Intisari-Online.com - Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 kondisi keamanan dalam negeri bukannya membaik tapi malah makin kacau.
Kondisi makin kacau terutama di Ibukota Jakarta itu dipicu oleh pendaratan pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan paramiliter Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada 29 September 1945 dan bermaksud menjajah lagi Indonesia.
Antara bulan Oktober-Desember 1945 Jakarta telah menjadi ajang teror pasukan NICA dan sesuai paparan Cindy Adams dalam bukunya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, korban jiwa yang jatuh mencapai 8000 orang.
NICA yang memang sengaja melakukan teror secara sistematis juga mendapat perintah dari para petinggi militer Belanda untuk membunuh para pemimpin RI.
Akibatnya demi mencari keselamatan, Presiden Soekarno dan Wapres Mohmmad Hatta sering tidur berpindah-pindah tempat demi menghidari keganasan NICA.
Tapi karena keadaan Jakarta makin gawat berdasar sidang kabinet yang berlangsung pada 3 Januari 1946 diambil keputusan untuk memindahkan Ibukota Jakarta ke Yogyakarta.
Namun untuk memindahkan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta ke Yogyakarta tidak mudah karena pasukan NICA melakukan penjagaan ketat dan rupanya sudah tahu jika keluarga Presiden dan Wapres akan diungsikan.
Tim personel pengaman pun melakukan operasi penyalamatan keluarga Presiden dan Wapres secara rahasia untuk membawanya ke Yogyakarta.
Caranya, pada esok harinya (4/1/1946) sesuai dipaparkan dalam buku Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamegku Buwono IX, menjelang petang sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara ribut ditarik oleh sebuah lokomotif dari Stasiun Manggarai dan berhenti di rel Pegangsaan Timur Jakarta.
Posisi rel dan kereta api tepat berada di belakang rumah Presiden Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56 yang saat itu sudah dipenuhi rombongan keluarga Presiden dan Wapres, para pemimpin-pemimpin lainnya, dan para personel pengamanan.
(Baca juga: Wow, Begini Cara Bung Karno Mendapatkan Cinta Pramugari Cantik?)
Semua rombongan yang tidak membawa barang apapun itu kemudian secara diam-diam keluar dari pintu belakang dan masuk ke dalam gerbong kereta api paling belakang yang tampak tidak penting serta bertampang kumuh .
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR