Siasat penggunaan pemancar oleh pegawai muda jawatan radio Jakarta segera diketahui oleh Jepang. Dua orang yang dianggap bertanggung jawab yaitu Bachtar Lubis dan Jusuf Ronodipuro, diminta pertanggunganjawaban
Timbul perdebatan sengit. Petugas Jepang tidak dapat menahan marahnya dan telah menghunus samurainya. Tinggal mengayunkan.
Untung tepat pada saat itu Tomobachi, Pemimpin Umum Radio Jepang di Jawa masuk kamar. Dia ini menginsjafi bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia telah menjadi kenyataan.
Berkat perantaraannya pertumpahan darah dapat dihindarkan.
Berita proklamasi segera sampai di daerah-daerah. Di Surabaya misalnya, Jumat jam 12.00 tanggal 17 Agustus itu juga harian “Suara Rakjat" telah dapat menyerahkan bulletin istiniewa berisi naskah Proklamasi.
Tapi Kenpeitai yang tetap waspada berhasil menyitanya. Radio Surabaya diawasi agar tidak dapat menyiarkan naskah Proklamasi itu.
Namun pada malam harinya Raio Surabaya toh dapat menyiarkannya yaitu di dalam siaran berita bahasa Madura.
Di Semarang Proklamasi Kemerdekaan disiarkan pada hari Jumat siang hari dari masjid. Persiapan untuk siaran ini dapat berlangsung cukup aman karena disangka siaran rutin seperti pada hari-hari Jumat biasa.
Ketika tiba waktunya hubungan dengan masjid, semua pendengar terkejut yang pertama-tama keluar dari radio bukannya suara adzan ataupun kotbah tetapi “Proklamasi 17 Agustus".
Sebagai akibat kerasnya penjagaan Jepang, di beberapa kota lain datangnya berita proklamasi agak lambat.
Sebetulnya juga di situ kalangan radio telah mengadakan persiapan-persiapan untuk menguasai instalasi siaran, terutama sejak mereka melalui radio rahasia mendengar BBC dan Radio Amerika mulai tanggal 26 Juli 1945 sampai 11 Agustus berulang-ulang mengumumkan syarat-syarat penyerahan kepada Jepang.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR