Advertorial
Intisari-Online.com - Syarat sebagai negara merdeka yang berdaulat adalah adanya pengakuan secara hukum dari negara lainnya.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Mesir pada 22 Maret 1946 termasuk negara yang pertama mengakui kemerdekaan RI.
Tapi pada masa kolonial Belanda, sebenarnya ada wilayah yang dinyatakan tidak diganggu gugat oleh Belanda atau “dianggap merdeka” yakni Keraton Yogyakarta dan Istana Pura Paku Alaman.
Keraton Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX termasuk keraton yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI.
Pengakuan Sultan HB IX atas kemerdekaan RI dilakukan sehari setelah proklamasi kemerdekaan dengan mengirim telegram kepada kedua ploklamator, Bung Karno dan Bung Hatta.
(Baca juga: Ada Dajal di Sekitar Kemerdekaan RI)
Selain mengirim telegram yang berisi ucapan selamat dan dukungan terhadap Kemerdekaan RI, Sultan HB IX juga mengucapkan selamat kepada dr KRT Radjiman Wediodiningrat , ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan.
Jauh sebelum Kemerdekaan RI diproklamasikan Sultan HB IX secara mistis sebenarnya sudah mendapatkan tanda-tanda atau wisik.
Tapi tanda-tanda yang dipakai Sultan HB IX untuk memprediksi datangnya Kemerdekaan RI adalah ramalan Jayabaya yang selalu diikutinya dan berbunyi “berkulit kuning berbadan cebol setelah berkuasa hanya seumur jagung di Indonesia”.
Kalimat itu secara harafiah berarti setelah berlangsung penjajahan oleh Jepang yang tidak berlangsung lama, Indonesia dipastikan akan segera memperoleh kemerdekaannya.
Dukungan Sultan HB IX terhadap Kemerdekaan RI pada tahap berikutnya tidak hanya bersifat politis saja tapi juga berupa dukungan material.
(Baca juga: Tan Malaka, Tokoh Sunyi di Balik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945)
Ketika pada bulan Januari 1946, Ibukota RI di Jakarta pemerintahannya dipindahkan ke Yogyakarta, Sultan HB IX membantu keuangan Pemerintah RI di bawah pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta, yang jumlahnya mencapai lebih dari 5 juta Gulden.
Uang itu merupakan harta milik Keraton Yogyakarta yang dipersembahkan demi berjalannya roda Pemerintahan RI karena pada era pemerintahan RI di Yogyakarta, negara belum punya dana untuk menggaji Presiden dan para stafnya.
Dana yang pernah disumbangkan Keraton Yogyakarta itu juga tidak pernah diganti oleh negara hingga saat ini.