Find Us On Social Media :

Referendum Catalunya: Hampir 100 Persen Warga Catalan Ingin Merdeka dari Spanyol

By Moh Habib Asyhad, Senin, 2 Oktober 2017 | 18:15 WIB

“Saya tidak tahu, dunia seperti apa yang ditinggal Puigdemont, tapi demokrasi Spanyol tidak berjalan seperti ini,” kata Saenz de Santamaria. “Kami telah terbesar dari kediktatoran dalam waktu yang lama…”

Jordi Turull mengatakan, 319 dari 2.315 tempat pemungutan suara yang disiapkan untuk referendum ditutup secara paksa oleh kepolisian.

Tidak ingin tinggal di negara fasis

Jesús López Rodríguez, seorang adminstrator berusia 51 tahun, mengajak keluarganya untuk memilih di sekolah Ramon Rull di pagi hari. Seperti ribuan orang Catalan lainnya, mereka mulai antre sejak pukul 05.00 pagi. Tiga setengah jam kemudian, petugas polisi nasional tiba dengan perlengkapan antihuru-hara.

“Mereka bilang kepada kami bahwa pengadilan tinggi Catalunya telah memerintahkan mereka untuk mengambil kotak suara dan kami haru bubar,” ujarnya kepada The Guardian.

(Baca juga: Seberapa Fasis Donald Trump? Begini Cara Merumuskannya)

“Kami berteriak, ‘Tidak! Tidak! Tidak!’ Dan kemudian sekitar 20 petugas polisi menyerbu kami. Sangat singkat—hanya dua menit—dan kami tetap bersama.”

Setelah sekitar 15 menit, dari kesaksian Rodríguez, delapan atau sembilan lagi van polisi muncul dan petugas mulai mengawal jalan-jalan sekitarnya dan menangkap orang-orang.

“Mereka menyeret warga dengan keras. Kami tetap berdiri tapi mereka terus menyeret agar kami menjauh, menendang, dan melemparkan ke tanah,” tambah Rodríguez.

Setelah itu, lebih banyak polisi lagi yang muncul. Mereka melompati pagar sekolah untuk masuk ke ruang sekolah; membawa kapal untuk memecah pintu dan muncul kembali dengan kotak-kotak itu.

Dan sekitar pukul 10.25, polisi mulai menembakkan peluru karet.

Rodríguez lalu melarikan diri bersama istri dan anaknya, kembali ke flat mereka yang terletak di seberang sekolah. Ia berharap warga Eropa dan dunia melihat apa yang terjadi di Catalunya.

Kejadian serupa juga terjadi di titik lain. Polisi antihuru-hara menghancurkan pintu kaca pusat olahraga di dekat Girona—Puigdemont dijadwalkan memilih di situ. Meski memaksa masuk, polisi gagal menghentikan pemungutan suara.

“Saya di sini untuk memperjuangkan hak dan bahasa kami dan hak untuk hidup lebih baik dan punya masa depan,” ujar Mireia Estape, yang tinggal di dekat Sekolah Dasar Cervantes di Barcelona.

“Orang Catalan harus memilih; mereka merampok kami di Spanyol,” ujar laki-laki yang tak mau disebut namanya, yang berdiri dekat Estape.

“Saya tidak ingin tinggal di negara fasis,” sahut yang lain.

Begitulah yang terjadi pada Minggu kemarin di Catalunya. (*)