Menghadapi ribuan rakyat akhirnya Rapwi mundur. Dengan tegas RRI menandaskan, boleh Rapwi mengambil pemancar, tapi harus minta izin dulu dari pemerintah RI.
Soekirman mengantarkan mereka ke tempat kediaman Pak Soedirman residen Surabaya waktu itu. Di jalan mampir di “Oranye Hotel” di jalan Tunjungan, karena Rapwi “mau memberitahukan dulu komandannya.”
Di Hotel seorang anggota Rapwi memperkenalkan diri sebagai Letnan de Balc. Dalam Rapwi ternyata ada militer-militer Belanda. Segera hal itu diberitahukan kepada Residen Surabaya.
Mendengar ini rakyat marah. Terjadi “peristiwa bendera”. Ribuan rakyat menyerbu Oranye Hotel, memanjat tiang bendera dan merobek lapisan terbawah dari bendera merah-putih-biru. Seorang Belanda Mr. Ploegman, tewas.
Untuk sementara keadaan tenang sampai tanggal 28 Oktober. Pada hari itu serombongan tentara Gurkha mendatangi rumah Soekirman, kepala RRI Surabaya.
Ia dipaksa mengikuti mereka ke studio di Simpang. Soekirman dipaksa menyerahkan semua kunci-kunci studio. Alat-alat dimatikan. Semua pegawai disuruh pulang. Hanya Pak Soekirman ditahan.
Tapi melalui pintu belakang ia berhasil melarikan diri.
Tapi sebelum peristiwa itu RRI telah melakukan tindakan-tindakan persiapan untuk menjamin siaran-siaran. Tanggal 28 Oktober jam 3 siang studio Simpang dikuasai Gurkha.
Dua jam kemudian jam 5 sore pemancar dan studio di Limbong Malang telah memancarkan suara RRI.
Tak lama kemudian studio di Simpang dibakar rakyat. Waktu api menjilat-jilat ke udara, nampak sebuah kapal terbang melayang-layang di atas kota.
Itu pesawat Presiden Soekarno yang datang di Surabaya untuk memerintahkan cease-fire antara Sekutu dan rakyat, yang telah menjepit pos-pos terdepan tentara Inggris.
Penghentian tembak-menembak tidak lama berlangsung. Sekutu berkhianat. Tanggal 10 November mereka mengadakan serangan besar-besaran dari Tanjung Perak dengan kapal terbang dan meriam-meriam dari laut.
Perjuangan revolusi di Surabaya mulai menghebat. Pemancar diungsikan ke Patemon. Sepanjang Mojokerto, Bondowoso.
Mengenai RRI Jawa Timur pantas dicatat pemancar-pemancar gerilya yang dibawa dari gubug satu ke gubug lain di daerah pegunungan Wilis.
Masih banyak lagi pemancar-pemancar “liar” semacam itu di Jawa. Antara lain “Kyai Balong”, yaitu pemancar gerilya yang ditempatkan di sebuah rumah gedeg di tengah-tengah rumpun-rumpun bambu di desa Balong, daerah gunung Lawu.
Wakil pemerintah Belanda di PBB sekitar awal revolusi pernah berkata, bahwa Republik Indonesia hanya “Republik Mikrofon”.
Pernyataan ini menggambarkan betapa besarnya peranan Radio Republik Indonesia dalam menegakkan Republik yang pada tanggal 17 Agustus 1945 itu kita proklamirkan.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1965)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR