Intisari-Online.com – Saat perang Teluk 1991, AS memberlakukan seleksi ketat terhadap wartawan yang akan meliput.
Dari sekitar 1.300 pemohon, hanya 100 wartawan (hampir semuanya wartawan AS) yang diizinkan, termasuk dua orang dari TVRI, yakni juru kamera Bambang Setyo Purnomo dan reporter Hendro Subroto. Itulah keberuntungan sekaligus hasil kecerdikan.
--
la bukan anggota militer, tapi pengalaman di medan tempur melebihi kebanyakan tentara kita. Ikut operasi penangkapan Kahar Muzakkar, menyusup ke Serawak saat konfrontasi dengan Malaysia, meliput perang Kamboja, Vietnam, Perang Teluk, juga misi kemanusiaan PBB.
la mengikuti sejarah Timor Timur sejak pra-integrasi, sampai-sampai dada, pipi, dan jempol tangannya kena tembak tentara Fretilin.
Hendro Subroto, salah satu dari sedikit wartawan perang Indonesia.
Riwayat panjang Hendro Subroto nyaris tak terputus selama 30 tahun sejak masuk ke TVRI tahun 1964 sampai pensiun 1993, bahkan sesudah masa itu. Keberuntungan dan kesempatan, menurut Hendro, kebanyakan karena pengakuan individual.
Setelah pensiun, ketika di Timor Timur dalam liputan untuk TV Australia, misalnya, ia diberi pinjaman helikopter oleh otoritas militer.
“Saya bilang, Mas, aku sudah nggak kerja di TVRI.” Lalu pihak yang saya pinjami mengatakan, “Yang saya pinjami ini Hendro Subroto,” katanya.
Semasa aktif Hendro tak pernah lupa apa pun tugasnya, ia adawalah wartawan media pemerintah. Justru karenanya ia sering tersudut dalam kesulitan dan keterbatasan.
“Ketika di palagan barat Perang Teluk, pasukan yang saya ikuti masuk dari Arab Saudi ke Kuwait lewat Irak. Reporter dari media pemerintah Indonesia tak bisa ikut, karena Indonesia dan Irak tpunya hubungan diplomatik. Saya tak bisa masuk ke Irak tanpa visa, walaupun Basra Cuma 80 km di depan. Kalau saya paksakan diri dan tertangkap, bisa jadi persoalan politik. Maka saya ke palagan timur, sehingga begitu melewati perbatasan langsung bisa masuk ke Kuwait."
Demikian pula ketika Hendro ke Vietnam setelah konflik Vietnam - Cina tahun 1979. Waktu itu Kamboja dikuasai Vietnam, sementara 200 ribu tentara Cina menyerbu Vietnam. Dari perbatasan Cina Hendro diundang Pemerintah Vietnam ke Kamboja.
Undangan dia tolak karena Pemerintah RI mengakui kepemimpinan Sihanouk yang ketika itu bergerilya, bukan pemerintahan boneka Kamboja bentukan Vietnam.
"Kalau undangan saya terima dan ketahuan pers asing, pasti jadi masalah, kok Indonesia menempatkan wartawannya di negara boneka bentukan Vietnam."
Bawa besi tua tak berguna
Status memang kadang jadi kendala. Demikian pula peralatan. Dibandingkan dengan wartawan tulis atau foto, wartawan televisi seperti Hendro menanggung kendala lebih besar.
Ia yang telah mendapat izin dari AB Thailand, akhirnya tak jadi ikut rombongan gerilyawan Kamboja yang berpatroli di pedalaman selama dua bulan karena tak ada listrik untuk menyetrum baterai kameranya.
“Tiga hari sekali baterai kamera harus di-charge. Ketika tak ada listrik, berarti mulai hari keempat saya cuma membawa besi tua tak berguna."
Akibat banyaknya pelajaran dan pengalaman, saat Perang Teluk Hendro sama siapnya dengan tentara multinasional yang melengkapi diri dengan masker dan pakaian antisenjata kimia. Sebelum perang meletus, kawasan Arab masih agak dingin.
Hendro tahu, pasukan AS tak bisa perang tanpa komputer dan peralatan lain yang mensyaratkan temperatur dingin. Pakaian tempur pun hanya bisa dikenakan dalam batas temperatur tertentu.
Mereka pasti akan menyerang sebelum Maret 1991. Atau paling lambat tanggal 1 Maret karena sejak hari itu cuaca akan panas.
Pun ketika tinggal di sebuah hotel di Riyadh, ia menghitung waktu tempuh peluru kendali Scud Irak ke kota itu 8-12 menit, sementara perjalanan dia dari kamar di lantai 3 menuju atap hotel plus penyiapan kamera tak lebih dari 2,5 menit.
Maka, ketika sirene kota berbunyi tanda rudal melesat dari Irak, Hendro masih punya waktu untuk menonton televisi. "Baru pada menit kelima kami menuju atap hotel untuk mengambil gambar."
Bagi Hendro, Perang Teluk memberinya keberuntungan karena perang hanya berlangsung 100 jam, sementara di luar batas konsesi liputan terdapat ratusan wartawan lain yang berbulan-bulan tertahan tak bisa masuk, dan tahu-tahu perang sudah berakhir.
Dari sisi persenjataan, Hendro - yang hapal banyak jenis senjata, pesawat terbang, dan istilah teknis kemiliteran - jadi tahu bahwa tentara multinasional mempersiapkan diri terhadap kemungkinan perang kimia.
Hendro belajar, jika ada bom berisi gas darah meletus, cukup diredam dengan mengenakan masker. Namun, jika isi bom gas saraf atau mostar, ia harus mengenakan pakaian antisenjata kimia.
"Pada hari pertama saya belum dapat pakaian itu. Saat Scud meledak, saya pakai handuk basah untuk menutup hidung. Saya bilang kepada juru kamera, 'Ini risiko. Kalau bom ternyata berisi gas saraf atau mostar, tamatlah kita'."
Senjata kimia juga buruk bagi peralatan kerja. Serbuknya bisa masuk ke sela-sela kamera dan merusakkan film atau kaset.
Ketika pertama kali datang, Hendro melihat lusinan wartawan senior membawa kamera bawah air ukuran kecil. Ternyata, hanya kamera itulah yang bisa meredam serbuk senjata kimia.
Pelajaran lain, dengan dikenakannya pakaian antisenjata kimia yang beratnya 6 kg, daya tempur prajurit turun 30 - 40%. Ketika menembak, ketepatannya menurun sampai 40%.
Hendro yakin, jika pakaian itu dikenakan juru foto atau kamerawan televisi, kemampuan meliput dan kualitas gambar yang dihasilkan pasti merosot.
Mengurus izin lebih sulit
Dari Perang Teluk pula Hendro mendapat pelajaran soal manajemen keuangan dalam peliputan. Ketika mengajukan permohonan untuk meliput, kepada atasannya ia bilang, jika diberi uang saku untuk dua minggu, ia akan berada di Teluk selama sebulan.
Tapi jika uang sakunya untuk sebulan, ia tidak akan pulang sebelum perang berakhir. Ishadi SK, direktur televisi waktu itu, heran, bagaimana mungkin uang saku AS $ 155/hari bisa menunjang hidup di Riyadh, Dhahran, atau Kuwait City yang tarif kamar hotelnya sekitar AS $ 200/hari?
"Ya, itulah kelebihan saya," kata Hendro mengulang ucapannya kepada Ishadi.
Namun, kelebihan terkadang belum cukup karena Hendro setiap kali dihadapkan pada legalitas dan perizinan. "Karena itu, saat di Kamboja saya lebih banyak me-manage, tidak bawa kamera, sebab terkadang mengurus perizinan lebih sulit ketimbang meliput.
Padahal di Timor Timur dulu, kami bergerak empat orang, semuanya bawa kamera. Di Perang Teluk saya juga pegang kamera."
Selain ancaman kematian, penyelesaian tugas termasuk pengiriman berita juga dinamika yang penuh kendala. Di Kamboja tahun 1970, misalnya, setiap kali ia pergi ratusan kilometer dari medan perang ke basis peliputannya di Kampong Cham (30 km dari Pnom Penh), hanya untuk mencuci film.
Di Hafar Al Bathin, kota Kuwait di dekat perbatasan Irak, 1991, setiap hari Hendro menyetir kendaraan 500-an kilometer menuju Dhahran untuk mengirim gambar lewat satelit ke TVRI, kemudian kembali ke basis liputan.
Di Kamboja tahun 1970, Hendro bersama wartawan Berita Yudha Hery Suharwo jadi korban serbuan tentara Vietkong hingga terdesak ke Sungai Mekong. Yang tersisa tinggal kepasrahan sambil mempersiapkan diri dengan kamera berisi film baru untuk dijepretkan pada saat-saat terakhir.
Beruntung pesawat terbang Vietnam Selatan menghujani bom napalm. Rasa lega Hendro berbaur dengan kengerian luar biasa. Api dan asap menggumpal ke udara disertai dentuman memekakkan telinga, dalam jarak hanya 500 m.
"Tikus di dalam tanah bisa mati. Senjata api pun pada jarak tertentu bisa meledak sendiri. Ngeri."
Ingin menjarah lukisan
Meliput Perang Kamboja, bagi Hendro, sangat membanggakan. "Betul-betul real war. Wartawan yang mati banyak sekali. Bukan karena pertempuran, tapi karena diculik atau diserang di jalan."
Timor Timur menempati bagian khusus dalam hidupnya karena ia mengikuti proses integrasi sejak awal. Tanggal 22 November 1975, di Fatularan, Timtim, Hendro tertembak. Serangan Fretilin begitu akurat, sehingga dari 100-an marinir yang dia ikuti, 22 orang di antaranya gugur.
Dada kanan Hendro tertembus peluru, pipinya terserempet, dan ibu jari tangan kanannya remuk. Ia tak tewas karena masih dilindungi Tuhan, yang diistilahkannya "Sang Pemberi Kehidupan".
"Sama dengan pengalaman di tempat lain, saya tidak mati karena rasa optimis bahwa dengan menginjakkan kaki di wilayah peperangan, Sang Pemberi Kehidupan pasti melindungi.”
Peristiwa itu menuntunnya untuk bermawas diri. Rupanya, saat Hendro ikut misi penyusupan ABRI sebagai satu-satunya wartawan Indonesia, 1974, di sebuah museum di Dili, ia melihat lukisan kuno yang sangat indah.
Hendro berniat mengambil lukisan itu jika ada kesempatan. Namun, dalam misi penyerbuan pada periode berikutnya, ia tertembak. Persis di tangannya lagi. "Itu sebuah peringatan bahwa saya tidak boleh punya niat buruk kecuali menjalankan pekerjaan."
Gejolak di propinsi termuda yang kini kembali terjadi, memancing keprihatinan Hendro. Diceritakannya, tahun 1975 ia bersahabat dengan mantan administrator Portugal di Oekusi, ibukota Ambeno, daerah kantung Timtim di Timor Barat, Jaime de Oliveira.
Hendro menangkap kekecewaan salah satu penandatangan deklarasi integrasi itu saat berkunjung ke sana, awal 1990-an. "Pak Jaime tidak mau ketemu saya. Dia menghindar walau sepanjang hari saya tunggui di rumahnya. Dari putrinya saya tahu, dia kecewa pada perlakuan pemerintah terhadap Timtim. Dia tak menduga integrasi yang dulu ikut dia prakarsai, ternyata menjadi seperti sekarang ini."
Hendro memberi ilustrasi perubahan psikologi masyarakat dalam kurun 22 tahun ini.
"Kalau tahun 1975-an kita menyapa 'Selamat pagi', 'Selamat malam' kepada orang-orang di pinggir jalan, mereka pasti menjawab sapaan yang sama. Sekarang, balasan itu tak ada. Orang Timtim tak bisa lagi tersenyum kepada kita."
Dikaruniai ingatan kuat
Untuk berhasil menjadi wartawan perang memang perlu pengalaman. Maka Hendro dengan enteng mengatakan, yang perlu dipasang di badan sebagai identitas ketika meliput peperangan adalah tanda golongan darah.
Rasa kemanusiaan di antara aroma perang juga terjadi saat Hendro diterjunkan di Lembah X di tengah Pegunungan Jayawijaya, 2 Oktober 1969. Misi tim 16 orang yang dipimpin Kapten (Inf) Feisal Edno Tanjung (sekarang jenderal purnawirawan, Menko Polkam) adalah mendidik masyarakat terasing di sana.
"Betapa bahagianya bisa mengajari orang yang semula menebang satu pohon selama sebulan dengan kapak batu, begitu kami beri kapak besi, dalam setengah jam bisa menebas satu pohon besar."
Sentuhan kemanusiaan tentu masih banyak. Yang sedikit diceritakan Hendro antara lain surat titipan dari rekan infiltran ke Malaysia pada masa konfrontasi, 1964, dr. Surono Rachmat.
Ia yang pulang duluan dititipi surat dokter itu untuk orang tuanya, sesampai di rumah ternyata si dokter sudah gugur. Juga perihal seorang wanita Kamboja yang dikasihinya tahun 1975.
Ketika tahun 1990 Hendro ke sana, ia mencoba mencari si wanita di antara 44.000 orang di kamp pengungsi Kamboja di Thailand, dan temyata tidak bertemu.
Hampir lengkap dan cukup akurat diceritakannya dalam dua buku terbitan Pustaka Sinar Harapan, Saksi Mata Perjuangan lntegrasi Timor Timur yang terbit tahun 1996, dan Prijalanan Seorang Wartawan Perang (1998). Kini Hendro tengah menyelesaikan buku ketiga yang direncanakan terbit pertengahan tahun ini.
Menariknya, semua buku itu ditulis berdasarkan daya ingat serta gabungan dari literatur dan keterangan orang, atau mencocokkan peristiwa dengan- kejadian lain.
"Di lapangan saya jarang mencatat. Itulah anugerah saya sebagai orang bodoh. Kata orang, orang bodoh biasanya dikaruniai daya ingat kuat. Sedangkan orang pandai, para profesor, malah banyak yang pelupa."
Kekalahan di garis belakang
Jika dalam pertempuran kemenangan di garis depan biasanya dicapai dengan dukungan garis belakang, Hendro tak mampu mempertahankan garis belakang pribadinya. Rumah tangganya berakhir pada 1979 ketika untuk kesekian kalinya ia berada di Timtim.
Kedua anaknya yang kini dewasa telah menjalani kehidupannya sendiri. Muncul seorang wanita pengganti, namun beberapa tahun terpisah dalam jarak yang jauh. "Karena dia bekerja di Irian Jaya, setiap kali saya bolak-balik ke sana."
Walau sekarang ia telah kembali dan siap mendampingi, Hendro telanjur punya gaya hidup ala bujangan. Rumah tinggalnya di kawasan Jakarta Barat hampir tak terurus karena pembantu hanya datang beberapa jam setiap hari.
Di sana terdapat beberapa lukisan yang dikoleksi sebatas kemampuan membeli, juga lukisan karya Hendro sendiri. Pelbagai peninggalan tugas terdapat di lain tempat.
Kamera mekanis Bell & Howell 16 mm yang digunakannya untuk mengabadikan pengangkatan jenazah pahlawan revolusi tersimpan di Museum Pers Solo, demikian pula baju abu-abu berlubang peluru dengan cipratan darah. Pakaian dan masker antisenjata kimia tersimpan di TVRI Stasiun Pusat Jakarta.
Masih ada sejarah kehidupan Hendro yang disimpan sendiri, dan boleh dikata merupakan bagian dari sejarah Indonesia.
Masa kecilnya dihabiskan di Solo, bersama dua saudara kandung yang kini tinggal seorang, yakni kakaknya. Ibunya, yang dikenal sebagai Bu Mondrorini, adalah pegawai negeri pada kantor pendidikan dan kebudayaan.
Ayahnya yang anggota militer meninggal sebelum Hendro remaja. Di saat ibunya pensiun, Hendro yang telah lulus SMA tak tega minta biaya kuliah sebagaimana kakaknya. Kebetulan, seorang tetangganya yang berprofesi wartawan sangat dikaguminya karena pergaulan yang luas, independen, serta bisa memotret tokoh terkenal.
Setelah berguru kepadanya, Hendro lantas pergi ke Jakarta. Oleh seorang tokoh bernama Mardani Karyono ia dikirim kepada Direktur Televisi Moh. Arif dengan secarik katebelece. Sejak 1964, jadilah Hendro wartawan TVRI.
Karena cita-citanya jadi penerbang, ia sangat bersemangat tugas di bidang hankam. Januari 1965, ia mengabadikan peristiwa penembakan Kahar Muzakkar. Bung Karno percaya, pemberontak itu telah tewas dari tayangan televisi hasil liputan Hendro.
Ketika G-30-S/PKI meletus di Jakarta, Hendro sibuk berlalu lalang ke pusat-pusat berita dengan sepeda motor 50 cc dalam potongan rambut cepak dan kacamata hitam.
Kontak senjata yang hampir selalu jadi bagian hidupnya, membentuknya sebagai manusia berjiwa petualang, namun toleran dan tidak formal.
"Untungnya, sejak masa Bung Karno sampai Pak Harto, saya tidak pernah ditugaskan di Istana. Jadi, saya tidak sempat mengalami kultur wartawan feodal dan birokratis."
Justru dalam suasana yang tidak birokratis itu kemampuan Hendro berkembang. Keinginannya jadi penerbang terlaksana karena akhirnya ia meraih Wing Kelas III. Kini total jam terbangnya sekitar 400 jam, selain juga memiliki lima sertifikat air combat mission yang semuanya dia dapat di Timtim.
Empat kali dengan pesawat OV-10, dan sekali naik jet T-33. Bahkan pada 16 Juli 1991 Hendro berkesempatan terbang jurnalistik di kursi belakang pesawat F-16 Fighting Falcon. Penerbangan bersama Letkol (Pnb.) Wartoyo itu tak cuma menempuh waktu 1 jam dan 50 menit, tetapi juga beraerobatik dalam kecepatan 1,3 Mach.
Wing terjun pun ia kantungi, dan sampai sekarang Hendro telah terjun 240 kali. Selebihnya, Hendro mendapat penghargaan dari Departemen Hankam atas liputannya soal integrasi Timtim berupa Anugerah Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti.
Pada 1991 ia menerima Anugerah Penegak Pers Pancasila dari PWI atas liputannya seputar pemberontakan G-30-S/PKI. Tak kurang, liputan dokumenternya juga membuahkan Piala Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia 1995.
Jabatan terakhirnya adalah kepala English News Service, siaran bahasa Inggris TVRI, sambil mencari peluang untuk karier setelah pensiun. Ketika datang tawaran dari sebuah stasiun televisi Australia, ia pun segera menerimanya.Pensiun Hendro dipercepat.
Sesekali ia juga menulis untuk media cetak, di dalam maupun luar negeri, walau ia bilang kemampuan menulisnya terjadi karena "kecelakaan".
Tak diduga, laporan bergambar yang naskahnya hanya empat halaman ketik dihargai 400 ponsterling oleh majalah bulanan Inggris Air Forces edisi Januari 1999.
Dikira orang gila
Hendro tak pernah berterus terang soal usia, kecuali tanggal kelahiran 18 Desember di Solo. Yang penting bagi dia adalah kemampuan. Dalam caranya sendiri ia menunjukkan belum berkacamata, tidak merokok atau minum kopi, juga terbiasa lari 10 km lima kali seminggu.
Kebiasaan ini dia lakukan dengan cara khas, yakni lari di jalur hijau sisi kanan, berkaus, dan celana pendek tanpa alas kaki. Sampai finis di depan Gedung DPR/MPR Jakarta, ia lalu pulang naik bus kota.
Bagi yang tidak tahu, pria lusuh berambut cepak telanjang kaki itu dikira orang gila. Tak jarang ia ditolak pengemudi bus kota.
Pernah suatu ketika, ia memancing rasa heran penumpang lain. Selagi bergelantungan di dalam bus, tiba-tiba telepon selulernya berdering. "Si orang gila" bicara keras-keras dalam bahasa Inggris, lengkap dengan aksen Jawa dan tawa ngakak-nya. Para penumpang makin heran.
Itulah Hendro Subroto. Terkesan seadanya, namun telah mencatatkan prestasi besar bagi dunia kewartawanan. Gairahnya terus muncul tanpa batas masa kerja.
"Kepegawaian saya yang pensiun. Tapi sebagai jurnalis, saya tidak pernah berhenti."
Hendro seolah memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mempekerjakannya jika ada liputan perang. "Memang, saya ingat ucapan seorang teman, wartawan Kamboja. Katanya, perang itu berwajah buruk, tapi kami datang ribuan mil untuk melihatnya."
Ketika perang meletus, orang berlari menjauh. Namun, manusia semacam Hendro justru mendekati. Mengabadikan, mencatat, dan menceritakan kepada orang di wilayah lain tentang keadaan yang ditinggalkan.
(Ditulis oleh A. Hery Suyono & Mayong S. Laksono, seperti dimuat di Intisari Maret 1999)