Advertorial

Ada Peran Kereta Api Kumuh dalam Perpindahan Ibukota Jakarta Ke Yogyakarta Pada Masa Revolusi

Ade Sulaeman

Penulis

Posisi rel dan kereta api tepat berada di belakang rumah Presiden Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56 itu sudah dipenuhi rombongan keluarga Presiden dan Wapres, para pemimpin-pemimpin lainnya
Posisi rel dan kereta api tepat berada di belakang rumah Presiden Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56 itu sudah dipenuhi rombongan keluarga Presiden dan Wapres, para pemimpin-pemimpin lainnya

Intisari-Online.com - Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 kondisi keamanan dalam negeri bukannya membaik tapi malah makin kacau.

Kondisi makin kacau terutama di Ibukota Jakarta itu dipicu oleh pendaratan pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan paramiliter Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada 29 September 1945 dan bermaksud menjajah lagi Indonesia.

Antara bulan Oktober-Desember 1945 Jakarta telah menjadi ajang teror pasukan NICA dan sesuai paparan Cindy Adams dalam bukunya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, korban jiwa yang jatuh mencapai 8000 orang.

NICA yang memang sengaja melakukan teror secara sistematis juga mendapat perintah dari para petinggi militer Belanda untuk membunuh para pemimpin RI.

Akibatnya demi mencari keselamatan, Presiden Soekarno dan Wapres Mohmmad Hatta sering tidur berpindah-pindah tempat demi menghidari keganasan NICA.

Tapi karena keadaan Jakarta makin gawat berdasar sidang kabinet yang berlangsung pada 3 Januari 1946 diambil keputusan untuk memindahkan Ibukota Jakarta ke Yogyakarta.

Namun untuk memindahkan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta ke Yogyakarta tidak mudah karena pasukan NICA melakukan penjagaan ketat dan rupanya sudah tahu jika keluarga Presiden dan Wapres akan diungsikan.

Tim personel pengaman pun melakukan operasi penyalamatan keluarga Presiden dan Wapres secara rahasia untuk membawanya ke Yogyakarta.

Caranya, pada esok harinya (4/1/1946) sesuai dipaparkan dalam buku Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamegku Buwono IX, menjelang petang sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara ribut ditarik oleh sebuah lokomotif dari Stasiun Manggarai dan berhenti di rel Pegangsaan Timur Jakarta.

Posisi rel dan kereta api tepat berada di belakang rumah Presiden Soekarno di Jl Pegangsaan Timur 56 yang saat itu sudah dipenuhi rombongan keluarga Presiden dan Wapres, para pemimpin-pemimpin lainnya, dan para personel pengamanan.

(Baca juga:Wow, Begini Cara Bung Karno Mendapatkan Cinta Pramugari Cantik?)

Semua rombongan yang tidak membawa barang apapun itu kemudian secara diam-diam keluar dari pintu belakang dan masuk ke dalam gerbong kereta api paling belakang yang tampak tidak penting serta bertampang kumuh .

Di suasana malam yang gelap pekat itu berpindahlah RI dari pusat pemerintahannya menuju Yogyakarta, yang oleh Bung Karno diyakini sebagai kota kerajaan yang sudah memiliki pengalaman pemerintahan dan loyal kepada RI.

Secara rahasia tim pengaman rombongan Presiden RI dan para stafnya ternyata sudah menjalin komunikasi dengan Raja Yogyakarta Sultan HB IX.

Maka ketika keesokan harinya rombongan Bung Karno yang masih tampak lelah dan tegang itu tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta mereka sudah ditunggu oleh Sultan HB IX dan kemudian membawa semua rombongan menuju Keraton Yogyakarta.

Di Yogyakarta pemerintahan RI yang dijalankan Bung Karno dan Bung Hatta ternyata harus menghadapi perjuangan lebih berat lagi karena Belanda kemudian menyerbu Yogya pada 19 Desember 1948.

(Baca juga: Sudah Diingatkan Tapi Bung Karno Nekat Mencintai Naoko Nemoto Dari Jepang. Apa Sebabnya? )

Presiden Soekarno dan Wapres Hatta bahkan ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.

Namun berkat peran dan jasa yang luar biasa dari Sultan HB IX, pasukan Belanda akhirnya berhasil dikalahkan baik secara militer maupun politik dan RI pun kembali lagi menjadi negara yang berdaulat.

Artikel Terkait