Karena Rima tidak tahu, keesokan harinya ia kembali ke Cipinang untuk bertanya. Kemudian Rima menemui Bung Karno lagi dan bilang bahwa Daniel menyesal.
Maka Bung Karno menyarankan agar Daniel membuat surat permohonan. Maksudnya agar Bung Karno memiliki pegangan tertulis untuk memberi grasi.
"Eh, sialnya, Daniel enggak mau tulis surat. Saya jadi benci dia," Rima bicara dalam nada tinggi.
Biarlah menjadi sejarah
Kharisma Bung Karno yang besar acap kali menutupi kelemahannya. Misalnya soal kaum wanita di sekitarnya, termasuk beberapa yang diperistri.
Mantan bintang film yang kini bergerak dalam usaha height forwarding sekaligus aktivis yayasan sosial, Gabrielle (Gaby) Mambo (60), awalnya kecewa karena Bung Karno menikah lagi.
Namun belakangan ia maklum, karena itu kenyataan yang acap dialami tokoh-tokoh besar lain.
Menjelang 1960-an Gaby beberapa kali ikut dalam acara di istana. Sebagai anggota kelompok yang tubuhnya paling kecil, ia selalu berdiri paling belakang.
Rupanya, Bung Karno menangkap ketakutan Gaby.
"Saya malah dipanggil, disuruh mendekat, dan kadang disuruh cium pipi," cerita Gaby.
Justru karena merasa dipandang agak khusus oleh Bung Karno, lama-kelamaan Gaby merasa dekat.
"Hebatnya Bung Karno, sekalipun tahu saya takut, beliau tidak lantas nakal atau kurang ajar. Saya tetap dihormatinya, diperlakukan seperti anaknya."
Tahun 1961 - 1966 Gaby sekolah desain interior di Jepang. Di masa-masa itu ia sering bertemu ketika Bung Karno berkunjung ke Jepang.
"Dalam perjamuan dengan Ratna Sari Dewi, saya sering kebagian tugas membuatkan teh untuk Bung Karno. Saya hapal beliau tidak mau pakai gula, tetapi sakarin," kenang Gaby.
Namun sekembalinya Gaby ke Indonesia, situasi telah banyak berubah. Ia tak pernah lagi bertemu dengan Bung Karno. Demikian pula Mien Soedarpo, Rima Melati, dan Titiek Puspa.
"Betapa baiknya Bung Karno, saya tidak percaya beliau dianggap jahat atau terlibat dalam kejahatan," kata Rima Melati.
Memang" banyak faktor politik yang terjadi dan mengubah situasi, namun tak cukup meyakinkan Rima Melati, Titiek Puspa, Mien Soedarpo, atau Gaby Mambo bahwa Bung Karno bersalah.
Tapi itulah sejarah. Titiek Puspa mengatakan, "Kalau dihitung plus-minusnya, perhatian dan jiwa raga yang diberikan kepada negara jauh lebih besar dibandingkan dengan kesalahan atau kelemahannya."
Sementara Gaby Mambo menanggapi, "Nobody's perfect. Yang penting dia berbuat sangat banyak untuk negara ini." (Sht/SL)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2001)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR