemalunya anak itu.

Ini menandakan kecenderungan ia sudah berbakat terkena gangguan tersebut.

Banyak penderita panik bersifat introvert (tertutup) atau sulit mengeluarkan isi hati. Lagi pula gangguan ini akan sangat mengganggu rutinitas sehari-hari.

Penderita membolos kuliah, mernbolos kerja, sulit bergaul, dll. Hubungan interpersonal pun sering terganggu.

Suami atau istri acap kali kehabisan kesabaran melihat perilaku pasangannya yang tidak wajar. Persoalan semakin runyam bila penderita mulai mempunyai ketergantungan terhadap minuman keras dan obat-obatan.

Berbagai penyebab memang masih merupakan tanda tanya, tetapi pengobatan ditambah terapi secara rutin sangat efektif pada 70-90% penderita.

Obat-obatan anti-depresan seperti Prozac, Paxil, Zoloft, dan Luvox dapat menghilangkan kecemasan. Tetapi tentu harus sesuai petunjuk dokter dan diminum secara rutin.

Hasilnya tidak akan terlihat seketika. Obat penenang dalam batas tertentu dapat pula menolong.

Menurut Irmansyah, ada tiga golongan obat yang digunakan untuk terapi gangguan panik, yakni golongan  antidepresan trisiklik (TCA), monoamin oksidase inhibitor (MAOI), dan golongan benzodiazepin.

Golongan TCA yang sering digunakan adalah imipramin dengan dosis 150 - 300 mg/hari. Dengan obat ini perbaikan yang diharapkan tercapai setelah 4 -6 minggu.

Yang paling sering digunakan adalah phenelzin yang kadang kala dikombinasi dengan imipramin. Untuk menghindari ketergantungan, penggunaan obat-obatan ini harus diawasi dokter.

Terapi kejiwaan yang mengarah ke perilaku kognitif juga dapat membantu mencegah proses pemikiran ke arah serangan panik. Terapi lain, dengan latihan menghadapi kenyataan.

Latihannya a.l. melalui layar televisi/komputer penderita diajak mengalami simulasi pengalaman nyata yang ditakutinya, seperti mengendarai mobil, menerbangkan pesawat, atau mendaki gunung tinggi.

Menurut para peneliti, latihan-latihan semacam itu sedikit demi sedikit membantu menghilangkan rasa takut penderita.

Di samping itu, gizi yang baik serta olahraga yang cukup juga akan membantu. Dianjurkan agar penderita menghindari minuman merangsang seperti kopi, teh, coklat, cola, dan minuman berkafein lain.

Gula, garam, susu, daging merah, daging ayam, serta makanan berkarbohidrat atau berkadar lemak tinggi hendaknya dikurangi.

Latihan relaksasi merupakan salah satu cara menghilangkan ketegangan, antara lain dengan latihan peregangan.

Ternyata, menurut dr. Nugroho, menggeliat dan menguap itu selain amat efektif, aman, dan alami, khasiatnya bisa langsung terasa. Selanjutnya, latihan menarik napas dalam-dalam.

Terapi kelompok juga bisa dicoba melalui pertemuan dengan sesama penderita. Dengan saling berbagi pengalaman, akan tumbuh rasa percaya diri di antara mereka serta membangkitkan keyakinan bahwa ia tidak sendirian.

Untuk agorafobia latihan mengenal lingkungan secara bertahap juga bisa diusahakan. Misalnya berkebun di kebun halaman rumah sambil melihat-lihat keramaian, berjalan-jalan di sekitar rumah saat cuaca cerah, berbelanja di warung terdekat.

Gangguan yang tidak segera ditanggulangi akan semakin memerosotkan kepercayaan diri penderita. la akan menjadi pemurung serta menjauhkan diri dari pergaulan.

Akan lebih sulit lagi kalau ia sudah mengalami depresi, adakalanya sampai kehilangan kepercayaan kepada dokter.

Bagi penderita melakukan terapi secara teratur, berusaha untuk kembali ke kehidupan semula, tidur dan bangun secara teratur sambil mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan kunci menuju kesembuhan.

Gangguan panik maupun agorafobia dikatakan sembuh bila selama enam bulan terakhir tidak lagi dijumpai serangan panik ataupun serangan pahik terbatas.

Telitilah bila salah satu anggota keluarga Anda menunjukkan gejala di atas. Ajaklah ia ke psikiater atau psikolog agar segera dapat ditolong. (Dari pelbagai sumber/Nn)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1999)