Referendum Catalunya: Hampir 100 Persen Warga Catalan Ingin Merdeka dari Spanyol

Moh Habib Asyhad

Penulis

“Saya tidak ingin tinggal di negara fasis,” sahut seorang warga Catalan yang ingin merdeka dari Spanyol.

Intisari-Online.com -Pejabat Catalunya mengklaim bahwa hasil awal Referendum Catalunya menunjukkan, 90 persen warga Catalan mendukung kemerdekaan dalam pemungutan suara yang ditolak keras oleh Spanyol.

Jordi Turull, juru bicara pemerintah Catalunya, mengatakan kepada wartawan bahwa 90 persen dari 2,26 juta warga Catalan memilih “ya” dalam pemungutan suara pada Minggu (1/10) itu.

Dari jumlah itu, hanya 8 persen yang menolak kemerdekaan dan abtains. Ia bilang, sampai saat ini masih ada 15 ribu suara yang belum dihitung.

Wilayah Catalunya sendiri punya jumlah 5,3 juta pemilih terdaftar.

(Baca juga:1,6 Juta Penduduk Catalan Memilih Merdeka dari Spanyol)

Ia juga menjelaskan bawha jumlah surat suara itu tidak termasuk yang disita oleh polisi Spanyol selama bentrok yang mengakibatkan ratusan orang terluka.

Sedikitnya 844 orang dan 33 polisi dilaporkan terluka, termasuk setidaknya dua orang dianggap mengalami luka sangat parah.

Pemimpin Region Catalunya, Carles Puigdemont, dalam sebuah pidatonya, terang-terangan menentang kekerasan yang dilakukan aparat keamanan itu.

“Pada hari penuh harapan dan penderitaan ini, warga Catalan telah mendapatkan hak untuk memilih sebuah negara merdeka dalam bentuk republik,” ujarnya, seperti dilansir dari The Guardian.

Pemerintahannya, lanjutnya, dalam beberapa hari ke depan akan mengirimkan hasil pemungutan suara itu ke parlemen Catalunya sehingga bisa ditindaklanjuti sesuai dengan hukum referendum.

Hasil referendum, bagi Puigdemont, paling tidak bisa digunakan untuk mendesak parlemen meski ada tekanan besar dari Spanyol. Pemerintah di Madrid sendiri menyebut pemungutan suara itu sebagai tindakan ilegal.

Di sisi lain, Pemerintah Spanyol mengeluarkan pembelaannya terkait aksi polisi antihuru-hara menyerbu TPS-TPS yang menyebabkan ratusan orang terluka itu. Menurut mereka, itu adalah upaya pemerintah untuk mencegah terjadinya pemungutan suara yang tidak dikehendaki itu.

Aksi polisi dipuji pemerintah Spanyol

Meskipun banyak orang Catalan yang berhasil menyampaikan suaranya, nyatanya ada juga warga yang terhalangi setelah dihentikan secara paksa oleh polisi Spanyol. Sekolah-sekolah yang menjadi lokasi pemungutan suara juga menjadi sasaran kepolisian.

Warga yang hendak menyuarakan pendapatnya ini menggambarkan polisi “menggunakan kapak untuk menghancurkan pintu-pintu, menghajar warga, dan menembakkan peluru karet.”

Kementerian Dalam Negeri Spanyol mengatakan 12 petugas kepolisian terluka dan tiga orang ditangkap karena tidak taat terhadap instruksi petugas dan dianggap melalukan penyerangan.

Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, yang berbicara pada Minggu malam mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan apa yang harus dilakukan. Ia juga berterima kasih kepada polisi karena bertindak dengan “ketegasan dan ketenangan”.

“Hari ini tidak ada penentuan referendum di Catalunya. Aturan hukum tetap berlaku dengan segenap kekuatannya. Kami adalah pemerintah Spanyol dan saya adalah kepalanya dan saya bertanggung jawab,” ujarnya.

(Baca juga:Dianggap Merusak, Kelompok Anarki Spanyol Ramai-ramai Mengusir Turis yang Melancong ke Barcelona)

Ada Colau, Walikota Barcelona, menuntut diakhirnya represi kepolisian Spanyol dan meminta Perdana Menteri itu mengundurkan diri.

Artur Mas, mantan Presiden Catalunya yang memerintahkan diadakannya referendum tiga tahun lalu, meminta Rajoy yang “otoriter” untuk mundur. Ia juga menambahkan bahwa Catalunya tidak bisa terus menerus berada di samping “sebuah negara yang menggunakan tongkat dan kebrutalan polisi.”

Sementara itu, Enric Millo, pejabat pemerintah Spanyol yang paling senior di wilayah itu, mengatakan bahwa polisi telah berperilaku “profesional” dalam melaksanakan perintah hukum.

Soraya Saenz de Santamaria, wakil perdana menteri Spanyol, memuji setinggi langit sikap aparat keamanannya. Ia mengatakan bahwa polisi telah menunjukkan ketegasan, profesionalisme, dan proporsionalitasnya dalam mengahadapi otoritas yang tak bertanggung jawab di pemerintah Catalunya.

Lebih jauh, ia menyebut kampanye kemerdekaan yang digelorakan oleh Puidemont sebagai lelucon. Ia juga mengatakan bahwa Spanyol telah lama pergi dari bayangan diktatorian Jenderal Franco.

“Saya tidak tahu, dunia seperti apa yang ditinggal Puigdemont, tapi demokrasi Spanyol tidak berjalan seperti ini,” kata Saenz de Santamaria. “Kami telah terbesar dari kediktatoran dalam waktu yang lama…”

Jordi Turull mengatakan, 319 dari 2.315 tempat pemungutan suara yang disiapkan untuk referendum ditutup secara paksa oleh kepolisian.

Tidak ingin tinggal di negara fasis

Jesús López Rodríguez, seorang adminstrator berusia 51 tahun, mengajak keluarganya untuk memilih di sekolah Ramon Rull di pagi hari. Seperti ribuan orang Catalan lainnya, mereka mulai antre sejak pukul 05.00 pagi. Tiga setengah jam kemudian, petugas polisi nasional tiba dengan perlengkapan antihuru-hara.

“Mereka bilang kepada kami bahwa pengadilan tinggi Catalunya telah memerintahkan mereka untuk mengambil kotak suara dan kami haru bubar,” ujarnya kepada The Guardian.

(Baca juga:Seberapa Fasis Donald Trump? Begini Cara Merumuskannya)

“Kami berteriak, ‘Tidak! Tidak! Tidak!’ Dan kemudian sekitar 20 petugas polisi menyerbu kami. Sangat singkat—hanya dua menit—dan kami tetap bersama.”

Setelah sekitar 15 menit, dari kesaksian Rodríguez, delapan atau sembilan lagi van polisi muncul dan petugas mulai mengawal jalan-jalan sekitarnya dan menangkap orang-orang.

“Mereka menyeret warga dengan keras. Kami tetap berdiri tapi mereka terus menyeret agar kami menjauh, menendang, dan melemparkan ke tanah,” tambah Rodríguez.

Setelah itu, lebih banyak polisi lagi yang muncul. Mereka melompati pagar sekolah untuk masuk ke ruang sekolah; membawa kapal untuk memecah pintu dan muncul kembali dengan kotak-kotak itu.

Dan sekitar pukul 10.25, polisi mulai menembakkan peluru karet.

Rodríguez lalu melarikan diri bersama istri dan anaknya, kembali ke flat mereka yang terletak di seberang sekolah. Ia berharap warga Eropa dan dunia melihat apa yang terjadi di Catalunya.

Kejadian serupa juga terjadi di titik lain. Polisi antihuru-hara menghancurkan pintu kaca pusat olahraga di dekat Girona—Puigdemont dijadwalkan memilih di situ. Meski memaksa masuk, polisi gagal menghentikan pemungutan suara.

“Saya di sini untuk memperjuangkan hak dan bahasa kami dan hak untuk hidup lebih baik dan punya masa depan,” ujar Mireia Estape, yang tinggal di dekat Sekolah Dasar Cervantes di Barcelona.

“Orang Catalan harus memilih; mereka merampok kami di Spanyol,” ujar laki-laki yang tak mau disebut namanya, yang berdiri dekat Estape.

“Saya tidak ingin tinggal di negara fasis,” sahut yang lain.

Begitulah yang terjadi pada Minggu kemarin di Catalunya. (*)

Artikel Terkait