Rombongan petugas-petugas radio itu lalu menuju rumah Adang Kadarusman di Menteng Dalam. Tepat jam 24.00 tengah malam rapat dibuka oleh Dr. Abdulrachman Saleh.
Hadir wakil-wakil dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Purwokerto. Tidak hadirnya Surabaya dan Malang mudah dipahami berhubung dengan situasi gawat di waktu itu dan kesukaran teknis surat-menyurat dan komunikasi.
Rapat berlangsung sampai jam 6.00 pagi. Semua sepakat bahwa tanggal 11 September ditetapkan sebagai berdirinya Radio Republik Indonesia.
Suasana revolusi dan kemungkinan terjadinya pertempuran-pertempuran dengan Jepang, Inggris, atau Belanda mengilhami bagian pertama dari Tri Prasetia yang dibuat pada hari itu, ialah “menyelamatkan segala alat siaran radio dari siapapun yang hendak menggunakan alat tersebut untuk menghancurkan Negara kita; dan membela alat itu dengan segala jiwa-raga dalam keadaan bagaimanapun dan dengan akibat apapun.”
Antara lain diputuskan bahwa setiap studio berkewajiban mengusahakan agar semua pemancar dan alat-alat Hoso Kyoku diserahkan kepada RRI, “Pertama dengan jalan berunding dan kedua dengan jalan lain”.
Dalam rangka perjuangan masing-masing studio harus “mencari tempat di luar kota untuk dijadikan tempat-tempat perjuangan selanjutnya. Tempat-tempat itu harus “strategis”, dapat terhindar dari serangan-serangan musuh dan sebaiknya di pegunungan.”
Membacakeputusan-keputusan ini kita teringat kepada perebutan pemancar dan studio di beberapa kota. Antara lain dari tangan Jepang pada tanggal 27 September – jadi dua minggu sesudah rapat di Jakarta, di mana Surabaya tak dapat hadir.
Dengan diantar 300 pegawai hosokyoku yang bersenjata bambu runcing, kelewang, dan aneka macam senjata rajam, Soekiman (kini Kepala Jawatan RRI dan TVRI seluruh Indonesia) memasuki ruangan Mormoto, Kepala jawatan radio Jepang di Surabaya.
Ia menyodorkan naskah serah-terima. Mula-mula Morimoto menolak, tapi karena merasa terancam, akhirnya ia menyerah juga. Sore hari jam 18.00 “Radio Republik Indonesia” di Surabaya telah mengumandang di udara.
Sesudah Sekutu mendarat datang lagi gangguan-gangguan. Pada suatu hari datang Rapwi, semacam barisan palang merah internasional dalam tentara Sekutu.
Mereka minta pemancar di jalan Embong Malang. Katanya untuk berhubungan dengan pangkalan udara Kemayoran Jakarta.
Segera ribuan orang menuju Embong Malang untuk menghalang-halangi tindakan Rapwi yang secara paksa telah mengeluarkan pemancar dari pintu gedung.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR