Tapi kewaspadaan Jepang menggagalkan usaha-usaha itu.
Di Yogyakarta kristal-kristal pemancar diambil semua oleh Jepang, hingga siaran radio di kota itu lenyap dari udara.
(Baca juga: Unik, Stasiun Radio Ini Membuat Program Khusus untuk Anjing yang Kesepian. Seperti Apa Isi Acaranya?)
Di Solo pada tanggal 18 Agustus kepala siaran Jepang memberitahukan kepada Maladi (kini Menteri Olahraga) dan Soetardi bahwa Jpang telah kalah.
Hari berikutnya tanggal 19 Agustus sudah ada perintah dari Hoso Kanrityoku Jakarta (Kepala Jawatan Radio) bahwa siaran-siaran harus dihentikan.
Perintah yang diberikan oleh Kepala Jawatan Radio Jepang di Jakarta itu berasal “dari Markas Besar Tentara Serikat di Timur Jauh”, — perintah yang ditanda tangani oleh Lord Louis Mountbatten.
Isinya: siaran-siaran radio semuanya harus dihentikan untuk sementara waktu – artinya menunggu perintah lebih lanjut dari kekuasaan Sekutu.
Nampak gawatnya situasi. Kita telah memproklamirkan kemerdekaan. Tapi tentara Jepang masih memegang senjata lengkap “untuk menjaga keamanan di Indonesia".
Kemudian akan datang Inggris yang akan menduduki Indonesia atas nama Sekutu dan menyerahkannya kepada Belanda, yang merasa berhak atas Indonesia.
Mengingat pentingnya radio antuk memelihara hubungan antara Pemerintah dan rakyat dalam perjuangan pejuang-pejuang kita segera bertindak.
Di Jakarta dengan dipelopori oleh “Pak Karbol” yaitu almarhum Dr. Abdulrachman Saleh (beliau kemudian gugur dalam kapal terbang bersama pahlawan Adisutjipto di Yogyakarta) mereka mempersiapkan pemancar-pemancar ilegal.
Tak lama kemudian “Radio Indonesia Merdeka” telah melayang di udara dari sebuah rumah di Gondangdia.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR