Setelah berguru kepadanya, Hendro lantas pergi ke Jakarta. Oleh seorang tokoh bernama Mardani Karyono ia dikirim kepada Direktur Televisi Moh. Arif dengan secarik katebelece. Sejak 1964, jadilah Hendro wartawan TVRI.
Karena cita-citanya jadi penerbang, ia sangat bersemangat tugas di bidang hankam. Januari 1965, ia mengabadikan peristiwa penembakan Kahar Muzakkar. Bung Karno percaya, pemberontak itu telah tewas dari tayangan televisi hasil liputan Hendro.
Ketika G-30-S/PKI meletus di Jakarta, Hendro sibuk berlalu lalang ke pusat-pusat berita dengan sepeda motor 50 cc dalam potongan rambut cepak dan kacamata hitam.
Kontak senjata yang hampir selalu jadi bagian hidupnya, membentuknya sebagai manusia berjiwa petualang, namun toleran dan tidak formal.
"Untungnya, sejak masa Bung Karno sampai Pak Harto, saya tidak pernah ditugaskan di Istana. Jadi, saya tidak sempat mengalami kultur wartawan feodal dan birokratis."
Justru dalam suasana yang tidak birokratis itu kemampuan Hendro berkembang. Keinginannya jadi penerbang terlaksana karena akhirnya ia meraih Wing Kelas III. Kini total jam terbangnya sekitar 400 jam, selain juga memiliki lima sertifikat air combat mission yang semuanya dia dapat di Timtim.
Empat kali dengan pesawat OV-10, dan sekali naik jet T-33. Bahkan pada 16 Juli 1991 Hendro berkesempatan terbang jurnalistik di kursi belakang pesawat F-16 Fighting Falcon. Penerbangan bersama Letkol (Pnb.) Wartoyo itu tak cuma menempuh waktu 1 jam dan 50 menit, tetapi juga beraerobatik dalam kecepatan 1,3 Mach.
Wing terjun pun ia kantungi, dan sampai sekarang Hendro telah terjun 240 kali. Selebihnya, Hendro mendapat penghargaan dari Departemen Hankam atas liputannya soal integrasi Timtim berupa Anugerah Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti.
Pada 1991 ia menerima Anugerah Penegak Pers Pancasila dari PWI atas liputannya seputar pemberontakan G-30-S/PKI. Tak kurang, liputan dokumenternya juga membuahkan Piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia 1995.
Jabatan terakhirnya adalah kepala English News Service, siaran bahasa Inggris TVRI, sambil mencari peluang untuk karier setelah pensiun. Ketika datang tawaran dari sebuah stasiun televisi Australia, ia pun segera menerimanya.Pensiun Hendro dipercepat.
Sesekali ia juga menulis untuk media cetak, di dalam maupun luar negeri, walau ia bilang kemampuan menulisnya terjadi karena "kecelakaan".
Tak diduga, laporan bergambar yang naskahnya hanya empat halaman ketik dihargai 400 ponsterling oleh majalah bulanan Inggris Air Forces edisi Januari 1999.
Dikira orang gila
Hendro tak pernah berterus terang soal usia, kecuali tanggal kelahiran 18 Desember di Solo. Yang penting bagi dia adalah kemampuan. Dalam caranya sendiri ia menunjukkan belum berkacamata, tidak merokok atau minum kopi, juga terbiasa lari 10 km lima kali seminggu.
Kebiasaan ini dia lakukan dengan cara khas, yakni lari di jalur hijau sisi kanan, berkaus, dan celana pendek tanpa alas kaki. Sampai finis di depan Gedung DPR/MPR Jakarta, ia lalu pulang naik bus kota.
Bagi yang tidak tahu, pria lusuh berambut cepak telanjang kaki itu dikira orang gila. Tak jarang ia ditolak pengemudi bus kota.
Pernah suatu ketika, ia memancing rasa heran penumpang lain. Selagi bergelantungan di dalam bus, tiba-tiba telepon selulernya berdering. "Si orang gila" bicara keras-keras dalam bahasa Inggris, lengkap dengan aksen Jawa dan tawa ngakak-nya. Para penumpang makin heran.
Itulah Hendro Subroto. Terkesan seadanya, namun telah mencatatkan prestasi besar bagi dunia kewartawanan. Gairahnya terus muncul tanpa batas masa kerja.
"Kepegawaian saya yang pensiun. Tapi sebagai jurnalis, saya tidak pernah berhenti."
Hendro seolah memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mempekerjakannya jika ada liputan perang. "Memang, saya ingat ucapan seorang teman, wartawan Kamboja. Katanya, perang itu berwajah buruk, tapi kami datang ribuan mil untuk melihatnya."
Ketika perang meletus, orang berlari menjauh. Namun, manusia semacam Hendro justru mendekati. Mengabadikan, mencatat, dan menceritakan kepada orang di wilayah lain tentang keadaan yang ditinggalkan.
(Ditulis oleh A. Hery Suyono & Mayong S. Laksono, seperti dimuat di Intisari Maret 1999)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR